Belajar Html Lengkap Ket : ganti kode warna merah dengan id top menu milik anda. Sekedar gambaran, pada umumnya sebuah menu blog memiliki skema kode HTML sebagai berikut :

LIPANRITV1

Retas5



    Medsos4

    coba4

    coba6

    Entri Populer

    Rabu, 27 Februari 2019

    Perayaan Hari Jadi ke-1 Kabupaten Samosir


    Wagub Buka Perayaan Hari Jadi ke-1 Kabupaten Samosir, Kekompakan Bupati dan Wakilnya Kunci Keberhasilan Daerah



    SAMOSIR, ( KBNLIPANRI ONLINE ) - Wakil Gubernur Sumatera Utara (Wagub Sumut) Musa Rajekshah membuka secara resmi puncak perayaan Hari Jadi ke-15 Kabupaten Samosir di Pangururan, Rabu (27/2). Perayaan ditandai penekanan tombol sirene dan pelepasan balon gas, setelah dilakukan pemotongan kue ulang tahun.









    FOTO
    Disambut tarian, Menekan tombol sirene, Pemotongan kue,Peluncuran bus pariwisata dan horas samosir fiesta,Pidato pembukaan.

    Dalam sambutannya, Wagub menyebutkan bahwa kekompakan antara Bupati-Wakil Bupati Samosir merupakan satu kunci keberhasilan bagi daerah. Sebab menurutnya, kabupaten yang diambil dari nama pulau tersebut dimekarkan dengan harapan dan mimpi, agar generasi penerus nantinya bisa hidup lebih baik dari pendahulunya.



    "Tadi saya lihat Bupati dan Wakil Bupati waktu menghidupkan lilin, keduanya saling bantu agar tidak tertiup angin. Ini menandakan keduanya kompak. Karena tanpa itu, kita tidak bisa membangun Samosir jadi lebih baik," ujar Wagub.



    Selanjutnya, Wagub yang akrab disapa Bang Ijeck ini juga mengingatkan agar kondisi daerah ini bisa jauh lebih maju di masa mendatang. Ukurannya adalah kebersihan dan kenyamanan. Sebab kawasan pariwisata memang harus mengedepankan keduanya. Apalagi Samosir dikelilingi Danau Toba, sebagai Karunia Tuhan dengan istilah 'Negeri Indah Kepingan Surga'.



    "Samosir sudah semakin baik. Karena saya nilai pertama kamar mandinya, ruangannya dan halamannya. Waktu yang lalu masih belum bagus, tetapi sekarang sudah ada kemajuan. Karena memang masalah kita adalah kebersihan," sebut Wagub, sekaligus mengajak Pemkab se-kawasan Danau Toba untuk bersama merancang bagaimana membangun tempat pengolahan sampah terorganisasi.



    "Mari kita doakan supaya Danau Toba diterima jadi anggota UNESCO. Kami juga Pemerintah Provinsi, apa yang bisa kami lakuan, pasti kami bantu. Kami akan terus datang ke sini, bukan hanya karena hari jadi saja, tetapi lain waktu. Karena tanpa dukungan masyarakat, kami tak mungkin bisa menjalankan amanah sebagian Gubernur dan Wakil Gubernur," pungkasnya.



    Pada kesempata itu, Wagub bersama tamu undangan lainnya dihadiahi ulos tanda penghormatan tokoh adat setempat.



    Sementara Bupati dan Wakil Bupati Samosir, Rapidin Simbolon dan Juang Sinaga menyampaikan sambutan dan ucapan selamat datang kepada Wakil Gubernur yang dianggap menjadi pemimpin peduli dan perhatian kepada kabupaten/kota, khususnya Samosir. Apalagi saat ini daerah mereka menjadi sorotan dunia, baik dari segi keindahan pariwisata hingga dorongan untuk menggalakkan kebersihan.



    "Kedatangan Wagub ini adalah bukti hatinya ada di Samosir, untuk kita. Karena itu kami mengharapkan seluruh stakeholder mendukung pembangunan Samosir, menuju kabupaten yang makmur dan sejahtera," jelasnya.



    Hal senada juga disampaikan Deputi Bidang Pengelolaan Batas Wilayah Negara Kemendagri, Robet Simbolon dan Anggota DPR RI Trimedya Panjaitan. Keduanya mengingatkan agar Pemkab Samosir serius memperhatikan kondisi kebersihan objek wisata hingga permukiman warga, yang juga menjadi penilaian pengunjung.



    Hadir juga Bupati Tobasa Darwin Siagian, Anggota DPR RI Jhony Allen Marbun, Anggota DPD RI Parlindungan Purba, Kabiro Umum Pemprov Sumut Faisal, Kadis Budpar Sumut Hidayati, Dirut Bank Sumut Muhammad Budi Utomo, mantan Bupati Samosir Wilmar Simanjorang dan Mangindar Simbolon. ( lm )

    Selasa, 26 Februari 2019

    Sumut Bebas Pungli Jika Semua Pihak Bersinergi


    Sumut Bebas Pungli Jika Semua Pihak Bersinergi



    MEDAN, ( KBNLIPANRI ONLINE) – Tim Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) Provinsi Sumatera Utara (Sumut) dan seluruh kabupaten/kota harus bersinergi dalam upaya pemberantasan pungli. Sehingga Sumut bebas Pungli segera terwujud.








     FOTO
    Sekretaris Daerah Provinsi Sumatera Utara Hj.R.Sabrina mewakili Gubernur Sumatera Utara membuka Rapat Koordinasi UPP Saber Pungli Provinsi dengan UPP Saber Pungli Kabupaten/Kota Se-Sumatera Utara di Santika Premiere Dyandra Hotel & Convention Jl.Kapt. Maulana Lubis No.7 Medan, Senin malam (25/2). Acara ini bertajuk Optimalisasi Koordinasi Sinergitas Sistem Kerja UPP Saber Pungli Provinsi dan Kabupaten/Kota Dalam Lingkup Lintas Instansi Untuk Sumut Bebas Pungli.

    “Keberhasilan Satgas anti pungli bukan keberhasilan perorangan atau satu kelompok kerja saja, melainkan keberhasilan bersama,” ujar Sekretaris Daerah Provinsi Sumut Sabrina yang mewakili Gubernur Sumut Edy Rahmayadi pada pembukaan Rapat Koordinasi (Rakor) Unit Pemberantasan Pungli (UPP) Saber Pungli provinsi dengan kabupaten/kota se Sumut, di Hotel Santika Dyandra, Jalan Kapten Maulana Lubis, Medan, Senin malam (25/2).



    Dikatakannya, praktik pungli harus dihapuskan. Karena pungli dapat membenani masyarakat, serta menurunkan kepercayaan publik pada pemerintah yang sedang berjalan saat ini. “Kondisi tersebut tentu dapat merusak sendi kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara, serta perlu penanganan serius,” katanya.



    Selain itu, diharapkan, rakor tersebut dapat mendorong dan memberi semangat kepada tim anti pungli agar dapat bekerja sungguh-sungguh. “Hal tersebut bertujuan untuk masa depan bangsa yang bebas dari pungutan liar,” katanya.



    Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 tahun 2016 mengenai Satgas Saber Pungli, baik di tingkat pusat maupun daerah. “Perpres tersebut diharapkan dapat memberantas pungli secara tepat, efektif, efisien serta mampu menimbulkan efek jera,” ujarnya.



    Sementara itu, Ketua Satgas UPP Saber Pungli Provinsi Sumut Eko Kristianto mengatakan rakor tersebut untuk mengkoordinasikan masing-masing UPP provinsi dan kabupaten/kota dalam menjalankan tugasnya. Serta diharapkan dapat membangun sinergitas sistem kerja saber pungli antar UPP.



    Kegiatan tersebut diadakan selama 2 hari, mulai tanggal 25 - 26 Februari 2019. Selain rapat koordinasi, kegiatan tersebut juga diisi kegiatan focus group discussion bertema ‘Optimalisasi Koordinasi Sinergitas Sistem Kerja UPP Saber Pungli Provinsi dan Kabupaten/Kota Dalam Lingkup Lintas Instansi untuk Sumatera Utara Bebas Pungli’.



    Turut hadir pada kesempatan tersebut, Sekretaris Satgas Saber Pungli Pusat Irjen Pol Widiyanto Poesoko, Kepala Inspektorat Provinsi Sumut OK Henry, Wakapolres dari seluruh Sumut, UPP kabupaten/kota se Sumut, Kepala Seksi (Kasi) Intel Kejaksaan Negeri, inspektur seluruh kabupaten/kota se Sumut, organisasi masyarakat dan organisasi kepemudaan.( lm )



    Kamis, 21 Februari 2019

    Pangkosek Hanudnas III Cup Lahirlah Pebulutangkis Handa


    Akhyar Harap Pangkosek Hanudnas III Cup Lahirlah Pebulutangkis Handal


    Medan (  KBNLIPANRI ONLINE )

    Kota Medan memang sedang giat diarahkan menjadi kota atlet. Karenanya Pemko Medan semakin gencar pula membina serta mendukung penuh setiap kegiatan yang berhubungan dengan pembinaan terutama penjaringan atlet-atlet muda.


     
    Hal ini diungkapkan Wakil Wali Kota Medan Ir. H. Akhyar Nasution, M.Si usai mengikuti acara Pembukaan Kejuaraan Bulutangkis Beregu yang Pangkosek Hanudnas III Cup Tahun 2019 di GOR PBSI Jalan Pancing, Medan. Kamis (21/2).



    Lebih lanjut Wakil Wali Kota Mengatakan, penjaringan melalui berbagai even kejuaraan dan turnamen sampai saat ini masih dianggap salah satu cara untuk melihat bakat-bakat muda yang nantinya akan dibina terus menjadi pebulutangkis yang dapat diandalkan.



    ”Kejuaraan seperti ini harus terus digalakkan guna memberikan wahana bagi atlet-atlet pebulutangkis berbakat yang hendak melihatkan performanya,” ujar Wakil Wali Kota didampingi Kadispora Kota Medan Marah Husin.



    Wakil Wali Kota juga mengungkapkan rasa optimisnya kepada atlet pebulutangkis muda yang hari ini turut bertanding pada kejuaraan yang digelar hingga Minggu (24/2) nanti. Ia mengharapkan akan ada pebulutangkis andal yang lahir dari Kota Medan.



    ”Saya yakin dengan bakat-bakat muda Kota Medan. Generasi muda harus semangat dan jangan pantang menyerah serta terus berlatih agar menjadi pebulutangkis tingkat nasional bahkan dunia,” harap Akhyar.



    Selanjutnya, Akhyar  menjelaskan bahwa Pemko Medan juga akan menggelar Pekan Olahraga Wilayah (Porwil) ke V pada akhir Maret mendatang. Untuk itu, Wakil Wali Kota juga mengimbau kepada seluruh atlet muda berbakat yang ada di setiap kecamatan bahkan di kelurahan seluruh Kota Medan untuk mempersiapkan diri mengikuti ajang ini. Karena, sambung Akhyar, atlet yang akan mewakili tiap kecamatan harus merupakan atlet asli kecamatan tersebut.



    “Pemko Medan, bulan Maret mendatang, juga akan menggelar Porwil ke V. Ajang ini harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya bagi para atlet muda yang ada di setiap kecamatan di Kota Medan. Karena setiap kecamatan yang mengikuti ajang ini harus mengutus atlet asal kecamatan tersebut,” kata Akhyar.



