Belajar Html Lengkap
Ket : ganti kode warna merah dengan id top menu milik anda.
Sekedar gambaran, pada umumnya sebuah menu blog memiliki skema kode HTML sebagai berikut :
Berbadan Hukum Berdasarkan :
SK.Mensos No.40/HUK/Kep/X/80
SK.Menhuk&ham No.C-248.HT-03-01-Thn.2001
Terdaftar Kesbang No.237.F/BKB>PM/V/2004
SIUP Perindag No.0208/02.13/PK/I/2009
Kantor Pusat Sumatra Utara Jl.Seialas No.49 Medan Telp.(0622)433576 Hp.081260450206
Wagub Buka Perayaan Hari Jadi ke-1 Kabupaten Samosir,
Kekompakan Bupati dan Wakilnya Kunci Keberhasilan Daerah
SAMOSIR, ( KBNLIPANRI ONLINE ) - Wakil Gubernur Sumatera
Utara (Wagub Sumut) Musa Rajekshah membuka secara resmi puncak perayaan Hari
Jadi ke-15 Kabupaten Samosir di Pangururan, Rabu (27/2). Perayaan ditandai
penekanan tombol sirene dan pelepasan balon gas, setelah dilakukan pemotongan
kue ulang tahun.
FOTO
Disambut
tarian, Menekan tombol sirene, Pemotongan kue,Peluncuran bus pariwisata dan
horas samosir fiesta,Pidato pembukaan.
Dalam sambutannya, Wagub menyebutkan bahwa kekompakan antara
Bupati-Wakil Bupati Samosir merupakan satu kunci keberhasilan bagi daerah.
Sebab menurutnya, kabupaten yang diambil dari nama pulau tersebut dimekarkan
dengan harapan dan mimpi, agar generasi penerus nantinya bisa hidup lebih baik
dari pendahulunya.
"Tadi saya lihat Bupati dan Wakil Bupati waktu
menghidupkan lilin, keduanya saling bantu agar tidak tertiup angin. Ini
menandakan keduanya kompak. Karena tanpa itu, kita tidak bisa membangun Samosir
jadi lebih baik," ujar Wagub.
Selanjutnya, Wagub yang akrab disapa Bang Ijeck ini juga
mengingatkan agar kondisi daerah ini bisa jauh lebih maju di masa mendatang.
Ukurannya adalah kebersihan dan kenyamanan. Sebab kawasan pariwisata memang
harus mengedepankan keduanya. Apalagi Samosir dikelilingi Danau Toba, sebagai
Karunia Tuhan dengan istilah 'Negeri Indah Kepingan Surga'.
"Samosir sudah semakin baik. Karena saya nilai pertama
kamar mandinya, ruangannya dan halamannya. Waktu yang lalu masih belum bagus,
tetapi sekarang sudah ada kemajuan. Karena memang masalah kita adalah
kebersihan," sebut Wagub, sekaligus mengajak Pemkab se-kawasan Danau Toba
untuk bersama merancang bagaimana membangun tempat pengolahan sampah
terorganisasi.
"Mari kita doakan supaya Danau Toba diterima jadi
anggota UNESCO. Kami juga Pemerintah Provinsi, apa yang bisa kami lakuan, pasti
kami bantu. Kami akan terus datang ke sini, bukan hanya karena hari jadi saja,
tetapi lain waktu. Karena tanpa dukungan masyarakat, kami tak mungkin bisa
menjalankan amanah sebagian Gubernur dan Wakil Gubernur," pungkasnya.
Pada kesempata itu, Wagub bersama tamu undangan lainnya
dihadiahi ulos tanda penghormatan tokoh adat setempat.
Sementara Bupati dan Wakil Bupati Samosir, Rapidin Simbolon
dan Juang Sinaga menyampaikan sambutan dan ucapan selamat datang kepada Wakil
Gubernur yang dianggap menjadi pemimpin peduli dan perhatian kepada
kabupaten/kota, khususnya Samosir. Apalagi saat ini daerah mereka menjadi
sorotan dunia, baik dari segi keindahan pariwisata hingga dorongan untuk
menggalakkan kebersihan.
"Kedatangan Wagub ini adalah bukti hatinya ada di
Samosir, untuk kita. Karena itu kami mengharapkan seluruh stakeholder mendukung
pembangunan Samosir, menuju kabupaten yang makmur dan sejahtera,"
jelasnya.
Hal senada juga disampaikan Deputi Bidang Pengelolaan Batas
Wilayah Negara Kemendagri, Robet Simbolon dan Anggota DPR RI Trimedya
Panjaitan. Keduanya mengingatkan agar Pemkab Samosir serius memperhatikan
kondisi kebersihan objek wisata hingga permukiman warga, yang juga menjadi
penilaian pengunjung.
Hadir juga Bupati Tobasa Darwin Siagian, Anggota DPR RI
Jhony Allen Marbun, Anggota DPD RI Parlindungan Purba, Kabiro Umum Pemprov
Sumut Faisal, Kadis Budpar Sumut Hidayati, Dirut Bank Sumut Muhammad Budi
Utomo, mantan Bupati Samosir Wilmar Simanjorang dan Mangindar Simbolon. ( lm )
MEDAN, ( KBNLIPANRI ONLINE) – Tim Sapu Bersih Pungutan Liar
(Saber Pungli) Provinsi Sumatera Utara (Sumut) dan seluruh kabupaten/kota harus
bersinergi dalam upaya pemberantasan pungli. Sehingga Sumut bebas Pungli segera
terwujud.
FOTO
Sekretaris
Daerah Provinsi Sumatera Utara Hj.R.Sabrina mewakili Gubernur Sumatera Utara
membuka Rapat Koordinasi UPP Saber Pungli Provinsi dengan UPP Saber Pungli
Kabupaten/Kota Se-Sumatera Utara di Santika Premiere Dyandra Hotel &
Convention Jl.Kapt. Maulana Lubis No.7 Medan, Senin malam (25/2). Acara ini
bertajuk Optimalisasi Koordinasi Sinergitas Sistem Kerja UPP Saber Pungli
Provinsi dan Kabupaten/Kota Dalam Lingkup Lintas Instansi Untuk Sumut Bebas
Pungli.