    Pembukaan Kejuaraan Bulutangkis Beregu Pangkosek Hanudnas III Cup ini ditandai dengan servis pertama yang dilakukan langsung oleh Pangkosek Hanudnas III Marsma TNI Djohan Amarullah, S.AB. (lm)



    Senin, 18 Februari 2019

    Inventasi Perkebunan Sawit Merampas Hak Ulayat


    Inventasi Perkebunan Sawit Merampas Hak Ulayat dan Monopoli Tanah


    SULAWESI,( KBNLIPANRI ONLINE )-Bahwa luas perkebunan, tambang, transmigrasi, infrastruktur serta pemukiman dan wilayah kelola masyarakat, melebihi dari wilayah administrasi Konawe selatan atau telah terjadi tumpang tindih perizinan antara perkebunan dengan perkebunan, antara perkebunan dengan pertambangan, antara perkebunan dengan pemukiman masyarakat, antara perkebunan dengan transmigrasi, antara antara pertambangan dan perkebunan dengan kepemilikan tanah atas hak-hak adat/ulayat masyarakat setempat.

    Bahwa Sejumlah perusahaan sudah melakukan aktifitas serta perluasan perkebunan sawit di Konawe Selatan,  yang disertai berbagai masalah masalah seperti ketidak sesuaian antara izin lokasi dengan pembebasan lahan, aktivitas land clearing (pembersihan lahan),  perampasan lahan petani, konversi kawasan hutan produksi-lindung dan kawasan taman nasional, penggusuran lahan secara sepihak, serta berbagai masalah lainnya.

    Bahwa fakta menunjukkan sejak tahun 1996 PT. Sumber Madu Bukari telah melakukan berbagai macam aktivitas hingga kini masih saja melakukan pembebasan lahan termasuk pemukiman dan wilayah hutan sagu sebagai basis Pangan unggulan dan wilayah komunal suku tolaki secara turun temurun, hingga kini perusahaan tersebut belum memiliki sertifikat Hak Guna Usaha.

    Bahwa fakta lain menunjukkan sejak tahun 2007 – 2015 sejumlah perusahaan yang didominasi perkebunan sawit dan tebu telah massif melakukan aktivitas seperti PT Bintang Nusa Pertiwi, dan PT. Merbau Indah Raya, diluar izin lokasi dan melakukan penguasaan tanah diatas pemukiman dan pada wilayah kelolah masyarakat dan basis produksi pertanian/ pangan, misalnya membeli lahan sampai di rawa aopa, yang memiliki komoditas tinggi seperti sagu dan ikan air tawar yang merupakan bahan makanan pokok dan mata pencaharian utama masyarakat setempat.

    Bahwa Investasi pada sektor perkebunan di Konawe Selatan dilakukan secara sistematis, diawali dengan pemberian izin lokasi oleh Bupati Konawe selatan sejak tahun 2003 sampai saat ini, tercatat 12 izin perkebunan sawit dan tebu, di tambah lagi 2 perkebunan dengan komoditas mete dan kapas, sehingga seluruh perkebunan berjumlah 14. perampasan tanah-tanah ulayat milik masyarakat melalui proses transaksi dengan menggunakan perangkat pemerintah desa, camat dan segelintir orang yang menamakan diri sebagai tokoh masyarakat, dengan cara melakukan klaim sepihak terhadap tanah ulayat dengan tujuan untuk mengkapitalisasi secara invidu. Padahal tanah-tanah tersebut adalah merupakan tanah-tanah bertuan yang menjadi ulayat masyarakat setempat, yang secara turun temurun dijadikan sebagai basis kelola dan runag hidup rakyat.

    Adapun model transaksi lahan/tanah yang dijumpai di Konawe Selatan yakni penguasaan tanah oleh para investor melalui hukum Negara. Para pelaku dalam model transaksi tersebut adalah perusahaan-perusahaan besar atau pemerintah yang memanfaatkan sumber daya tanah untuk alasan peningkatan, pertumbuhan ekonomi, dan akses lapangan kerja untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

    Padahal sebenarnya mereka hanya menjadikan tanah-tanah tersebut untuk kegiatan bisnis. Bahkan kayu di atas permukaan tanah tersebut dikuasai oleh para pemilik modal dan kemudian di jadikan agunan di bank. Intinya tanah dijadikan modal dan masyarakat dijadikan tenaga buruh dengan upah murah.

    Penguasaan lahan secara murah adalah merupakan tindakan perampasan dan monopolisasi tanah oleh investor, sehingga menimbulkan kerugian bagi masyarakat, dalam jangka panjang, sehingga tidak heran konflik agraria semakin bertambah dan tidak ada habisnya. Pertanyaannya dengan transaksi tanah skala besar yang terjadi, apakah akan menghasilkan jenis investasi/komoditas bermanfaat bagi masyarakat setempat. Atau sebaliknya. Inilah pengabaian, peminggiran, pemdohohan dan pemiskinan secara sistematis yang dilakukan secara sistemik dan massif.

    Kecenderungan investor perkebunan sawit & tebu berinvestasi di Sulawesi Tenggara, karena: 1) ketersediaan lahan/tanah di daerah lain sudah semakin terbatas, 2) investor dengan usaha/jenis komoditas seperti sawit dan tebu, telah mengalami penolakan dari berbagai lapisan masyarakat di daerah lain, karena telah dianggap gagal dan terbukti merugikan masyarakat setempat.

    3), Harga tanah di Sulawesi tenggara masih sangat murah, sehingga bagi perusahaan menjadikan peluang, tanah sebagai investasi jangka panjang. Kondisi ini merupakan tindakan manipulatif, diskriminatif, dan spekulatif terhadap masyarakat setempat. Pemerintah atas nama Negara, dan para pemilik modal tidak lagi melindungi dan mempertimbangan kondisi sosio-cultural masyarakat setempat dan nasib antar generasi dan keselamatan serta keadilan ekologis.

    Oleh karena itu, segala “hukum yang merampas” hak-hak ulayat milik masyarakat di Konawe Selatan dengan alasan dan atas nama apapun harus ditolak dan dilawan.

    sementara negara menjamin “eksistensi dan pengakuan adanya masyarakat hukum adat dan hak-haknya. Hak-hak ulayat tidak seharusnya tidak diakui oleh negara. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 18 B ayat (2), yang menyebutkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang” dan dalam pasal 28 I ayat (3) yang menyebutkan “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.

    Tuntutan:

    Mendesak Bupati Konawe Selatan dan Gubernur Sulawesi Tenggara sesuai kewenangannya untuk menghentikan seluruh aktivitas dan tidak memperpanjang izin lokasi atau tidak menerbitkan izin usaha perkebunan PT. Bintang Nusa Pertiwi, PT. Marketinda Selaras, PT. Merbau Indah Raya, yang diduga kuat telah melakukan peminggiran, perampasan dan monopolisasi penguasaan tanah dengan cara manipulatif dan spekulatif
    Mendesak KPK RI, KAPOLRI, KAPOLDA Sultra dan KAPOLRES Konawe Selatan untuk segera mengusut terbitnya SK Pemberian izin lokasi perkebunan, perambahan kawasan hutan lindung/produksi dan kawasan taman nasional rawa aopa, yang diduga kuat berlangsung manipulatif, tumpang tindih serta berbau gratifikasi, hal ini diikuti dengan keterlibatan para pihak secara terorganisir yang disebut dengan MAFIA TANAH antara lain; oknum-oknum pemerintah setempat, perusahaan dan segelintir orang yang mengatasnamakan masyarakat atas nama tanah ulayat.
    Mendesak Kementerian Pertanahan dan Tata Ruang untuk tidak menerbitkan sertifikat HGU perusahaan-perusahaan bermasalah.
    Jika pemerintah dan penegak hukum tidak melakukan tindakan apapun, maka ini adalah pembiaran yang nyata, membiarkan perampasan dan monopolisasi tanah adalah memelihara benih konfik sosial dan konflik agraria. Hal ini dapat diartikan pula sebagai afiliasi perselingkungan sistemik dan massif, antara penguasa dan pengusaha. Dan biarkan rakyat membuat hukumnya.
    Forum Masyarakat Tue-Tue Ngapa Walanda (FM-TNW) Kec. Angata – Konawe Selatan, Komunitas Masyarakat Lamooso (KML) Kec. Angata Kab. Konawe Selatan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) SULTRA, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Wilayah SULTRA, Aliansi Perempuan ( ALPEN ) SULTRA, Pusat Kajian & Advokasi Hak Asasi Manusia (PUSPAHAM) SULTRA. ( team )

    Minggu, 17 Februari 2019

    Kontoversi Pendaftaran Tanah Ulayat


    (Kajian atas Mekanisme Pendaftaran Tanah Ulayat Dalam Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya) [1]


    Medan,( KBNLIPANRI ONLINE )

    1. Kontoversi Pendaftaran Tanah Ulayat

    Soal pendaftaran tanah ulayat yang menghasilkan sertipikat tanah ulayat telah menjadi kontroversi sejak lama di Sumatera Barat. Pihak yang menolak mencurigai bahwa pendaftaran tanah ulayat menyebabkan hilangnya sifat komunalitas atas tanah ulayat. Bahkan akan menghilangkan keberadaan tanah ulayat karena beralih menjadi tanah dengan hak-hak individu.

    Pendaftaran tanah yang dibuktikan dengan sertipikat, misalkan pada tanah ganggam bauntuakdipandang sebagai proses individualisasi tanah ulayat yang semula merupakan milik komunal. Padangan ini didukung dengan argumentasi Van Vallenhoven[2]yang menyatakan bahwa hak ulayat (beschikingsrecht) sebagai hak yang mandiri.[3] Sebagai hak yang mandiri, tanah ulayat yang pengelolaannya didasarkan pada hukum adat sudah cukup menjadi pegangan dalam mengatur pemanfaatan tanah ulayat bagi anggota masyarakat adat dan bagi pihak lain.

    Pengelolaan tanah ulayat sebagai hak yang mandiri di Minangkabau diperkuat dengan kemandirian komunitas yang tergambar dalam ungkapan "adat salingka nagari". Ungkapan ini mempertegas konsepsi otonomi masyarakat adat, dimana pengaturan ulayat yang berdasarkan hukum adat merupakan sistem hak yang berlaku pada ruang lingkup wilayah nagari.

    Pepatah ini juga menegaskan bahwa tanah ulayat bukanlah ruang yang kosong dari aturan. Seluruh aspek yang terkait dengannya, telah diatur oleh norma adat secara pasti, sehingga tidak diperlukan lagi sertipikat sebagai bukti kemandirian hak atas tanah ulayat.

    Sedangkan  disisi lain, pihak yang mendorong pendaftaran tanah ulayat mengharapkan agar tanah ulayat memiliki pengakuan hukum dari negara sehingga memiliki kepastian hukum. Pilihan pengakuan dalam bentuk sertipikat menjadikan tanah ulayat lebih leluasa dimanfaatkan bagi kepentingan ekonomi karena memiliki landasan hukum keperdataan yang lebih kuat.

    Bahkan Pasal 32 ayat (1) PP No. 24/1997 menyatakan bahwa sertipikat "berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat." Sertipikat selain menunjukkan kepastian pemegang hak atas tanah juga memberikan kemudahan mengukur secara kuantitatif nominal harga tanah karena menyediakan data-data fisik tentang tanah. Sebagai alat ekonomi, sertipikat juga dapat dianggunkan ke bank untuk mendapatkan sejumlah pinjaman.