“Keberhasilan Satgas anti pungli bukan keberhasilan
perorangan atau satu kelompok kerja saja, melainkan keberhasilan bersama,” ujar
Sekretaris Daerah Provinsi Sumut Sabrina yang mewakili Gubernur Sumut Edy
Rahmayadi pada pembukaan Rapat Koordinasi (Rakor) Unit Pemberantasan Pungli
(UPP) Saber Pungli provinsi dengan kabupaten/kota se Sumut, di Hotel Santika
Dyandra, Jalan Kapten Maulana Lubis, Medan, Senin malam (25/2).
Dikatakannya, praktik pungli harus dihapuskan. Karena pungli
dapat membenani masyarakat, serta menurunkan kepercayaan publik pada pemerintah
yang sedang berjalan saat ini. “Kondisi tersebut tentu dapat merusak sendi
kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara, serta perlu penanganan serius,”
katanya.
Selain itu, diharapkan, rakor tersebut dapat mendorong dan
memberi semangat kepada tim anti pungli agar dapat bekerja sungguh-sungguh.
“Hal tersebut bertujuan untuk masa depan bangsa yang bebas dari pungutan liar,”
katanya.
Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres)
Nomor 87 tahun 2016 mengenai Satgas Saber Pungli, baik di tingkat pusat maupun
daerah. “Perpres tersebut diharapkan dapat memberantas pungli secara tepat,
efektif, efisien serta mampu menimbulkan efek jera,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Satgas UPP Saber Pungli Provinsi Sumut
Eko Kristianto mengatakan rakor tersebut untuk mengkoordinasikan masing-masing
UPP provinsi dan kabupaten/kota dalam menjalankan tugasnya. Serta diharapkan
dapat membangun sinergitas sistem kerja saber pungli antar UPP.
Kegiatan tersebut diadakan selama 2 hari, mulai tanggal 25 -
26 Februari 2019. Selain rapat koordinasi, kegiatan tersebut juga diisi
kegiatan focus group discussion bertema ‘Optimalisasi Koordinasi Sinergitas
Sistem Kerja UPP Saber Pungli Provinsi dan Kabupaten/Kota Dalam Lingkup Lintas
Instansi untuk Sumatera Utara Bebas Pungli’.
Turut hadir pada kesempatan tersebut, Sekretaris Satgas
Saber Pungli Pusat Irjen Pol Widiyanto Poesoko, Kepala Inspektorat Provinsi
Sumut OK Henry, Wakapolres dari seluruh Sumut, UPP kabupaten/kota se Sumut,
Kepala Seksi (Kasi) Intel Kejaksaan Negeri, inspektur seluruh kabupaten/kota se
Sumut, organisasi masyarakat dan organisasi kepemudaan.( lm )
Akhyar Harap Pangkosek Hanudnas III Cup Lahirlah
Pebulutangkis Handal
Medan (KBNLIPANRI
ONLINE )
Kota Medan memang sedang giat diarahkan menjadi kota atlet.
Karenanya Pemko Medan semakin gencar pula membina serta mendukung penuh setiap
kegiatan yang berhubungan dengan pembinaan terutama penjaringan atlet-atlet
muda.
Hal ini diungkapkan Wakil Wali Kota Medan Ir. H. Akhyar
Nasution, M.Si usai mengikuti acara Pembukaan Kejuaraan Bulutangkis Beregu yang
Pangkosek Hanudnas III Cup Tahun 2019 di GOR PBSI Jalan Pancing, Medan. Kamis
(21/2).
Lebih lanjut Wakil Wali Kota Mengatakan, penjaringan melalui
berbagai even kejuaraan dan turnamen sampai saat ini masih dianggap salah satu
cara untuk melihat bakat-bakat muda yang nantinya akan dibina terus menjadi
pebulutangkis yang dapat diandalkan.
”Kejuaraan seperti ini harus terus digalakkan guna
memberikan wahana bagi atlet-atlet pebulutangkis berbakat yang hendak
melihatkan performanya,” ujar Wakil Wali Kota didampingi Kadispora Kota Medan
Marah Husin.
Wakil Wali Kota juga mengungkapkan rasa optimisnya kepada
atlet pebulutangkis muda yang hari ini turut bertanding pada kejuaraan yang
digelar hingga Minggu (24/2) nanti. Ia mengharapkan akan ada pebulutangkis
andal yang lahir dari Kota Medan.
”Saya yakin dengan bakat-bakat muda Kota Medan. Generasi
muda harus semangat dan jangan pantang menyerah serta terus berlatih agar
menjadi pebulutangkis tingkat nasional bahkan dunia,” harap Akhyar.
Selanjutnya, Akhyarmenjelaskan bahwa Pemko Medan juga akan menggelar Pekan Olahraga Wilayah
(Porwil) ke V pada akhir Maret mendatang. Untuk itu, Wakil Wali Kota juga
mengimbau kepada seluruh atlet muda berbakat yang ada di setiap kecamatan
bahkan di kelurahan seluruh Kota Medan untuk mempersiapkan diri mengikuti ajang
ini. Karena, sambung Akhyar, atlet yang akan mewakili tiap kecamatan harus
merupakan atlet asli kecamatan tersebut.
“Pemko Medan, bulan Maret mendatang, juga akan menggelar
Porwil ke V. Ajang ini harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya bagi para atlet
muda yang ada di setiap kecamatan di Kota Medan. Karena setiap kecamatan yang
mengikuti ajang ini harus mengutus atlet asal kecamatan tersebut,” kata Akhyar.
Pembukaan Kejuaraan Bulutangkis Beregu Pangkosek Hanudnas
III Cup ini ditandai dengan servis pertama yang dilakukan langsung oleh
Pangkosek Hanudnas III Marsma TNI Djohan Amarullah, S.AB. (lm)
Inventasi Perkebunan Sawit Merampas Hak Ulayat dan Monopoli
Tanah
SULAWESI,( KBNLIPANRI ONLINE )-Bahwa luas perkebunan,
tambang, transmigrasi, infrastruktur serta pemukiman dan wilayah kelola
masyarakat, melebihi dari wilayah administrasi Konawe selatan atau telah
terjadi tumpang tindih perizinan antara perkebunan dengan perkebunan, antara
perkebunan dengan pertambangan, antara perkebunan dengan pemukiman masyarakat,
antara perkebunan dengan transmigrasi, antara antara pertambangan dan
perkebunan dengan kepemilikan tanah atas hak-hak adat/ulayat masyarakat
setempat.
Bahwa Sejumlah perusahaan sudah melakukan aktifitas serta
perluasan perkebunan sawit di Konawe Selatan,yang disertai berbagai masalah masalah seperti ketidak sesuaian antara
izin lokasi dengan pembebasan lahan, aktivitas land clearing (pembersihan
lahan),perampasan lahan petani,
konversi kawasan hutan produksi-lindung dan kawasan taman nasional, penggusuran
lahan secara sepihak, serta berbagai masalah lainnya.
Bahwa fakta menunjukkan sejak tahun 1996 PT. Sumber Madu
Bukari telah melakukan berbagai macam aktivitas hingga kini masih saja
melakukan pembebasan lahan termasuk pemukiman dan wilayah hutan sagu sebagai
basis Pangan unggulan dan wilayah komunal suku tolaki secara turun temurun,
hingga kini perusahaan tersebut belum memiliki sertifikat Hak Guna Usaha.
Bahwa fakta lain menunjukkan sejak tahun 2007 – 2015
sejumlah perusahaan yang didominasi perkebunan sawit dan tebu telah massif
melakukan aktivitas seperti PT Bintang Nusa Pertiwi, dan PT. Merbau Indah Raya,
diluar izin lokasi dan melakukan penguasaan tanah diatas pemukiman dan pada
wilayah kelolah masyarakat dan basis produksi pertanian/ pangan, misalnya
membeli lahan sampai di rawa aopa, yang memiliki komoditas tinggi seperti sagu
dan ikan air tawar yang merupakan bahan makanan pokok dan mata pencaharian
utama masyarakat setempat.
Bahwa Investasi pada sektor perkebunan di Konawe Selatan
dilakukan secara sistematis, diawali dengan pemberian izin lokasi oleh Bupati
Konawe selatan sejak tahun 2003 sampai saat ini, tercatat 12 izin perkebunan
sawit dan tebu, di tambah lagi 2 perkebunan dengan komoditas mete dan kapas,
sehingga seluruh perkebunan berjumlah 14. perampasan tanah-tanah ulayat milik
masyarakat melalui proses transaksi dengan menggunakan perangkat pemerintah
desa, camat dan segelintir orang yang menamakan diri sebagai tokoh masyarakat,
dengan cara melakukan klaim sepihak terhadap tanah ulayat dengan tujuan untuk
mengkapitalisasi secara invidu. Padahal tanah-tanah tersebut adalah merupakan
tanah-tanah bertuan yang menjadi ulayat masyarakat setempat, yang secara turun
temurun dijadikan sebagai basis kelola dan runag hidup rakyat.
Adapun model transaksi lahan/tanah yang dijumpai di Konawe
Selatan yakni penguasaan tanah oleh para investor melalui hukum Negara. Para
pelaku dalam model transaksi tersebut adalah perusahaan-perusahaan besar atau
pemerintah yang memanfaatkan sumber daya tanah untuk alasan peningkatan,
pertumbuhan ekonomi, dan akses lapangan kerja untuk kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat.
Padahal sebenarnya mereka hanya menjadikan tanah-tanah
tersebut untuk kegiatan bisnis. Bahkan kayu di atas permukaan tanah tersebut dikuasai
oleh para pemilik modal dan kemudian di jadikan agunan di bank. Intinya tanah
dijadikan modal dan masyarakat dijadikan tenaga buruh dengan upah murah.
Penguasaan lahan secara murah adalah merupakan tindakan
perampasan dan monopolisasi tanah oleh investor, sehingga menimbulkan kerugian
bagi masyarakat, dalam jangka panjang, sehingga tidak heran konflik agraria
semakin bertambah dan tidak ada habisnya. Pertanyaannya dengan transaksi tanah
skala besar yang terjadi, apakah akan menghasilkan jenis investasi/komoditas
bermanfaat bagi masyarakat setempat. Atau sebaliknya. Inilah pengabaian,
peminggiran, pemdohohan dan pemiskinan secara sistematis yang dilakukan secara
sistemik dan massif.
Kecenderungan investor perkebunan sawit & tebu
berinvestasi di Sulawesi Tenggara, karena: 1) ketersediaan lahan/tanah di
daerah lain sudah semakin terbatas, 2) investor dengan usaha/jenis komoditas
seperti sawit dan tebu, telah mengalami penolakan dari berbagai lapisan
masyarakat di daerah lain, karena telah dianggap gagal dan terbukti merugikan
masyarakat setempat.
3), Harga tanah di Sulawesi tenggara masih sangat murah,
sehingga bagi perusahaan menjadikan peluang, tanah sebagai investasi jangka
panjang. Kondisi ini merupakan tindakan manipulatif, diskriminatif, dan
spekulatif terhadap masyarakat setempat. Pemerintah atas nama Negara, dan para
pemilik modal tidak lagi melindungi dan mempertimbangan kondisi sosio-cultural
masyarakat setempat dan nasib antar generasi dan keselamatan serta keadilan
ekologis.
Oleh karena itu, segala “hukum yang merampas” hak-hak ulayat
milik masyarakat di Konawe Selatan dengan alasan dan atas nama apapun harus
ditolak dan dilawan.
sementara negara menjamin “eksistensi dan pengakuan adanya
masyarakat hukum adat dan hak-haknya. Hak-hak ulayat tidak seharusnya tidak
diakui oleh negara. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal
18 B ayat (2), yang menyebutkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang” dan dalam
pasal 28 I ayat (3) yang menyebutkan “Identitas budaya dan hak masyarakat
tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
Tuntutan:
Mendesak Bupati Konawe Selatan dan Gubernur Sulawesi
Tenggara sesuai kewenangannya untuk menghentikan seluruh aktivitas dan tidak
memperpanjang izin lokasi atau tidak menerbitkan izin usaha perkebunan PT.