    Bahkan hasil penelitian Tim Perumusan Ranperda Tanah Ulayat pada tahun 2001 menemukan bahwa dari 400 orang yang diwawancarai, 295 orang atau 73,75 persen sepakat agar tanah ulayat dapat disertipikatkan. 80 orang atau 20,00 persen yang tidak sepakat dan 25 orang atau 6,25 persen yang tidak menjawab.

    Fenomena ini harus dibaca sebagai keterbukaan masyarakat Minangkabau atas nilai-nilai yang berkembang diluar masyarakat Minangkabau, seperti sertipikat, dengan tetap memegang tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang.

    Dalam praktik, selain sertipikasi, ada bentuk lain pengakuan hukum atas hak-hak masyarakat adat. Di Kabupaten Lebak, Banten misalnya, pengakuan dilakukan dengan Penetapan Hukum melalui Perda No. 32/2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy.

    Di Kabupaten Merangin, Jambi,  dilakukan dengan SK Bupati Merangin No. 287 Tahun 2003 Tentang Pengukuhan Kawasan Bukit Tapanggang sebagai Hutan Adat Masyarakat Hukum Adat Desa Guguk Kecamatan Sungai Manau, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi.

    Pilihan bentuk pengakuan dalam bentuk sertipikat membenarkan bahwa Perda TUP lahir guna dimanfaatkan bagi kepentingan ekonomi yang terbuka dengan pihak investasi yang membutuhkan kepastian hak dalam berinvestasi.

    2. Wacana Kritis Pendaftaran Tanah Ulayat

    Kritik terhadap sertifikasi juga muncul karena anggapan bahwa sertifikasi yang didorong oleh lembaga-lembaga keuangan internasional ditujukan bagi terciptanya pasar tanah dimana tanah-tanah, termasuk tanah ulayat, dapat mudah dipertukarkan dengan mekanisme pasar dan memberikan kepastian hukum dari pencapaian penjualan tersebut. Kondisi dapat berakibat semakin lemah dan hilangnya tanah ulayat di Sumatera Barat. Tekanan dari lembaga internasional itu dipaparkan oleh Bonnie Setiawan sebagai berikut:[4]

    Lewat Land Administration Project (LAP), Pemerintah (dan BPN) bersama dengan Bank Dunia dan AusAid sedang menjalankan suatu mega-proyek mengenai deregulasi pertanahan dengan istilah "Land Resource and Management Planning" yang akan berlangsung selama 25 tahun (1995-2020). Proyek tersebut dilakukan dengan merancang suatu desain perubahan manajemen dan administrasi pertanahan yang tujuan akhirnya adalah terciptanya pasar tanah (land market). Pelaksanaannya dilakukan secara bertahap setiap lima tahun.

    LAP I (1995-2000) menelan biaya sebesar US$ 140,1 juta, didanai dari anggaran nasional sebesar US$44,9 juta (32%), pinjaman dari Bank Dunia US$ 80 juta (57%) dan sisanya US$ 15,2 juta (11%) adalah grant dari AusAid. Meskipun program ini telah ditentang oleh aktivis, akan tetapi mereka tetap jalan terus. Terakhir LAP II akan kembali dilaksanakan, dan akan mulai memasukkan obyek tanah masyarakat adat, karena sudah adanya pilot proyek sebelumnya yang dijalankan di Sumatera Barat. Rencananya LAP II akan bernilai sebesar US$ 110 juta, yaitu US$ 20 juta dari pemerintah Indonesia dan US$ 90 juta dari pinjaman Bank Dunia.


    Dengan perspektif pluralisme hukum, Ade Saptomo menyampaikan bahwa di balik sertifikat juga lahir asumsi inkoorporasi antara hukum adat dengan hukum nasional, yaitu hukum adat menerima sebagian unsur hukum negara dan hukum negara menerima sebagian hukum lokal (adat).[5] Artinya, sebagian warga masyarakat di suatu tempat bersedia menerima unsur hukum negara dan hukum negara pun "tidak keberatan" untuk mengakomodasi keinginan warga.

    Hal ini dapat ditafsir pada sebuah fenomena sertifikasi hak atas tanah ulayat dimana di halaman depan sertifikat tertulis satu nama penghulu suku atau mamak kaum atas sebidang tanah, sementara di balik sertifikat dimaksud tertuang sejumlah nama-nama kemenakan penghulu suku sebagai pemilik bersama.[6]

    Pandangan diatas hampir sama dengan pandangan John Griffiths yang menyatakan bahwa keterbukaan hukum negara -- yang pada dasarnya bersifat generalis dan tidak mengenal pembedaan -- terhadap sistem hukum adat yang lokalitas dan beragam merupakan salah satu cara penguatan dari sentralisme hukum negara.

    Griffiths menyatakan sentralisme hukum menggunakan pluralisme hukum sabagai salah satu upaya untuk mengakomodir situasi sosial yang dirasakan problematik dengan memberlakukan ketentuan-ketentuan hukum masyarakat lokal sebagai bagian ketentuan hukum yang tunduk pada hukum negara.[7] Dalam hal ini pluralisme hukum yang dibadankan dalam bentuk sertifikat.

    Sertifikat kemudian dijadikan sebagai alat oleh sentralisme hukum negara untuk menundukkan keberagaman dan struktur hukum masyarakat atas sebidang tanah. Hal ini dapat membuat pengetahuan hukum adat tentang tanah ulayat akan berkurang karena sudah diganti dengan mekanisme hukum negara.

    Setelah masuk dalam mekanisme hukum negara, maka kemudian persoalan tanah ulayat akan didominasi oleh pemerintah dan ahli hukum yang tidak selalu memiliki perspektif penguatan hak-hak masyarakat atas tanah ulayat.

    3. Persoalan Teknis Hukum

    Bab V, Pasal 8 Perda TUP mengatur tentang pendaftaran dan subjek hukum tanah ulayat. Tanah ulayat didaftarkan kepada Kantor Pertanahan (BPN) kabupaten/kota yang tujuannya adalah untuk menjamin kepastian hukum dan keperluan penyediaan data/informasi pertanahan.

    Tanah ulayat nagari didaftarkan menjadi hak guna usaha, hak pakai dan hak pengelolaan. Tanah ulayat suku dan tanah ulayat kaum didaftarkan menjadi hak milik. Sedangkan tanah ulayat rajo didaftarkan menjadi Hak Pakai dan Hak Kelola.

    Karena tanah ulayat bukan merupakan objek pendaftaran tanah (menurut PP No. 24/1997), maka tanah ulayat didaftarkan sebagai hak-hak atas tanah yang diatur di dalam UUPA, yang menjadi objek pendaftaran tanah.[8]

    Hal tersebut diperkuat kembali oleh Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Pasal 4 ayat (1) Permen No. 5/1999 menyebutkan bahwa tanah ulayat, apabila dikehendaki oleh pemegang haknya dapat didaftar sebagai hak atas tanah yang sesuai menurut ketentuan UUPA.

    Hal tersebut menjadi dasar ketentuan Perda TUP yang mengatur pendaftaran tanah ulayat untuk didaftarkan dengan status hak atas tanah menurut UUPA. Perda TUP memperkenalkan 5 jenis pendaftaran tanah ulayat ke dalam status tanah menurut UUPA, yaitu:

    Tanah Ulayat Nagari

    Tanah ulayat nagari dapat didaftarkan dengan status Hak Guna Usaha, Hak Pengelolaan atau Hak Pakai yang pemegang haknya adalah atas nama ninik mamak KAN. Sehingga di dalam sertifikat tanah ulayat tersebut akan mencantumkan nama ninik mamak KAN serta dapat melampirkan nama-nama pihak lain yang terkait dengan pemilikan atas tanah ulayat nagari.

    Pendaftaran tanah ulayat nagari dengan status HGU dari sisi subjek pengemban hak belum memiliki landasan hukum yang kuat. PP No. 40/1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai, menyatakan bahwa pemegang HGU adalah warga negara Indonesia dan Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Tidak secara spesifik dinyatakan bahwa masyarakat adat, yang berbentuk nagari, dapat menjadi pemegang HGU.

    Pendaftaran tanah ulayat nagari dengan status HGU menimbulkan beberapa konsekuensi karena HGU memilik aturan sendiri yang berbeda dengan nilai-nilai kolektif dan mandiri dari masyarakat nagari. Beberapa konsekuensi itu antara lain:

    Tanah yang dapat diberikan HGU adalah tanah negara. Karena HGU hanya diberikan dari tanah negara, maka hal ini berbeda dengan landasan hak atas tanah ulayat nagari yang dianut oleh masyarakat nagari di Sumatera Barat. Tanah ulayat nagari dianggap sebagai milik kolektif masyarakat nagari yang penguasaannya berada ditangan KAN dan pengaturan pemanfaatannya dilakukan oleh Pemerntah Nagari dalam Peratuan Nagari.
    HGU memiliki jangka waktu paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 tahun. Batas waktu ini mengurangi penguasaan masyarakat nagari, termasuk KAN, terhadap tanah ulayat nagari. Sehingga tanah ulayat nagari hanya akan bertahan paling lama 60 tahun. Setelah itu akan hilang dan menjadi tanah negara sebab ada kewajiban kepada pemegang HGU untuk menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Usaha kepada Negara sesudah Hak Guna Usaha tersebut hapus;
    Pemegang HGU harus membayar sejumlah uang pemasukan kepada negara. HGU pada dasarnya diberikan bagi kepentingan usaha, bila pemerintahan nagari tidak mengoptimalkan pemanfaatan tanah ulayat nagari sebagai faktor produksi maka akan mendapatkan beban pembayaran tersebut.
    Pemegang HGU berkewajiban menyampaikan laporan tertulis setiap akhir tahun mengenai penggunaan Hak Guna Usaha. Aturan ini memberikan beban dan kontrol baru dari pihak lain kepada masyarakat nagari.
    Hak Guna Usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan. Menjadikan HGU sebagai jaminan utang memiliki koneskuensi bahwa hak tersebut dapat disengketakan di dalam persidangan. Apabila pemengan hak kalah dipersidangan maka HGU tersebut dapat beralih kepada pihak lain.
    Selain dengan putusan pengadilan, HGU juga dapat dialihakan dengan cara jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal, hibah, dan pewarisan. Hal ini mempermudah pengalihan tanah ulayat yang didaftarkan menjadi HGU untuk dipindahtangankan yang pada akhirnya akan menghilangkan keberadaan tanah ulayat nagari.
    Selain didaftarkan dengan status HGU, tanah ulayat nagari juga dapat didaftarkan dengan status Hak Pengelolaan dan Hak Pakai. Hak pengelolaan dalam hukum tanah nasional tidak disebut dalam UUPA, tetapi tersirat dalam pernyataan Penjelasan Umum angka II.2. Dalam kenyataannya pengaturan tentang Hak Pengelolaan hanya diatur oleh setingkat Peraturan Menteri bukan dengan Undang-undang.

    Kewenangan yang diberikan kepada pemegang hak pengelolaan itu adalah terbatas untuk merencanakan peruntukkan dan penggunaan tanah, menggunakan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, menyerahkan bagian-bagian tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.

    Hak Pengelolaan berkedudukan sebagai suatu bentuk pelimpahan pelaksanaan sebagian kewenangan dari hak menguasai negara atas tanah yang diberikan kepada Departemen, Lembaga-lembaga Pemerintahan Negara, Daerah Otonom, serta Badan Hukum-badan hukum yang ditunjuk oleh Pemerintah. Hak Pengelolaan tidak dapat dialihkan dan tidak dapat dijaminkan.