Bintang Nusa Pertiwi, PT. Marketinda Selaras, PT. Merbau Indah Raya, yang
diduga kuat telah melakukan peminggiran, perampasan dan monopolisasi penguasaan
tanah dengan cara manipulatif dan spekulatif
Mendesak KPK RI, KAPOLRI, KAPOLDA Sultra dan KAPOLRES Konawe
Selatan untuk segera mengusut terbitnya SK Pemberian izin lokasi perkebunan,
perambahan kawasan hutan lindung/produksi dan kawasan taman nasional rawa aopa,
yang diduga kuat berlangsung manipulatif, tumpang tindih serta berbau
gratifikasi, hal ini diikuti dengan keterlibatan para pihak secara terorganisir
yang disebut dengan MAFIA TANAH antara lain; oknum-oknum pemerintah setempat,
perusahaan dan segelintir orang yang mengatasnamakan masyarakat atas nama tanah
ulayat.
Mendesak Kementerian Pertanahan dan Tata Ruang untuk tidak
menerbitkan sertifikat HGU perusahaan-perusahaan bermasalah.
Jika pemerintah dan penegak hukum tidak melakukan tindakan
apapun, maka ini adalah pembiaran yang nyata, membiarkan perampasan dan
monopolisasi tanah adalah memelihara benih konfik sosial dan konflik agraria.
Hal ini dapat diartikan pula sebagai afiliasi perselingkungan sistemik dan
massif, antara penguasa dan pengusaha. Dan biarkan rakyat membuat hukumnya.
Forum Masyarakat Tue-Tue Ngapa Walanda (FM-TNW) Kec. Angata
– Konawe Selatan, Komunitas Masyarakat Lamooso (KML) Kec. Angata Kab. Konawe
Selatan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) SULTRA, Konsorsium Pembaruan
Agraria (KPA) Wilayah SULTRA, Aliansi Perempuan ( ALPEN ) SULTRA, Pusat Kajian &
Advokasi Hak Asasi Manusia (PUSPAHAM) SULTRA. ( team )
(Kajian
atas Mekanisme Pendaftaran Tanah Ulayat Dalam Peraturan Daerah Provinsi
Sumatera Barat Tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya) [1]
Medan,( KBNLIPANRI ONLINE )
1. Kontoversi Pendaftaran
Tanah Ulayat
Soal pendaftaran tanah ulayat yang menghasilkan sertipikat
tanah ulayat telah menjadi kontroversi sejak lama di Sumatera Barat. Pihak yang
menolak mencurigai bahwa pendaftaran tanah ulayat menyebabkan hilangnya sifat
komunalitas atas tanah ulayat. Bahkan akan menghilangkan keberadaan tanah
ulayat karena beralih menjadi tanah dengan hak-hak individu.
Pendaftaran tanah yang dibuktikan dengan sertipikat,
misalkan pada tanah ganggam bauntuakdipandang sebagai proses individualisasi
tanah ulayat yang semula merupakan milik komunal. Padangan ini didukung dengan
argumentasi Van Vallenhoven[2]yang menyatakan bahwa hak ulayat
(beschikingsrecht) sebagai hak yang mandiri.[3] Sebagai hak yang mandiri, tanah
ulayat yang pengelolaannya didasarkan pada hukum adat sudah cukup menjadi
pegangan dalam mengatur pemanfaatan tanah ulayat bagi anggota masyarakat adat
dan bagi pihak lain.
Pengelolaan tanah ulayat sebagai hak yang mandiri di
Minangkabau diperkuat dengan kemandirian komunitas yang tergambar dalam
ungkapan "adat salingka nagari". Ungkapan ini mempertegas konsepsi
otonomi masyarakat adat, dimana pengaturan ulayat yang berdasarkan hukum adat
merupakan sistem hak yang berlaku pada ruang lingkup wilayah nagari.
Pepatah ini juga menegaskan bahwa tanah ulayat bukanlah
ruang yang kosong dari aturan. Seluruh aspek yang terkait dengannya, telah
diatur oleh norma adat secara pasti, sehingga tidak diperlukan lagi sertipikat
sebagai bukti kemandirian hak atas tanah ulayat.
Sedangkandisisi
lain, pihak yang mendorong pendaftaran tanah ulayat mengharapkan agar tanah
ulayat memiliki pengakuan hukum dari negara sehingga memiliki kepastian hukum.
Pilihan pengakuan dalam bentuk sertipikat menjadikan tanah ulayat lebih leluasa
dimanfaatkan bagi kepentingan ekonomi karena memiliki landasan hukum
keperdataan yang lebih kuat.
Bahkan Pasal 32 ayat (1) PP No. 24/1997 menyatakan bahwa
sertipikat "berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat." Sertipikat
selain menunjukkan kepastian pemegang hak atas tanah juga memberikan kemudahan
mengukur secara kuantitatif nominal harga tanah karena menyediakan data-data
fisik tentang tanah. Sebagai alat ekonomi, sertipikat juga dapat dianggunkan ke
bank untuk mendapatkan sejumlah pinjaman.
Bahkan hasil penelitian Tim Perumusan Ranperda Tanah Ulayat
pada tahun 2001 menemukan bahwa dari 400 orang yang diwawancarai, 295 orang
atau 73,75 persen sepakat agar tanah ulayat dapat disertipikatkan. 80 orang
atau 20,00 persen yang tidak sepakat dan 25 orang atau 6,25 persen yang tidak
menjawab.
Fenomena ini harus dibaca sebagai keterbukaan masyarakat
Minangkabau atas nilai-nilai yang berkembang diluar masyarakat Minangkabau,
seperti sertipikat, dengan tetap memegang tradisi yang diwariskan oleh nenek
moyang.
Dalam praktik, selain sertipikasi, ada bentuk lain pengakuan
hukum atas hak-hak masyarakat adat. Di Kabupaten Lebak, Banten misalnya,
pengakuan dilakukan dengan Penetapan Hukum melalui Perda No. 32/2001 tentang
Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy.