    Sehingga tanah ulayat yang didaftarkan menjadi Hak Pengelolaan lebih mirip dengan pemberian hak kepada kesatuan masyarakat hukum adat atau daerah swatantra yang disebutkan dalam Pasal 2 ayat (4) UUPA karena bersifat tetap dan diberikan untuk keperluan tertentu.

    Sedangkan pendaftaran tanah ulayat nagari dengan status Hak Pakai juga memiliki problem subjek pemegang hak yang serupa dengan HGU. Di dalam PP No. 40/1996 disebutkan bahwa subjek Hak Pakai adalah: a) Warga Negara Indonesia; b) Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; c) Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah Daerah; d) Badan-badan keagamaan dan sosial; e) Orang asing yang berkedudukan di Indonesia; f) Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia; g) Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Intemasional. Masyarakat adat dalam bentuk pemerintahan nagari juga tidak secara tegas disebutkan sebagai pemegang hak pakai.

    Hak Pakai dapat diberikan pada tanah negara, tanah hak pengelolaan dan tanah atas hak milik. Bila tanah ulayat nagari dianggap sebagai tanah negara, maka hak pakai diberikan oleh Menteri atau petugas yang ditunjuk dan kemudian didaftarkan ke Kantor Pertanahan.

    Sifat dari hak pakai dari tanah negara adalah hak yang diberikan (given), bukan sebagai hak asal yang berasal dari masyarakat. Hak Pakai pada tanah hak pengelolaan juga diputuskan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk setelah adanya usulan dari pemegang hak pengelolaan.

    Sedangkan Hak Pakai pada tanah milik lebih dekat dengan konsepsi yang dimaksud terhadap tanah ulayat nagari sebab tanah ulayat nagari dianggap sebagai hak asal usul yang berasal dari keberadaan nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat. Hak Pakai yang bersumber dari tanah milik terjadi melalui pemberian tanah oleh pemegang Hak Milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.

    Tanah ulayat nagari yang didaftarkan sebagai Hak Pakai menimbulkan beberapa konsekuensi yang akan diterima oleh masyarakat nagari, antara lain:

    Bila Hak Pakai atas tanah ulayat dianggap sebagai hak pemberian (given) dari Pemerintah, maka Hak Pakai tersebut memiliki jangka waktu paling lama 25 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun. Tetapi juga ada ketentuan yang menyatakan bahwa Hak Pakai tersebut dapat diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu. Untuk keperluan tertentu yang dimaksud adalah untuk kepentingan: a) Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah Daerah; b) Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Internasional; c) Badan keagamaan dan badan sosial. Apakah bagi tanah ulayat nagari dianggap sebagai untuk keperluan tertentu juga? Belum ada penjelasan relevan menjawabnya.
    Hak Pakai yang bersumber dari Hak Milik memilik jangka waktu paling lama 25 tahun dan setelah itu tidak dapat diperpanjang. Hal ini kemudian menghilangkan keberadaan tanah ulayat nagari. Namun bila ada kesepakatan antara pemegang hak milik, maka Hak Pakai tersebut dapat diperbarui dengan menggunakan hak pakai baru Hak Pakau baru itu dilakukan dengan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dan didaftarkan kembali kepada Kantor Pertanahan.
    Pemegang hak pakai membayar sejumlah uang kepada pemberi Hak Pakai baik kepada negara, pemegang hak pengelolaan atau kepada pemegang hak milik atas tanah. Hal ini menjadi aneh bila tanah ulayat nagari dianggap sebagai hak asal usul dari keberadaan nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat di Sumatera Barat. Tidak relevan apabila suatu kelompok membayar sejumlah uang kepada pihak lain agar dia dapat menikmati hak atas tanah yang pada mulanya adalah hak mereka.
    Hak Pakai dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan.Menjadikan Hak Pakai sebagai jaminan utang memiliki koneskuensi bahwa hak tersebut dapat disengketakan di dalam persidangan. Apabila pemengan hak kalah dipersidangan maka Hak Pakai tersebut dapat beralih kepada pihak lain.
    Sama dengan HGU, Hak Pakai juga dapat dialihakan dengan cara jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal, hibah,dan pewarisan. Hal ini mempermudah pengalihan tanah ulayat yang didaftarkan menjadi Hak Pakai untuk dipindahtangankan yang pada akhirnya akan menghilangkan keberadaan tanah ulayat nagari.

    Tanah Ulayat Suku
    Tanah ulayat suku didaftarkan dengan status hak milik yang pemegang haknya adalah penghulu-penghulu suku.

    Tanah Ulayat Kaum
    Tanah ulayat suku didaftarkan dengan status hak milik yang pemegang haknya adalah anggota kaum dan mamak kepala waris.

    Tanah Ulayat Rajo
    Tanah ulayat rajo didaftarkan dengan status hak pakai dan hak kelola yang pemegang haknya adalah anggota kaum dan pihak ketiga dengan diketahui oleh laki-laki tertua pewaris rajo.

    Tanah ulayat yang sudah diberikan izin oleh penguasa dan pemilik tanah ulayat kepada perorangan yang dikerjakan terus menerus dan sudah terbuka sebagai sumber kehidupan dapat didaftarkan sebagai hak milik setelah memenuhi "adat diisi limbago dituang."
    Penutup

    Pendaftaran tanah hak ulayat (ulayat nagari) menjadi hak atas tanah (HGU, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan) dalam Perda TUP potensial menghilangkan status hak ulayat (hak ulayat nagari). Alih-alih melaksanakan perlindungan, pengaturan pendaftaran tanah ulayat dalam Perda TUP menjadi alat "Konversi" hak ulayat menjadi tanah hak milik dan atau tanah negara. Hal ini mengakibatkan ketidakpastian hukum terhadap hak ulayat.

    Pendaftaran hak ulayat nagari dengan status pendaftaran tanah dalam Perda TUP khususnya dan dalam hukum agraria pada umumnya memperlemah keberadaan hak ulayat. Peluang "pendaftaran" atau dalam praktik disebut penetapan hukum hak ulayat yang ada hari ini adalah penetapan oleh pemerintah daerah tentang keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat, yang merupakan model alternatif di luar model pendaftaran tanah dalam PP No. 24/1999 tentang pendaftaran tanah, seperti halnya dalam contoh kasus masyarakat adat Badui.

    Namun, persoalan muncul dengan proses dan mekanismenya yaitu banyaknya Perda yang harus dilahirkan untuk penetapan-penetapan hak ulayat (ulayat nagari) dari semua nagari-nagari yang ada di Sumatera Barat. Selaras dengan itu, perubahan PP No.24/1999 tentang pendaftaran tanah menjadi hal penting. Perubahan tersebut semestinya memasukkan hak ulayat sebagai "hak khusus" dengan "dokumen khusus" yang berbeda dengan sertipikat hak milik.

    REFERENSI

    Ade Saptomo, (2004). Di Balik Sertifikasi Hak Atas Tanah Dalam Perspektif Pluralisme Hukum, Jurnal Jurisprudence, Vol 1. No. 2. September 2004. Hal 207-218. Diunduh dari: http://eprints.ums.ac.id/344/1/6._ADE_SAPTOMO.pdf pada tanggal 1 September 2008.

    Bonnie Setiawan, Ekonomi Pasar Yang Neo-Liberalistik Versus Ekonomi Berkeadilan Sosial, Disampaikan pada Diskusi Publik "Ekonomi Pasar yang Berkeadilan Sosial" yang diadakan oleh 'Forum Komunikasi Partai Politik dan Politisi untuk Reformasi' tanggal 12 Juni 2006 di DPR-RI, Jakarta.

    Herman Soesangobeng, Pendaftaran Tanah Ulayat Di Sumatera Barat dengan Contoh Pilot Proyek Pendaftaran Tanah di Desa Tigo Jangko, Kecamatan Lintau Buo, Kabupaten Tanah Datar. Makalah dalam Lokakarya di Padang, 23-24 Oktober 2000

    John Griffiths, (2005). Memahami Pluralisme Hukum, Sebuah Deskripsi Konseptual, dalam Buku Pluralisme Hukum: Sebuah Pendekatan Interdisipliner,  HuMa, Jakarta

    Otje Salman Soemadiningrat, (2002). Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Alumni, Bandung.

    [1] Makalah ini ditulis ulang dengan kesesuaian materi pendaftaran tanah ulayat dari buku Nurul Firmansyah dan Yance Arizona, (2008), Pemanfaatan Tanpa Jaminan Perlindungan; kajian atas Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat no. 6/2008 Tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya, HuMa, Jakarta

    [2] Van Vallenhoven adalah seorang anak seorang hakim yang lahir pada tanggal 8 Mei 1874. Dia adalah Doktor di bidang ilmu politik dan jurisprudence. Semasa hidupnya banyak dicurahkan sebagai Ketua Komisi Hukum Adat (Commissie voor Adatrechts) di Leiden dan beralih pada tahun 1917 dengan mengurus Yayasan Hukum Adat (Adatrechtsticihing). Van Vallenhoven membawa diskursus tentang hukum adat dalam kancah akademis. Lihat Otje Salman Soemadiningrat, (2002).Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Alumni, Bandung. Hal. 110.

    [3] Herman Soesangobeng, Pendaftaran Tanah Ulayat Di Sumatera Barat dengan Contoh Pilot Proyek Pendaftaran Tanah di Desa Tigo Jangko, Kecamatan Lintau Buo, Kabupaten Tanah Datar. Makalah dalam Lokakarya di Padang, 23-24 Oktober 2000.

    [4] Bonnie Setiawan, Ekonomi Pasar Yang Neo-Liberalistik Versus Ekonomi Berkeadilan Sosial, Disampaikan pada Diskusi Publik "Ekonomi Pasar yang Berkeadilan Sosial" yang diadakan oleh 'Forum Komunikasi Partai Politik dan Politisi untuk Reformasi' tanggal 12 Juni 2006 di DPR-RI, Jakarta. Hal 4-5

    [5] Ade Saptomo, (2004). Di Balik Sertifikasi Hak Atas Tanah Dalam Perspektif Pluralisme Hukum, Jurnal Jurisprudence, Vol 1. No. 2. September 2004. Hal 207-218. Diunduh dari: http://eprints.ums.ac.id/344/1/6._ADE_SAPTOMO.pdf pada tanggal 1 September 2008

    [6] Ade Saptomo juga menyampaikan bahwa sertifikasi dapat diinterpretasi sebagai sebuah fenomena hedonisme. Artinya, ada tesis bahwa (1) di balik sertifikasi hak atas tanah terdapat individualisme dan hedonisme yang dibawa oleh globalisme. (2) Sertifikasi dipandang sebagai tindakan pengaman terhadap apa yang diperoleh dengan kerja keras di masa kini dan masa berikutnya.

    [7] John Griffiths, (2005). Memahami Pluralisme Hukum, Sebuah Deskripsi Konseptual,dalam Buku Pluralisme Hukum: Sebuah Pendekatan Interdisipliner,  HuMa, Jakarta. Hal 79

    [8] Pasal 9 PP tersebut menyatakan bahwa yang menjadi objek pendaftaran tanah adalah: a) Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai; b) Tanah hak pengelolaan; c) Tanah wakaf; d) Hak milik atas satuan rumah susun; e) Hak tanggungan; f) Tanah Negara. Tidak dimasukkannya tanah ulayat sebagai objek pendaftaran tanah membuat pemerintah tidak menerbitkan status sebidang tanah dengan Sertipikat Tanah Ulayat.

    *untuk melihat utuh Perda Provinsi Sumatera Barat tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya, dapat diunduh pada : http://www.bphn.go.id/data/documents/perda_pempov_sumbar_no._6_tahun_2008.pdf

    Halaman ( 1)

    (Kajian atas Mekanisme Pendaftaran Tanah Ulayat Dalam Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya) [1]

    1. Kontoversi Pendaftaran Tanah Ulayat

    Soal pendaftaran tanah ulayat yang menghasilkan sertipikat tanah ulayat telah menjadi kontroversi sejak lama di Sumatera Barat. Pihak yang menolak mencurigai bahwa pendaftaran tanah ulayat menyebabkan hilangnya sifat komunalitas atas tanah ulayat. Bahkan akan menghilangkan keberadaan tanah ulayat karena beralih menjadi tanah dengan hak-hak individu.

    Pendaftaran tanah yang dibuktikan dengan sertipikat, misalkan pada tanah ganggam bauntuakdipandang sebagai proses individualisasi tanah ulayat yang semula merupakan milik komunal. Padangan ini didukung dengan argumentasi Van Vallenhoven[2]yang menyatakan bahwa hak ulayat (beschikingsrecht) sebagai hak yang mandiri.[3] Sebagai hak yang mandiri, tanah ulayat yang pengelolaannya didasarkan pada hukum adat sudah cukup menjadi pegangan dalam mengatur pemanfaatan tanah ulayat bagi anggota masyarakat adat dan bagi pihak lain.

    Pengelolaan tanah ulayat sebagai hak yang mandiri di Minangkabau diperkuat dengan kemandirian komunitas yang tergambar dalam ungkapan "adat salingka nagari". Ungkapan ini mempertegas konsepsi otonomi masyarakat adat, dimana pengaturan ulayat yang berdasarkan hukum adat merupakan sistem hak yang berlaku pada ruang lingkup wilayah nagari.

    Pepatah ini juga menegaskan bahwa tanah ulayat bukanlah ruang yang kosong dari aturan. Seluruh aspek yang terkait dengannya, telah diatur oleh norma adat secara pasti, sehingga tidak diperlukan lagi sertipikat sebagai bukti kemandirian hak atas tanah ulayat.

    Sedangkan  disisi lain, pihak yang mendorong pendaftaran tanah ulayat mengharapkan agar tanah ulayat memiliki pengakuan hukum dari negara sehingga memiliki kepastian hukum. Pilihan pengakuan dalam bentuk sertipikat menjadikan tanah ulayat lebih leluasa dimanfaatkan bagi kepentingan ekonomi karena memiliki landasan hukum keperdataan yang lebih kuat.

    Bahkan Pasal 32 ayat (1) PP No. 24/1997 menyatakan bahwa sertipikat "berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat." Sertipikat selain menunjukkan kepastian pemegang hak atas tanah juga memberikan kemudahan mengukur secara kuantitatif nominal harga tanah karena menyediakan data-data fisik tentang tanah. Sebagai alat ekonomi, sertipikat juga dapat dianggunkan ke bank untuk mendapatkan sejumlah pinjaman.

    Bahkan hasil penelitian Tim Perumusan Ranperda Tanah Ulayat pada tahun 2001 menemukan bahwa dari 400 orang yang diwawancarai, 295 orang atau 73,75 persen sepakat agar tanah ulayat dapat disertipikatkan. 80 orang atau 20,00 persen yang tidak sepakat dan 25 orang atau 6,25 persen yang tidak menjawab.

    Fenomena ini harus dibaca sebagai keterbukaan masyarakat Minangkabau atas nilai-nilai yang berkembang diluar masyarakat Minangkabau, seperti sertipikat, dengan tetap memegang tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang.

    Dalam praktik, selain sertipikasi, ada bentuk lain pengakuan hukum atas hak-hak masyarakat adat. Di Kabupaten Lebak, Banten misalnya, pengakuan dilakukan dengan Penetapan Hukum melalui Perda No. 32/2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy.

    Di Kabupaten Merangin, Jambi,  dilakukan dengan SK Bupati Merangin No. 287 Tahun 2003 Tentang Pengukuhan Kawasan Bukit Tapanggang sebagai Hutan Adat Masyarakat Hukum Adat Desa Guguk Kecamatan Sungai Manau, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi.

    Pilihan bentuk pengakuan dalam bentuk sertipikat membenarkan bahwa Perda TUP lahir guna dimanfaatkan bagi kepentingan ekonomi yang terbuka dengan pihak investasi yang membutuhkan kepastian hak dalam berinvestasi.

    2. Wacana Kritis Pendaftaran Tanah Ulayat

    Kritik terhadap sertifikasi juga muncul karena anggapan bahwa sertifikasi yang didorong oleh lembaga-lembaga keuangan internasional ditujukan bagi terciptanya pasar tanah dimana tanah-tanah, termasuk tanah ulayat, dapat mudah dipertukarkan dengan mekanisme pasar dan memberikan kepastian hukum dari pencapaian penjualan tersebut. Kondisi dapat berakibat semakin lemah dan hilangnya tanah ulayat di Sumatera Barat. Tekanan dari lembaga internasional itu dipaparkan oleh Bonnie Setiawan sebagai berikut:[4]

    Lewat Land Administration Project (LAP), Pemerintah (dan BPN) bersama dengan Bank Dunia dan AusAid sedang menjalankan suatu mega-proyek mengenai deregulasi pertanahan dengan istilah "Land Resource and Management Planning" yang akan berlangsung selama 25 tahun (1995-2020). Proyek tersebut dilakukan dengan merancang suatu desain perubahan manajemen dan administrasi pertanahan yang tujuan akhirnya adalah terciptanya pasar tanah (land market). Pelaksanaannya dilakukan secara bertahap setiap lima tahun.

    LAP I (1995-2000) menelan biaya sebesar US$ 140,1 juta, didanai dari anggaran nasional sebesar US$44,9 juta (32%), pinjaman dari Bank Dunia US$ 80 juta (57%) dan sisanya US$ 15,2 juta (11%) adalah grant dari AusAid. Meskipun program ini telah ditentang oleh aktivis, akan tetapi mereka tetap jalan terus. Terakhir LAP II akan kembali dilaksanakan, dan akan mulai memasukkan obyek tanah masyarakat adat, karena sudah adanya pilot proyek sebelumnya yang dijalankan di Sumatera Barat. Rencananya LAP II akan bernilai sebesar US$ 110 juta, yaitu US$ 20 juta dari pemerintah Indonesia dan US$ 90 juta dari pinjaman Bank Dunia.

    Dengan perspektif pluralisme hukum, Ade Saptomo menyampaikan bahwa di balik sertifikat juga lahir asumsi inkoorporasi antara hukum adat dengan hukum nasional, yaitu hukum adat menerima sebagian unsur hukum negara dan hukum negara menerima sebagian hukum lokal (adat).[5] Artinya, sebagian warga masyarakat di suatu tempat bersedia menerima unsur hukum negara dan hukum negara pun "tidak keberatan" untuk mengakomodasi keinginan warga.

    Hal ini dapat ditafsir pada sebuah fenomena sertifikasi hak atas tanah ulayat dimana di halaman depan sertifikat tertulis satu nama penghulu suku atau mamak kaum atas sebidang tanah, sementara di balik sertifikat dimaksud tertuang sejumlah nama-nama kemenakan penghulu suku sebagai pemilik bersama.[6]

    Pandangan diatas hampir sama dengan pandangan John Griffiths yang menyatakan bahwa keterbukaan hukum negara -- yang pada dasarnya bersifat generalis dan tidak mengenal pembedaan -- terhadap sistem hukum adat yang lokalitas dan beragam merupakan salah satu cara penguatan dari sentralisme hukum negara.

    Halaman ( 2 )
    Pendaftaran Tanah Ulayat atau Konversi Hak


    Griffiths menyatakan sentralisme hukum menggunakan pluralisme hukum sabagai salah satu upaya untuk mengakomodir situasi sosial yang dirasakan problematik dengan memberlakukan ketentuan-ketentuan hukum masyarakat lokal sebagai bagian ketentuan hukum yang tunduk pada hukum negara.[7] Dalam hal ini pluralisme hukum yang dibadankan dalam bentuk sertifikat.

    Sertifikat kemudian dijadikan sebagai alat oleh sentralisme hukum negara untuk menundukkan keberagaman dan struktur hukum masyarakat atas sebidang tanah. Hal ini dapat membuat pengetahuan hukum adat tentang tanah ulayat akan berkurang karena sudah diganti dengan mekanisme hukum negara.

    Setelah masuk dalam mekanisme hukum negara, maka kemudian persoalan tanah ulayat akan didominasi oleh pemerintah dan ahli hukum yang tidak selalu memiliki perspektif penguatan hak-hak masyarakat atas tanah ulayat.

    3. Persoalan Teknis Hukum

    Bab V, Pasal 8 Perda TUP mengatur tentang pendaftaran dan subjek hukum tanah ulayat. Tanah ulayat didaftarkan kepada Kantor Pertanahan (BPN) kabupaten/kota yang tujuannya adalah untuk menjamin kepastian hukum dan keperluan penyediaan data/informasi pertanahan.

    Tanah ulayat nagari didaftarkan menjadi hak guna usaha, hak pakai dan hak pengelolaan. Tanah ulayat suku dan tanah ulayat kaum didaftarkan menjadi hak milik. Sedangkan tanah ulayat rajo didaftarkan menjadi Hak Pakai dan Hak Kelola.

    Karena tanah ulayat bukan merupakan objek pendaftaran tanah (menurut PP No. 24/1997), maka tanah ulayat didaftarkan sebagai hak-hak atas tanah yang diatur di dalam UUPA, yang menjadi objek pendaftaran tanah.[8]

    Hal tersebut diperkuat kembali oleh Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Pasal 4 ayat (1) Permen No. 5/1999 menyebutkan bahwa tanah ulayat, apabila dikehendaki oleh pemegang haknya dapat didaftar sebagai hak atas tanah yang sesuai menurut ketentuan UUPA.

    Hal tersebut menjadi dasar ketentuan Perda TUP yang mengatur pendaftaran tanah ulayat untuk didaftarkan dengan status hak atas tanah menurut UUPA. Perda TUP memperkenalkan 5 jenis pendaftaran tanah ulayat ke dalam status tanah menurut UUPA, yaitu:

    Tanah Ulayat Nagari

    Tanah ulayat nagari dapat didaftarkan dengan status Hak Guna Usaha, Hak Pengelolaan atau Hak Pakai yang pemegang haknya adalah atas nama ninik mamak KAN. Sehingga di dalam sertifikat tanah ulayat tersebut akan mencantumkan nama ninik mamak KAN serta dapat melampirkan nama-nama pihak lain yang terkait dengan pemilikan atas tanah ulayat nagari.

    Pendaftaran tanah ulayat nagari dengan status HGU dari sisi subjek pengemban hak belum memiliki landasan hukum yang kuat. PP No. 40/1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai, menyatakan bahwa pemegang HGU adalah warga negara Indonesia dan Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Tidak secara spesifik dinyatakan bahwa masyarakat adat, yang berbentuk nagari, dapat menjadi pemegang HGU.