Di Kabupaten Merangin, Jambi,dilakukan dengan SK Bupati Merangin No. 287
Tahun 2003 Tentang Pengukuhan Kawasan Bukit Tapanggang sebagai Hutan Adat
Masyarakat Hukum Adat Desa Guguk Kecamatan Sungai Manau, Kabupaten Merangin,
Provinsi Jambi.
Pilihan bentuk pengakuan dalam bentuk sertipikat membenarkan
bahwa Perda TUP lahir guna dimanfaatkan bagi kepentingan ekonomi yang terbuka
dengan pihak investasi yang membutuhkan kepastian hak dalam berinvestasi.
2. Wacana Kritis
Pendaftaran Tanah Ulayat
Kritik terhadap sertifikasi juga muncul karena anggapan
bahwa sertifikasi yang didorong oleh lembaga-lembaga keuangan internasional
ditujukan bagi terciptanya pasar tanah dimana tanah-tanah, termasuk tanah
ulayat, dapat mudah dipertukarkan dengan mekanisme pasar dan memberikan
kepastian hukum dari pencapaian penjualan tersebut. Kondisi dapat berakibat
semakin lemah dan hilangnya tanah ulayat di Sumatera Barat. Tekanan dari
lembaga internasional itu dipaparkan oleh Bonnie Setiawan sebagai berikut:[4]
Lewat Land Administration Project (LAP), Pemerintah (dan
BPN) bersama dengan Bank Dunia dan AusAid sedang menjalankan suatu mega-proyek
mengenai deregulasi pertanahan dengan istilah "Land Resource and
Management Planning" yang akan berlangsung selama 25 tahun (1995-2020). Proyek
tersebut dilakukan dengan merancang suatu desain perubahan manajemen dan
administrasi pertanahan yang tujuan akhirnya adalah terciptanya pasar tanah
(land market). Pelaksanaannya dilakukan secara bertahap setiap lima tahun.
LAP I (1995-2000) menelan biaya sebesar US$ 140,1 juta,
didanai dari anggaran nasional sebesar US$44,9 juta (32%), pinjaman dari Bank
Dunia US$ 80 juta (57%) dan sisanya US$ 15,2 juta (11%) adalah grant dari
AusAid. Meskipun program ini telah ditentang oleh aktivis, akan tetapi mereka
tetap jalan terus. Terakhir LAP II akan kembali dilaksanakan, dan akan mulai
memasukkan obyek tanah masyarakat adat, karena sudah adanya pilot proyek
sebelumnya yang dijalankan di Sumatera Barat. Rencananya LAP II akan bernilai
sebesar US$ 110 juta, yaitu US$ 20 juta dari pemerintah Indonesia dan US$ 90
juta dari pinjaman Bank Dunia.
Dengan perspektif pluralisme hukum, Ade Saptomo menyampaikan
bahwa di balik sertifikat juga lahir asumsi inkoorporasi antara hukum adat
dengan hukum nasional, yaitu hukum adat menerima sebagian unsur hukum negara
dan hukum negara menerima sebagian hukum lokal (adat).[5] Artinya, sebagian
warga masyarakat di suatu tempat bersedia menerima unsur hukum negara dan hukum
negara pun "tidak keberatan" untuk mengakomodasi keinginan warga.
Hal ini dapat ditafsir pada sebuah fenomena sertifikasi hak
atas tanah ulayat dimana di halaman depan sertifikat tertulis satu nama
penghulu suku atau mamak kaum atas sebidang tanah, sementara di balik
sertifikat dimaksud tertuang sejumlah nama-nama kemenakan penghulu suku sebagai
pemilik bersama.[6]
Pandangan diatas hampir sama dengan pandangan John Griffiths
yang menyatakan bahwa keterbukaan hukum negara -- yang pada dasarnya bersifat
generalis dan tidak mengenal pembedaan -- terhadap sistem hukum adat yang
lokalitas dan beragam merupakan salah satu cara penguatan dari sentralisme
hukum negara.
Griffiths menyatakan sentralisme hukum menggunakan
pluralisme hukum sabagai salah satu upaya untuk mengakomodir situasi sosial
yang dirasakan problematik dengan memberlakukan ketentuan-ketentuan hukum
masyarakat lokal sebagai bagian ketentuan hukum yang tunduk pada hukum
negara.[7] Dalam hal ini pluralisme hukum yang dibadankan dalam bentuk
sertifikat.
Sertifikat kemudian dijadikan sebagai alat oleh sentralisme
hukum negara untuk menundukkan keberagaman dan struktur hukum masyarakat atas
sebidang tanah. Hal ini dapat membuat pengetahuan hukum adat tentang tanah
ulayat akan berkurang karena sudah diganti dengan mekanisme hukum negara.
Setelah masuk dalam mekanisme hukum negara, maka kemudian
persoalan tanah ulayat akan didominasi oleh pemerintah dan ahli hukum yang
tidak selalu memiliki perspektif penguatan hak-hak masyarakat atas tanah
ulayat.
3. Persoalan Teknis Hukum
Bab V, Pasal 8 Perda TUP mengatur tentang pendaftaran dan
subjek hukum tanah ulayat. Tanah ulayat didaftarkan kepada Kantor Pertanahan
(BPN) kabupaten/kota yang tujuannya adalah untuk menjamin kepastian hukum dan
keperluan penyediaan data/informasi pertanahan.
Tanah ulayat nagari didaftarkan menjadi hak guna usaha, hak
pakai dan hak pengelolaan. Tanah ulayat suku dan tanah ulayat kaum didaftarkan
menjadi hak milik. Sedangkan tanah ulayat rajo didaftarkan menjadi Hak Pakai
dan Hak Kelola.
Karena tanah ulayat bukan merupakan objek pendaftaran tanah
(menurut PP No. 24/1997), maka tanah ulayat didaftarkan sebagai hak-hak atas
tanah yang diatur di dalam UUPA, yang menjadi objek pendaftaran tanah.[8]
Hal tersebut diperkuat kembali oleh Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala BPN No. 5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat. Pasal 4 ayat (1) Permen No. 5/1999 menyebutkan bahwa
tanah ulayat, apabila dikehendaki oleh pemegang haknya dapat didaftar sebagai
hak atas tanah yang sesuai menurut ketentuan UUPA.