    Pendaftaran tanah ulayat nagari dengan status HGU menimbulkan beberapa konsekuensi karena HGU memilik aturan sendiri yang berbeda dengan nilai-nilai kolektif dan mandiri dari masyarakat nagari. Beberapa konsekuensi itu antara lain:

    Tanah yang dapat diberikan HGU adalah tanah negara. Karena HGU hanya diberikan dari tanah negara, maka hal ini berbeda dengan landasan hak atas tanah ulayat nagari yang dianut oleh masyarakat nagari di Sumatera Barat. Tanah ulayat nagari dianggap sebagai milik kolektif masyarakat nagari yang penguasaannya berada ditangan KAN dan pengaturan pemanfaatannya dilakukan oleh Pemerntah Nagari dalam Peratuan Nagari.
    HGU memiliki jangka waktu paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 tahun. Batas waktu ini mengurangi penguasaan masyarakat nagari, termasuk KAN, terhadap tanah ulayat nagari. Sehingga tanah ulayat nagari hanya akan bertahan paling lama 60 tahun. Setelah itu akan hilang dan menjadi tanah negara sebab ada kewajiban kepada pemegang HGU untuk menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Usaha kepada Negara sesudah Hak Guna Usaha tersebut hapus;
    Pemegang HGU harus membayar sejumlah uang pemasukan kepada negara. HGU pada dasarnya diberikan bagi kepentingan usaha, bila pemerintahan nagari tidak mengoptimalkan pemanfaatan tanah ulayat nagari sebagai faktor produksi maka akan mendapatkan beban pembayaran tersebut.
    Pemegang HGU berkewajiban menyampaikan laporan tertulis setiap akhir tahun mengenai penggunaan Hak Guna Usaha. Aturan ini memberikan beban dan kontrol baru dari pihak lain kepada masyarakat nagari.
    Hak Guna Usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan. Menjadikan HGU sebagai jaminan utang memiliki koneskuensi bahwa hak tersebut dapat disengketakan di dalam persidangan. Apabila pemengan hak kalah dipersidangan maka HGU tersebut dapat beralih kepada pihak lain.
    Selain dengan putusan pengadilan, HGU juga dapat dialihakan dengan cara jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal, hibah, dan pewarisan. Hal ini mempermudah pengalihan tanah ulayat yang didaftarkan menjadi HGU untuk dipindahtangankan yang pada akhirnya akan menghilangkan keberadaan tanah ulayat nagari.
    Selain didaftarkan dengan status HGU, tanah ulayat nagari juga dapat didaftarkan dengan status Hak Pengelolaan dan Hak Pakai. Hak pengelolaan dalam hukum tanah nasional tidak disebut dalam UUPA, tetapi tersirat dalam pernyataan Penjelasan Umum angka II.2. Dalam kenyataannya pengaturan tentang Hak Pengelolaan hanya diatur oleh setingkat Peraturan Menteri bukan dengan Undang-undang.

    Kewenangan yang diberikan kepada pemegang hak pengelolaan itu adalah terbatas untuk merencanakan peruntukkan dan penggunaan tanah, menggunakan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, menyerahkan bagian-bagian tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.

    Hak Pengelolaan berkedudukan sebagai suatu bentuk pelimpahan pelaksanaan sebagian kewenangan dari hak menguasai negara atas tanah yang diberikan kepada Departemen, Lembaga-lembaga Pemerintahan Negara, Daerah Otonom, serta Badan Hukum-badan hukum yang ditunjuk oleh Pemerintah. Hak Pengelolaan tidak dapat dialihkan dan tidak dapat dijaminkan.

    Sehingga tanah ulayat yang didaftarkan menjadi Hak Pengelolaan lebih mirip dengan pemberian hak kepada kesatuan masyarakat hukum adat atau daerah swatantra yang disebutkan dalam Pasal 2 ayat (4) UUPA karena bersifat tetap dan diberikan untuk keperluan tertentu.

    Sedangkan pendaftaran tanah ulayat nagari dengan status Hak Pakai juga memiliki problem subjek pemegang hak yang serupa dengan HGU. Di dalam PP No. 40/1996 disebutkan bahwa subjek Hak Pakai adalah: a) Warga Negara Indonesia; b) Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; c) Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah Daerah; d) Badan-badan keagamaan dan sosial; e) Orang asing yang berkedudukan di Indonesia; f) Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia; g) Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Intemasional. Masyarakat adat dalam bentuk pemerintahan nagari juga tidak secara tegas disebutkan sebagai pemegang hak pakai.

    Hak Pakai dapat diberikan pada tanah negara, tanah hak pengelolaan dan tanah atas hak milik. Bila tanah ulayat nagari dianggap sebagai tanah negara, maka hak pakai diberikan oleh Menteri atau petugas yang ditunjuk dan kemudian didaftarkan ke Kantor Pertanahan.

    Sifat dari hak pakai dari tanah negara adalah hak yang diberikan (given), bukan sebagai hak asal yang berasal dari masyarakat. Hak Pakai pada tanah hak pengelolaan juga diputuskan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk setelah adanya usulan dari pemegang hak pengelolaan.

    Halaman ( 3 )

    Sedangkan Hak Pakai pada tanah milik lebih dekat dengan konsepsi yang dimaksud terhadap tanah ulayat nagari sebab tanah ulayat nagari dianggap sebagai hak asal usul yang berasal dari keberadaan nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat. Hak Pakai yang bersumber dari tanah milik terjadi melalui pemberian tanah oleh pemegang Hak Milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.

    Tanah ulayat nagari yang didaftarkan sebagai Hak Pakai menimbulkan beberapa konsekuensi yang akan diterima oleh masyarakat nagari, antara lain:

    Bila Hak Pakai atas tanah ulayat dianggap sebagai hak pemberian (given) dari Pemerintah, maka Hak Pakai tersebut memiliki jangka waktu paling lama 25 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun. Tetapi juga ada ketentuan yang menyatakan bahwa Hak Pakai tersebut dapat diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu. Untuk keperluan tertentu yang dimaksud adalah untuk kepentingan: a) Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah Daerah; b) Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Internasional; c) Badan keagamaan dan badan sosial. Apakah bagi tanah ulayat nagari dianggap sebagai untuk keperluan tertentu juga? Belum ada penjelasan relevan menjawabnya.
    Hak Pakai yang bersumber dari Hak Milik memilik jangka waktu paling lama 25 tahun dan setelah itu tidak dapat diperpanjang. Hal ini kemudian menghilangkan keberadaan tanah ulayat nagari. Namun bila ada kesepakatan antara pemegang hak milik, maka Hak Pakai tersebut dapat diperbarui dengan menggunakan hak pakai baru Hak Pakau baru itu dilakukan dengan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dan didaftarkan kembali kepada Kantor Pertanahan.
    Pemegang hak pakai membayar sejumlah uang kepada pemberi Hak Pakai baik kepada negara, pemegang hak pengelolaan atau kepada pemegang hak milik atas tanah. Hal ini menjadi aneh bila tanah ulayat nagari dianggap sebagai hak asal usul dari keberadaan nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat di Sumatera Barat. Tidak relevan apabila suatu kelompok membayar sejumlah uang kepada pihak lain agar dia dapat menikmati hak atas tanah yang pada mulanya adalah hak mereka.
    Hak Pakai dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan.Menjadikan Hak Pakai sebagai jaminan utang memiliki koneskuensi bahwa hak tersebut dapat disengketakan di dalam persidangan. Apabila pemengan hak kalah dipersidangan maka Hak Pakai tersebut dapat beralih kepada pihak lain.
    Sama dengan HGU, Hak Pakai juga dapat dialihakan dengan cara jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal, hibah,dan pewarisan. Hal ini mempermudah pengalihan tanah ulayat yang didaftarkan menjadi Hak Pakai untuk dipindahtangankan yang pada akhirnya akan menghilangkan keberadaan tanah ulayat nagari.
    Tanah Ulayat Suku
    Tanah ulayat suku didaftarkan dengan status hak milik yang pemegang haknya adalah penghulu-penghulu suku.

    Tanah Ulayat Kaum
    Tanah ulayat suku didaftarkan dengan status hak milik yang pemegang haknya adalah anggota kaum dan mamak kepala waris.

    Tanah Ulayat Rajo
    Tanah ulayat rajo didaftarkan dengan status hak pakai dan hak kelola yang pemegang haknya adalah anggota kaum dan pihak ketiga dengan diketahui oleh laki-laki tertua pewaris rajo.

    Tanah ulayat yang sudah diberikan izin oleh penguasa dan pemilik tanah ulayat kepada perorangan yang dikerjakan terus menerus dan sudah terbuka sebagai sumber kehidupan dapat didaftarkan sebagai hak milik setelah memenuhi "adat diisi limbago dituang."
    Penutup

    Pendaftaran tanah hak ulayat (ulayat nagari) menjadi hak atas tanah (HGU, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan) dalam Perda TUP potensial menghilangkan status hak ulayat (hak ulayat nagari). Alih-alih melaksanakan perlindungan, pengaturan pendaftaran tanah ulayat dalam Perda TUP menjadi alat "Konversi" hak ulayat menjadi tanah hak milik dan atau tanah negara. Hal ini mengakibatkan ketidakpastian hukum terhadap hak ulayat.

    Pendaftaran hak ulayat nagari dengan status pendaftaran tanah dalam Perda TUP khususnya dan dalam hukum agraria pada umumnya memperlemah keberadaan hak ulayat. Peluang "pendaftaran" atau dalam praktik disebut penetapan hukum hak ulayat yang ada hari ini adalah penetapan oleh pemerintah daerah tentang keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat, yang merupakan model alternatif di luar model pendaftaran tanah dalam PP No. 24/1999 tentang pendaftaran tanah, seperti halnya dalam contoh kasus masyarakat adat Badui.

    Namun, persoalan muncul dengan proses dan mekanismenya yaitu banyaknya Perda yang harus dilahirkan untuk penetapan-penetapan hak ulayat (ulayat nagari) dari semua nagari-nagari yang ada di Sumatera Barat. Selaras dengan itu, perubahan PP No.24/1999 tentang pendaftaran tanah menjadi hal penting. Perubahan tersebut semestinya memasukkan hak ulayat sebagai "hak khusus" dengan "dokumen khusus" yang berbeda dengan sertipikat hak milik.

    REFERENSI

    Ade Saptomo, (2004). Di Balik Sertifikasi Hak Atas Tanah Dalam Perspektif Pluralisme Hukum, Jurnal Jurisprudence, Vol 1. No. 2. September 2004. Hal 207-218. Diunduh dari: http://eprints.ums.ac.id/344/1/6._ADE_SAPTOMO.pdf pada tanggal 1 September 2008.

    Bonnie Setiawan, Ekonomi Pasar Yang Neo-Liberalistik Versus Ekonomi Berkeadilan Sosial, Disampaikan pada Diskusi Publik "Ekonomi Pasar yang Berkeadilan Sosial" yang diadakan oleh 'Forum Komunikasi Partai Politik dan Politisi untuk Reformasi' tanggal 12 Juni 2006 di DPR-RI, Jakarta.

    Herman Soesangobeng, Pendaftaran Tanah Ulayat Di Sumatera Barat dengan Contoh Pilot Proyek Pendaftaran Tanah di Desa Tigo Jangko, Kecamatan Lintau Buo, Kabupaten Tanah Datar. Makalah dalam Lokakarya di Padang, 23-24 Oktober 2000

    John Griffiths, (2005). Memahami Pluralisme Hukum, Sebuah Deskripsi Konseptual, dalam Buku Pluralisme Hukum: Sebuah Pendekatan Interdisipliner,  HuMa, Jakarta

    Otje Salman Soemadiningrat, (2002). Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Alumni, Bandung.

    [1] Makalah ini ditulis ulang dengan kesesuaian materi pendaftaran tanah ulayat dari buku Nurul Firmansyah dan Yance Arizona, (2008), Pemanfaatan Tanpa Jaminan Perlindungan; kajian atas Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat no. 6/2008 Tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya, HuMa, Jakarta

    [2] Van Vallenhoven adalah seorang anak seorang hakim yang lahir pada tanggal 8 Mei 1874. Dia adalah Doktor di bidang ilmu politik dan jurisprudence. Semasa hidupnya banyak dicurahkan sebagai Ketua Komisi Hukum Adat (Commissie voor Adatrechts) di Leiden dan beralih pada tahun 1917 dengan mengurus Yayasan Hukum Adat (Adatrechtsticihing). Van Vallenhoven membawa diskursus tentang hukum adat dalam kancah akademis. Lihat Otje Salman Soemadiningrat, (2002).Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Alumni, Bandung. Hal. 110.

    [3] Herman Soesangobeng, Pendaftaran Tanah Ulayat Di Sumatera Barat dengan Contoh Pilot Proyek Pendaftaran Tanah di Desa Tigo Jangko, Kecamatan Lintau Buo, Kabupaten Tanah Datar. Makalah dalam Lokakarya di Padang, 23-24 Oktober 2000.

    [4] Bonnie Setiawan, Ekonomi Pasar Yang Neo-Liberalistik Versus Ekonomi Berkeadilan Sosial, Disampaikan pada Diskusi Publik "Ekonomi Pasar yang Berkeadilan Sosial" yang diadakan oleh 'Forum Komunikasi Partai Politik dan Politisi untuk Reformasi' tanggal 12 Juni 2006 di DPR-RI, Jakarta. Hal 4-5

    [5] Ade Saptomo, (2004). Di Balik Sertifikasi Hak Atas Tanah Dalam Perspektif Pluralisme Hukum, Jurnal Jurisprudence, Vol 1. No. 2. September 2004. Hal 207-218. Diunduh dari: http://eprints.ums.ac.id/344/1/6._ADE_SAPTOMO.pdf pada tanggal 1 September 2008

    Halaman ( 4 )

    [6] Ade Saptomo juga menyampaikan bahwa sertifikasi dapat diinterpretasi sebagai sebuah fenomena hedonisme. Artinya, ada tesis bahwa (1) di balik sertifikasi hak atas tanah terdapat individualisme dan hedonisme yang dibawa oleh globalisme. (2) Sertifikasi dipandang sebagai tindakan pengaman terhadap apa yang diperoleh dengan kerja keras di masa kini dan masa berikutnya.

    [7] John Griffiths, (2005). Memahami Pluralisme Hukum, Sebuah Deskripsi Konseptual,dalam Buku Pluralisme Hukum: Sebuah Pendekatan Interdisipliner,  HuMa, Jakarta. Hal 79

    [8] Pasal 9 PP tersebut menyatakan bahwa yang menjadi objek pendaftaran tanah adalah: a) Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai; b) Tanah hak pengelolaan; c) Tanah wakaf; d) Hak milik atas satuan rumah susun; e) Hak tanggungan; f) Tanah Negara. Tidak dimasukkannya tanah ulayat sebagai objek pendaftaran tanah membuat pemerintah tidak menerbitkan status sebidang tanah dengan Sertipikat Tanah Ulayat.

    *untuk melihat utuh Perda Provinsi Sumatera Barat tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya, dapat diunduh pada : http://www.bphn.go.id/data/documents/perda_pempov_sumbar_no._6_tahun_2008.pdf
    ( team )

    Kamis, 14 Februari 2019

    Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Persatuan Senat Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia 2019


    Gubsu Optimis Dokter Gigi Bisa Bawa Kemakmuran


    MEDAN,( KBNLIPANRI ONLINE ) – Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) Edy Rahmayadi menghadiri pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Persatuan Senat Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia 2019 (PSMKGI) di gelanggang mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU), Medan, Kamis (14/2). Gubsu optimis mahasiswa kedokteran gigi bisa membawa perubahan dan kemakmuran di Indonesia.


     
    “Saya berharap sekali lagi, kalian yang mungkin bisa memakmurkan bangsa ini, saya percaya kalian bisa,” ujar Gubsu Edy Rahmayadi, ketika menyampaikan kata sambutanya.



    Menurut Gubsu, dokter gigi merupakan profesi penting di dunia. Karena itu, Gubsu berpesan kepada para mahasiswa kedokteran gigi, agar konsisten dengan tujuannya menjadi dokter gigi.



    Gubsu juga mengaku sangat senang telah diundang dan bisa hadir ke Raker penting tersebut. “Saya sangat bahagia, terima kasih saya telah diberi kesempatan berbicara di depan perwakilan 28 universitas seluruh Indonesia. Kalau di raker ini besok memutuskan agar dokter gigi ini mogok kerja, bisa sakit gigi orang se-Indonesia, satu lubang kecil di gigi saja persoalannya panjang sekali dalam kehidupan,” kata Gubsu disambut tawa dan tepuk tangan seluruh para mahasiswa.



    Meski begitu, mahasiwa diharapkan memiliki mimpi dan cita-cita besar. Kata Gubsu, sehebat apapun seseorang jika tidak memiliki mimpi besar, hanya akan menjadi omong kosong saja. “Kita perlu kerja keras, bukan hanya datang bawa buku ke kelas, kita perlu motivasi yang kuat,” katanya.



    Sementara itu, Wakil Dekan I Fakultas Kedokteran Gigi USU Sondang Pintauli mengatakan, tahun 2019, Fakultas Kedokteran Gigi USU menjadi tuan rumah Rakernas PSMKGI. Rakernas tersebut mengundang delegasi mahasiswa kedokteran gigi dari 28 universitas di seluruh Indonesia.



    Diharapkannya, Rakernas tersebut dapat menghasilkan sesuatu yang memberi kontribusi bagi Indonesia, khususnya Sumatera Utara. “Bagaimana hasil senat mahasiswa yang diselengarakan di Sumut dapat memberikan kontribusi dan sinergi di Indonesia dalam mewujudkan visi PSMKGI,” ujarnya.



    Sondang juga mengapresiasi kedatangan Gubsu Edy Rahmayadi yang telah 2 kali memberikan orasi ilmiah di Universitas Sumatera Utara. “Terima kasih Pak Gubernur yang sudah 2 kali datang ke acara kami dan sudah memberikan orasi ilmiah yang luar biasa,” katanya.



    Beberapa mahasiwa kedokteran yang menjadi delegasi pada Rakernas tersebut merasa termotivasi dengan pesan-pesan yang diberikan Gubsu. Salah satunya, Hamidah dari Universitas Syah Kuala Aceh, yang merasa sangat termotivasi. “Pak Edy sangat luar biasa, pesan-pesan beliau sangat memotivasi,” katanya singkat.



    Begitu pula dengan mahasiswi Universitas Padjadjaran Bandung Darningtyas menyebut Gubsu Edy Rahmayadi sebagai sosok yang sangat menginspirasi. “Apalagi bagi anak muda, terutama bagian doa dan orang tua, jadi kesuksesan tidak datang dari diri sendiri, tapi dari orang tua dan doa,” ujarnya.



    Turut hadir pada kesempatan tersebut Rektor USU Runtung Sitepu, serta seluruh delegasi Fakultas Kedokteran Gigi dari 28 universitas seluruh Indonesia.( team )


    Selasa, 12 Februari 2019

    Optimaliasai Pendapatan di Daerah oleh KPK


    Optimaliasai Pendapatan di Daerah oleh KPK, Gubsu Edy: Kita Kumpul Ini Bicara Serius


    MEDAN,( KBNLIPANRI ONLINE ) - Dalam rangka optimalisai pendapatan negara, Komisi Pemberantasan  Korupsi (KPK) mendorong pemerintah daerah untuk memaksimalkan potensi penerimaan yang ada. Atas dorongan itu, Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) Edy Rahmayadi menekankan bahwa seluruh komponen harus bicara serius dalam rangka perbaikan.




    “Kita kumpul hari ini ingin bicara serius. Saya bilang, minta ke KPK menyelesaikan masalah ini. Saya yakin KPK ini tidak gila jabatan, karena tujuannya untuk memperbaiki bangsa ini,” ujar Gubsu Edy Rahmayadi  saat membuka Rapat Pembahasan Optimalisasi Pendapatan Daerah bersama Satgas Korsupgah KPK di ruang rapat Kaharuddin Nst, Kantor Gubernur Jalan Pangeran Diponegoro Nomor 30 Medan, Selasa (12/2).



    Hadir diantaranya Sekdaprovsu Dr Hj Sabrina, Ketua Satgas Koordinasi dan Supervisi Pencegahan (Korsupgah) KPK Wilayah 1 Sumbagut Juliawan bersama staf Azril dan Harun, Walikota Medan Dzulmi Eldin, Bupati Deliserdang Ashari Tambunan, Wakil Walikota Pematang Siantar Togar Sitorus, Kepala Inspektorat Sumut OK Hendry, Kepala Dinas Penanaman Modal PTSP Arief S Trinugroho, Kadis Kominfo Sumut HM Fitriyus, Kabiro Humas dan Keprotokolan Setdaprov Sumut Ilyas Sitorus, Sekdako/Sekdakab, Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah (BP2RD), Direksi Bank Sumut dan pejabat lainnya.



    Dalam pidatonya, Gubsu meyakini kerja KPK dalam rangka memberantas korupsi maupun pencegahan cukup maksimal. Karena dalam perjalanannya, tidak mengedepankan jabatan, namun lebih mengutamakan kinerja yang baik. Sehingga dirinya berharap pertemuan tersebut dapat menjadi awal untuk membuktikan bahwa Sumut bisa lebih baik dan bermartabat.



    “Kalau sudah KPK yang turun tangan, kita yakin bisa. Kalau tidak, siapa lagi yang mau kita percaya. Mari kita buktikan kalau kita bisa,” tegas Gubsu Edy,  yang mengimbau untuk bekerjasama dengan Bank Sumut sebagai bank milik daerah.



    Sementara Ketua Satgas Korsupgah KPK Wilayah 1 Sumbagut Juliawan menyebutkan bahwa upaya optimalisasi penerimaan daerah ini dilakukan secara nasional. Program tersebut merupakan hal yang menjadi fokus mereka di 2018 yang sudah berjalan. Tujuannya adalah mendorong supaya potensi daerah yang cukup besar bisa dirasakan.



    “Ada laporan kebocoran, maka kami mendorong agar itu (potensi penerimaan) bisa maksimal. Karena itu di KPK ada unit supervisi pencegahan. Kami mendorong supaya potensi di daerah, dibuat semacam adatabase dan juga perhitungan target pendapatan,” pungkasnya yang menekankan pentingnya pencegahan daripada penindakan. ( team )



    Senin, 11 Februari 2019

    Pengemudi GrabCar Merasa Dizalimi


    Pengemudi GrabCar Merasa Dizalimi, Gubsu Edy Rahmayadi Bantu Berikan Solusi



    MEDAN,( KBNLIPANRI ONLINE ) – Ratusan pengemudi taksi online GrabCar melakukan demonstrasi di depan Kantor Gubernur Sumatera Utara (Sumut) Jalan Pangeran Diponegoro Nomor 30 Medan, Senin (11/2). Mereka mendesak Pemerintah Provinsi Sumut (Pemprovsu) untuk menutup PT Teknologi Pengangkutan Indonesia (TPI) yang dianggap telah menzalimi mereka.