Hal tersebut menjadi dasar ketentuan Perda TUP yang mengatur
pendaftaran tanah ulayat untuk didaftarkan dengan status hak atas tanah menurut
UUPA. Perda TUP memperkenalkan 5 jenis pendaftaran tanah ulayat ke dalam status
tanah menurut UUPA, yaitu:
Tanah Ulayat Nagari
Tanah ulayat nagari dapat didaftarkan dengan status Hak Guna
Usaha, Hak Pengelolaan atau Hak Pakai yang pemegang haknya adalah atas nama
ninik mamak KAN. Sehingga di dalam sertifikat tanah ulayat tersebut akan
mencantumkan nama ninik mamak KAN serta dapat melampirkan nama-nama pihak lain
yang terkait dengan pemilikan atas tanah ulayat nagari.
Pendaftaran tanah ulayat nagari dengan status HGU dari sisi
subjek pengemban hak belum memiliki landasan hukum yang kuat. PP No. 40/1996
tentang HGU, HGB dan Hak Pakai, menyatakan bahwa pemegang HGU adalah warga
negara Indonesia dan Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia. Tidak secara spesifik dinyatakan bahwa masyarakat
adat, yang berbentuk nagari, dapat menjadi pemegang HGU.
Pendaftaran tanah ulayat nagari dengan status HGU
menimbulkan beberapa konsekuensi karena HGU memilik aturan sendiri yang berbeda
dengan nilai-nilai kolektif dan mandiri dari masyarakat nagari. Beberapa
konsekuensi itu antara lain:
Tanah yang dapat diberikan HGU adalah tanah negara. Karena
HGU hanya diberikan dari tanah negara, maka hal ini berbeda dengan landasan hak
atas tanah ulayat nagari yang dianut oleh masyarakat nagari di Sumatera Barat.
Tanah ulayat nagari dianggap sebagai milik kolektif masyarakat nagari yang
penguasaannya berada ditangan KAN dan pengaturan pemanfaatannya dilakukan oleh
Pemerntah Nagari dalam Peratuan Nagari.
HGU memiliki jangka waktu paling lama 35 tahun dan dapat
diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 tahun. Batas waktu ini
mengurangi penguasaan masyarakat nagari, termasuk KAN, terhadap tanah ulayat
nagari. Sehingga tanah ulayat nagari hanya akan bertahan paling lama 60 tahun.
Setelah itu akan hilang dan menjadi tanah negara sebab ada kewajiban kepada
pemegang HGU untuk menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna
Usaha kepada Negara sesudah Hak Guna Usaha tersebut hapus;
Pemegang HGU harus membayar sejumlah uang pemasukan kepada
negara. HGU pada dasarnya diberikan bagi kepentingan usaha, bila pemerintahan
nagari tidak mengoptimalkan pemanfaatan tanah ulayat nagari sebagai faktor
produksi maka akan mendapatkan beban pembayaran tersebut.
Pemegang HGU berkewajiban menyampaikan laporan tertulis
setiap akhir tahun mengenai penggunaan Hak Guna Usaha. Aturan ini memberikan
beban dan kontrol baru dari pihak lain kepada masyarakat nagari.
Hak Guna Usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani
Hak Tanggungan. Menjadikan HGU sebagai jaminan utang memiliki koneskuensi bahwa
hak tersebut dapat disengketakan di dalam persidangan. Apabila pemengan hak
kalah dipersidangan maka HGU tersebut dapat beralih kepada pihak lain.
Selain dengan putusan pengadilan, HGU juga dapat dialihakan
dengan cara jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal, hibah, dan
pewarisan. Hal ini mempermudah pengalihan tanah ulayat yang didaftarkan menjadi
HGU untuk dipindahtangankan yang pada akhirnya akan menghilangkan keberadaan
tanah ulayat nagari.
Selain didaftarkan dengan status HGU, tanah ulayat nagari
juga dapat didaftarkan dengan status Hak Pengelolaan dan Hak Pakai. Hak
pengelolaan dalam hukum tanah nasional tidak disebut dalam UUPA, tetapi
tersirat dalam pernyataan Penjelasan Umum angka II.2. Dalam kenyataannya
pengaturan tentang Hak Pengelolaan hanya diatur oleh setingkat Peraturan
Menteri bukan dengan Undang-undang.
Kewenangan yang diberikan kepada pemegang hak pengelolaan
itu adalah terbatas untuk merencanakan peruntukkan dan penggunaan tanah,
menggunakan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, menyerahkan
bagian-bagian tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan
pihak ketiga.
Hak Pengelolaan berkedudukan sebagai suatu bentuk pelimpahan
pelaksanaan sebagian kewenangan dari hak menguasai negara atas tanah yang
diberikan kepada Departemen, Lembaga-lembaga Pemerintahan Negara, Daerah
Otonom, serta Badan Hukum-badan hukum yang ditunjuk oleh Pemerintah. Hak
Pengelolaan tidak dapat dialihkan dan tidak dapat dijaminkan.
Sehingga tanah ulayat yang didaftarkan menjadi Hak
Pengelolaan lebih mirip dengan pemberian hak kepada kesatuan masyarakat hukum
adat atau daerah swatantra yang disebutkan dalam Pasal 2 ayat (4) UUPA karena
bersifat tetap dan diberikan untuk keperluan tertentu.
Sedangkan pendaftaran tanah ulayat nagari dengan status Hak
Pakai juga memiliki problem subjek pemegang hak yang serupa dengan HGU. Di
dalam PP No. 40/1996 disebutkan bahwa subjek Hak Pakai adalah: a) Warga Negara
Indonesia; b) Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia; c) Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen,
dan Pemerintah Daerah; d) Badan-badan keagamaan dan sosial; e) Orang asing yang
berkedudukan di Indonesia; f) Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di
Indonesia; g) Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Intemasional.
Masyarakat adat dalam bentuk pemerintahan nagari juga tidak secara tegas
disebutkan sebagai pemegang hak pakai.