    Gubernur Sumut (Gubsu) Edy Rahmayadi mengajak beberapa perwakilan pengemudi untuk berdialog dan berdiskusi di ruang pressroom lantai I Kantor Gubsu. Memulai dialog, Gubsu menyayangkan tindakan pengemudi GrabCar yang datang melakukan unjuk rasa beramai-ramai mengganggu aktivitas baik lalu lintas dan akses masuk kantor Gubsu.


     
    “Kenapa lah kalian harus demo. Datang lah baik-baik kalau mau ngobrol, bicarakan dengan saya baik-baik. Kantor saya ini selalu terbuka untuk masyarakat Sumut. Selama kalian datang dengan sopan dan maksud baik, saya bantu kalian. Kecuali kalau saya memang tidak pernah mau bertemu, baru kalian demo saya,” ujar Gubsu Edy.



    Tindakan unjuk rasa seperti ini, kata Gubsu Edy, memberi dampak buruk untuk Sumut sendiri. Investor tentu mempertimbangakan kondusifitas sebuah daerah saat hendak melakukan investasi dan kerja sama. “Kalau kalian demo terus, investor takut datang. Sumut pun susah berkembang kalau begini, kalian tidak cinta dengan sumut ini?” katanya.



    Daniel, salah satu pengemudi Grabcar, menyampaikan bahwa mereka tidak berniat melakukan aksi yang mengganggu kondusifitas.  “Tapi karena kami sudah tidak tahan dan merasa terlalu dizalimi pak, kami merasa hanya kepada bapak kami bisa mengadu untuk menyelesaikan permasalahan ini,” jelas Daniel.



    Daniel beserta kordinator aksi Musa Tarigan mengungkapkan, bahwa mereka merasa diperlakukan tidak adil oleh pihak TPI dan PT Grab Indonesia. Sehingga para pengemudi online di luar PT TPI kesulitan mendapatkan order dari konsumen. Hal ini tentunya membuat mereka tidak memperoleh penghasilan yang layak.



    Menjawab persoalan ini, Gubsu mengintruksikan untuk segera diadakan dan difasilitasi pertemuan antara pengemudi Grabcar, Grab, PT TPI, kepolisian, serta Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). “Secepatnya, adakan hari Rabu ini di sini. Hadir kalian semua. Nanti laporkan pada saya hasilnya,” kata Gubsu Edy mengakhiri pertemuan.



    Tampak ekspresi puas dari para pengemudi. “Terima kasih Pak, ini yang kami harapkan. Biar ayah (Edy) tahu, sebelum ayah jadi Gubernur, kami pengemudi online ini sudah duluan pajang foto ayah di kendaraan kami,” ujar salah seorang pengemudi.



    Turut hadir dalam pertemuan tersebut Staf Ahli Gubernur Bidang Ekonomi, Keuangan, Pembangunan, Aset, SDA Setdaprovsu Drs Elisa Marbun, Plt Asisten Perekonomian, Pembangunan, dan Kesejahteraan Setdaprovsu Nouval Makhyar SH, dan mewakili kepolisian Rosmawaty. ( team )


    Minggu, 10 Februari 2019

    Percepatan Kawasan Wisata Danau Toba


    Bahas Percepatan Kawasan Wisata Danau Toba, Nomadic Tourism Direncanakan Rampung April 2019


    JAKARTA,( KBNLIPANRI ONLINE ) – Tindak lanjut upaya percepatan pembangunan kawasan Danau Toba kembali dibahas dalam Rapat Koordinasi Tindak Lanjut Kawasan Pariwisata Danau Toba. Rapat dipimpin Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan dan Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) Edy Rahmayadi, di ruang rapat Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Rabu (6/2).



    Dalam rapat koordinasi tersebut, ada beberapa rencana dan rekomendasi yang dibahas untuk menunjang percepatan pembangunan kawasan wisata danau toba. Salah satunya yang dirancang oleh Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT), yakni merampungkan pilot project bertema ‘nomadic tourism’ pada bulan April 2019 mendatang.



    Nomadic Tourism merupakan konsep wisata temporer, baik dari segi akses atau amenitas (fasilitas pendukung). Konsep ini diharapkan mampu menjangkau destinasi-destinasi wisata alam di Indonesia yang beberapa bagian merupakan kepulauan dengan akses yang susah dijangkau.



    Gubsu Edy Rahmayadi mengapresiasi rencana pembangunan pilot project di zona otorita yang dipresentasikan oleh Direktur Utama BPODT Arie Prasetyo. Untuk memastikan keberhasilan pilot project tersebut, Gubsu Edy merencanakan pertemuan lanjutan yang lebih intens untuk mengkaji berbagai kemungkinan dan ide-ide tambahan yang memperkaya konsep nomadic tourism tersebut.



    “Saya ingin mengingatkan agar konsep ini juga mempertimbangan prinsip berkelanjutan. Artinya, kita jangan asal dan yang penting ada yang dibangun, tetapi juga kita pikirkan agar keberadaan konsep ini memberi nilai tambah dan memperkaya variasi wisata di Danau Toba,” ujar Gubsu Edy.



    Selain itu, hal penting lainnya yang menurut Gubsu Edy juga perlu untuk segera disiapkan adalah pemberdayaan Sumber Daya Manusia (SDM) lokal. “Jangan sampai jadi penonton saja mereka itu, tetapi juga ikut menikmati hasil dari keindahan alam Danau Toba. Kedepannya, kita harapkan pekerjanya adalah SDM lokal, jangan dari luar,” katanya.                



    Sehingga, untuk menunjang SDM yang mumpuni di sektor wisata, Gubsu Edy merencanakan akan melakukan pembahasan lanjutan terkait penambahan sekolah pariwisata melalui SMK. “Porsinya juga kita harapkan kedepannya, SMK 70 persen dan SMA 30 persen,” tuturnya.



    Menko Maritim Luhut Binsar sepakat dengan usulan Gubsu Edy. Dirinya menyampaikan bahwa hal tersebut juga telah menjadi perhatian Presiden Jokowi yakni memperbanyak sekolah kejuruan wisata. Selain itu, Luhut juga sepakat agar BPODT mempertimbangkan hal-hal lain yang memberi nilai tambah dan memperkaya variasi wisata di Danau Toba.



    “Jeli melihat potensi-potensi seperti apa yang bisa lagi dikembangkan. Seperti penyelenggaraan event-event besar berskala internasional. Tapi acaranya harus dikemas dengan keren ya jangan kampungan. Event olahraga juga bagus di Danau Toba, sport tourism seperti Triatlon kompetisi rangkaian cabang olahraga renang, balap sepeda, lari,” jelasnya.



    Luhut juga menyinggung masalah kebersihan dan kerusakan lingkungan yang diamatinya saat terakhir kali berkunjung ke Danau Toba dalam rangka Rakor Pembahasan Isu Lingkungan di Kawasan Danau Toba, bulan lalu. “Kotoran ternak dan kerambah-kerambah yang merusak kelestarian Danau Toba, saya kira harus ada tindak-tindak administratif pada mereka,” saran Luhut.



    Sebelumnya, Direktur Utama BPODT Arie Prasetyo memaparkan hal-hal berkembang dalam upaya percepatan pembangunan kawasan Danau Toba termasuk rencana pembangunan pilot project nomadic tourism. “Nomadic tourism ini semacam fasilitas akomodasi yang menargetkan generasi milenial. Kita berharap ini bisa menjadi branding dan image yang bagus untuk kawasan Sibisa dan Danau Toba secara keseluruhan. Dikemas ala anak muda, ada caravan area nantinya yakni akomodasi nomadic atau berpindah-pindah, ada tent area, amphiteather seperti panggung tari kecak di Bali, dan lainnya,” jelas Arie.



    Pengembangan lahan perintisan atau pilot project nomadic tourism yang akan rampung pada bulan April 2019 mendatang ini diperkirakan akan membutuhkan pendanaan sebesar Rp 1.823.263.200.000, dan akan dilakukan secara bertahap dengan tahap pertama sebesar 30 persen atau sebesar Rp 546.978.960.000 dan tahap kedua Rp 1.276.284.240.000. Item yang akan dibangun, kata Arie, termasuk infrastruktur, fitur lansekap, kantor dan bangunan penunjang, dan fasilitas umum.



    “Hal mendesak lainnya yang juga dibahas adalah pembentukan Badan Layanan Umum (BLU) untuk BPODT, saat ini masih ada kelengkapan administrasi yang harus dilengkapi, kemudian akan direview oleh tim penilai PK BLU Kemenkeu dan selanjutnya diusulkan pada Menteri Keuangan,” ujar Arie.



    Turut hadir dalam Rapat Koordinasi tersebut mewakili Menteri Pariwisata, mewakili Dirjen Perbendaharaan Kemenkeu, mewakili Kementerian LHK, mewakili Bank Indonesia, Ketua Tim Percepatan Pembangunan 10 Destinasi Pariwisata Prioritas, Hiramsyah S. Thaib, Bupati Toba Samosir Darwin Siagian, Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan IV Wilayah Balige Leonardo Sitorus.( team )



    Arsip Blog

    Translate

    .btn-space{text-align: center;} .ripple {text-align: center;display: inline-block;padding: 8px 30px;border-radius: 2px;letter-spacing: .5px;border-radius: 2px;text-decoration: none;color: #fff;overflow: hidden;position: relative;z-index: 0;box-shadow: 0 2px 5px 0 rgba(0, 0, 0, 0.16), 0 2px 10px 0 rgba(0, 0, 0, 0.12);-webkit-transition: all 0.2s ease;-moz-transition: all 0.2s ease;-o-transition: all 0.2s ease;transition: all 0.2s ease;} .ripple:hover {box-shadow: 0 5px 11px 0 rgba(0, 0, 0, 0.18), 0 4px 15px 0 rgba(0, 0, 0, 0.15);} .ink {display: block;position: absolute;background: rgba(255, 255, 255, 0.4);border-radius: 100%;-webkit-transform: scale(0);-moz-transform: scale(0);-o-transform: scale(0);transform: scale(0);} .animate {-webkit-animation: ripple 0.55s linear;-moz-animation: ripple 0.55s linear;-ms-animation: ripple 0.55s linear;-o-animation: ripple 0.55s linear;animation: ripple 0.55s linear;} @-webkit-keyframes ripple {100% {opacity: 0;-webkit-transform: scale(2.5);}} @-moz-keyframes ripple {100% {opacity: 0;-moz-transform: scale(2.5);}} @-o-keyframes ripple {100% {opacity: 0;-o-transform: scale(2.5);}} @keyframes ripple {100% {opacity: 0;transform: scale(2.5);}} .red {background-color: #F44336;} .pink {background-color: #E91E63;} .blue {background-color: #2196F3;} .cyan {background-color: #00bcd4;} .teal {background-color: #009688;} .yellow {background-color: #FFEB3B;color: #000;} .orange {background-color: #FF9800;} .brown {background-color: #795548;} .grey {background-color: #9E9E9E;} .black {background-color: #000000;}