Hak Pakai dapat diberikan pada tanah negara, tanah hak
pengelolaan dan tanah atas hak milik. Bila tanah ulayat nagari dianggap sebagai
tanah negara, maka hak pakai diberikan oleh Menteri atau petugas yang ditunjuk
dan kemudian didaftarkan ke Kantor Pertanahan.
Sifat dari hak pakai dari tanah negara adalah hak yang diberikan
(given), bukan sebagai hak asal yang berasal dari masyarakat. Hak Pakai pada
tanah hak pengelolaan juga diputuskan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk
setelah adanya usulan dari pemegang hak pengelolaan.
Sedangkan Hak Pakai pada tanah milik lebih dekat dengan
konsepsi yang dimaksud terhadap tanah ulayat nagari sebab tanah ulayat nagari
dianggap sebagai hak asal usul yang berasal dari keberadaan nagari sebagai
kesatuan masyarakat hukum adat. Hak Pakai yang bersumber dari tanah milik
terjadi melalui pemberian tanah oleh pemegang Hak Milik dengan akta yang dibuat
oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Tanah ulayat nagari yang didaftarkan sebagai Hak Pakai
menimbulkan beberapa konsekuensi yang akan diterima oleh masyarakat nagari,
antara lain:
Bila Hak Pakai atas tanah ulayat dianggap sebagai hak
pemberian (given) dari Pemerintah, maka Hak Pakai tersebut memiliki jangka
waktu paling lama 25 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling
lama 20 tahun. Tetapi juga ada ketentuan yang menyatakan bahwa Hak Pakai
tersebut dapat diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama
tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu. Untuk keperluan tertentu yang
dimaksud adalah untuk kepentingan: a) Departemen, Lembaga Pemerintah Non
Departemen, dan Pemerintah Daerah; b) Perwakilan negara asing dan perwakilan
badan Internasional; c) Badan keagamaan dan badan sosial. Apakah bagi tanah
ulayat nagari dianggap sebagai untuk keperluan tertentu juga? Belum ada
penjelasan relevan menjawabnya.
Hak Pakai yang bersumber dari Hak Milik memilik jangka waktu
paling lama 25 tahun dan setelah itu tidak dapat diperpanjang. Hal ini kemudian
menghilangkan keberadaan tanah ulayat nagari. Namun bila ada kesepakatan antara
pemegang hak milik, maka Hak Pakai tersebut dapat diperbarui dengan menggunakan
hak pakai baru Hak Pakau baru itu dilakukan dengan dengan akta yang dibuat oleh
Pejabat Pembuat Akta Tanah dan didaftarkan kembali kepada Kantor Pertanahan.
Pemegang hak pakai membayar sejumlah uang kepada pemberi Hak
Pakai baik kepada negara, pemegang hak pengelolaan atau kepada pemegang hak
milik atas tanah. Hal ini menjadi aneh bila tanah ulayat nagari dianggap
sebagai hak asal usul dari keberadaan nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum
adat di Sumatera Barat. Tidak relevan apabila suatu kelompok membayar sejumlah
uang kepada pihak lain agar dia dapat menikmati hak atas tanah yang pada
mulanya adalah hak mereka.
Hak Pakai dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak
Tanggungan.Menjadikan Hak Pakai sebagai jaminan utang memiliki koneskuensi
bahwa hak tersebut dapat disengketakan di dalam persidangan. Apabila pemengan
hak kalah dipersidangan maka Hak Pakai tersebut dapat beralih kepada pihak
lain.
Sama dengan HGU, Hak Pakai juga dapat dialihakan dengan cara
jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal, hibah,dan pewarisan. Hal ini
mempermudah pengalihan tanah ulayat yang didaftarkan menjadi Hak Pakai untuk
dipindahtangankan yang pada akhirnya akan menghilangkan keberadaan tanah ulayat
nagari.
Tanah Ulayat Suku
Tanah ulayat suku didaftarkan dengan status hak milik yang
pemegang haknya adalah penghulu-penghulu suku.
Tanah Ulayat Kaum
Tanah ulayat suku didaftarkan dengan status hak milik yang
pemegang haknya adalah anggota kaum dan mamak kepala waris.
Tanah Ulayat Rajo
Tanah ulayat rajo didaftarkan dengan status hak pakai dan
hak kelola yang pemegang haknya adalah anggota kaum dan pihak ketiga dengan
diketahui oleh laki-laki tertua pewaris rajo.
Tanah ulayat yang sudah diberikan izin oleh penguasa dan
pemilik tanah ulayat kepada perorangan yang dikerjakan terus menerus dan sudah
terbuka sebagai sumber kehidupan dapat didaftarkan sebagai hak milik setelah
memenuhi "adat diisi limbago dituang."
Penutup
Pendaftaran tanah hak ulayat (ulayat nagari) menjadi hak
atas tanah (HGU, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan) dalam Perda TUP potensial
menghilangkan status hak ulayat (hak ulayat nagari). Alih-alih melaksanakan
perlindungan, pengaturan pendaftaran tanah ulayat dalam Perda TUP menjadi alat
"Konversi" hak ulayat menjadi tanah hak milik dan atau tanah negara.
Hal ini mengakibatkan ketidakpastian hukum terhadap hak ulayat.
Pendaftaran hak ulayat nagari dengan status pendaftaran
tanah dalam Perda TUP khususnya dan dalam hukum agraria pada umumnya
memperlemah keberadaan hak ulayat. Peluang "pendaftaran" atau dalam
praktik disebut penetapan hukum hak ulayat yang ada hari ini adalah penetapan
oleh pemerintah daerah tentang keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat,
yang merupakan model alternatif di luar model pendaftaran tanah dalam PP No.
24/1999 tentang pendaftaran tanah, seperti halnya dalam contoh kasus masyarakat
adat Badui.
Namun, persoalan muncul dengan proses dan mekanismenya yaitu
banyaknya Perda yang harus dilahirkan untuk penetapan-penetapan hak ulayat
(ulayat nagari) dari semua nagari-nagari yang ada di Sumatera Barat. Selaras
dengan itu, perubahan PP No.24/1999 tentang pendaftaran tanah menjadi hal
penting. Perubahan tersebut semestinya memasukkan hak ulayat sebagai "hak
khusus" dengan "dokumen khusus" yang berbeda dengan sertipikat
hak milik.
REFERENSI
Ade Saptomo, (2004). Di Balik Sertifikasi Hak Atas Tanah Dalam
Perspektif Pluralisme Hukum, Jurnal Jurisprudence, Vol 1. No. 2. September
2004. Hal 207-218. Diunduh dari:
http://eprints.ums.ac.id/344/1/6._ADE_SAPTOMO.pdf pada tanggal 1 September
2008.
Bonnie Setiawan, Ekonomi Pasar Yang Neo-Liberalistik Versus
Ekonomi Berkeadilan Sosial, Disampaikan pada Diskusi Publik "Ekonomi Pasar
yang Berkeadilan Sosial" yang diadakan oleh 'Forum Komunikasi Partai
Politik dan Politisi untuk Reformasi' tanggal 12 Juni 2006 di DPR-RI, Jakarta.
Herman Soesangobeng, Pendaftaran Tanah Ulayat Di Sumatera
Barat dengan Contoh Pilot Proyek Pendaftaran Tanah di Desa Tigo Jangko,
Kecamatan Lintau Buo, Kabupaten Tanah Datar. Makalah dalam Lokakarya di Padang,
23-24 Oktober 2000
John Griffiths, (2005). Memahami Pluralisme Hukum, Sebuah
Deskripsi Konseptual, dalam Buku Pluralisme Hukum: Sebuah Pendekatan
Interdisipliner,HuMa, Jakarta
Otje Salman Soemadiningrat, (2002). Rekonseptualisasi Hukum
Adat Kontemporer, Alumni, Bandung.
[1] Makalah ini ditulis ulang dengan kesesuaian materi
pendaftaran tanah ulayat dari buku Nurul Firmansyah dan Yance Arizona, (2008),
Pemanfaatan Tanpa Jaminan Perlindungan; kajian atas Peraturan Daerah Provinsi
Sumatera Barat no. 6/2008 Tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya, HuMa,
Jakarta
[2] Van Vallenhoven adalah seorang anak seorang hakim yang
lahir pada tanggal 8 Mei 1874. Dia adalah Doktor di bidang ilmu politik dan
jurisprudence. Semasa hidupnya banyak dicurahkan sebagai Ketua Komisi Hukum
Adat (Commissie voor Adatrechts) di Leiden dan beralih pada tahun 1917 dengan
mengurus Yayasan Hukum Adat (Adatrechtsticihing). Van Vallenhoven membawa
diskursus tentang hukum adat dalam kancah akademis. Lihat Otje Salman
Soemadiningrat, (2002).Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Alumni,
Bandung. Hal. 110.
[3] Herman Soesangobeng, Pendaftaran Tanah Ulayat Di
Sumatera Barat dengan Contoh Pilot Proyek Pendaftaran Tanah di Desa Tigo
Jangko, Kecamatan Lintau Buo, Kabupaten Tanah Datar. Makalah dalam Lokakarya di
Padang, 23-24 Oktober 2000.
[4] Bonnie Setiawan, Ekonomi Pasar Yang Neo-Liberalistik
Versus Ekonomi Berkeadilan Sosial, Disampaikan pada Diskusi Publik
"Ekonomi Pasar yang Berkeadilan Sosial" yang diadakan oleh 'Forum
Komunikasi Partai Politik dan Politisi untuk Reformasi' tanggal 12 Juni 2006 di
DPR-RI, Jakarta. Hal 4-5
[5] Ade Saptomo, (2004). Di Balik Sertifikasi Hak Atas Tanah
Dalam Perspektif Pluralisme Hukum, Jurnal Jurisprudence, Vol 1. No. 2.
September 2004. Hal 207-218. Diunduh dari:
http://eprints.ums.ac.id/344/1/6._ADE_SAPTOMO.pdf pada tanggal 1 September 2008
[6] Ade Saptomo juga menyampaikan bahwa sertifikasi dapat
diinterpretasi sebagai sebuah fenomena hedonisme. Artinya, ada tesis bahwa (1)
di balik sertifikasi hak atas tanah terdapat individualisme dan hedonisme yang
dibawa oleh globalisme. (2) Sertifikasi dipandang sebagai tindakan pengaman
terhadap apa yang diperoleh dengan kerja keras di masa kini dan masa
berikutnya.
[7] John Griffiths, (2005). Memahami Pluralisme Hukum,
Sebuah Deskripsi Konseptual,dalam Buku Pluralisme Hukum: Sebuah Pendekatan
Interdisipliner,HuMa, Jakarta. Hal 79
[8] Pasal 9 PP tersebut menyatakan bahwa yang menjadi objek
pendaftaran tanah adalah: a) Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak
milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai; b) Tanah hak
pengelolaan; c) Tanah wakaf; d) Hak milik atas satuan rumah susun; e) Hak
tanggungan; f) Tanah Negara. Tidak dimasukkannya tanah ulayat sebagai objek
pendaftaran tanah membuat pemerintah tidak menerbitkan status sebidang tanah
dengan Sertipikat Tanah Ulayat.
*untuk melihat utuh Perda Provinsi Sumatera Barat tentang
Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya, dapat diunduh pada :
http://www.bphn.go.id/data/documents/perda_pempov_sumbar_no._6_tahun_2008.pdf
Halaman ( 1)
(Kajian
atas Mekanisme Pendaftaran Tanah Ulayat Dalam Peraturan Daerah Provinsi
Sumatera Barat Tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya) [1]
1. Kontoversi Pendaftaran
Tanah Ulayat
Soal pendaftaran tanah ulayat yang menghasilkan sertipikat
tanah ulayat telah menjadi kontroversi sejak lama di Sumatera Barat. Pihak yang
menolak mencurigai bahwa pendaftaran tanah ulayat menyebabkan hilangnya sifat
komunalitas atas tanah ulayat. Bahkan akan menghilangkan keberadaan tanah
ulayat karena beralih menjadi tanah dengan hak-hak individu.
Pendaftaran tanah yang dibuktikan dengan sertipikat,
misalkan pada tanah ganggam bauntuakdipandang sebagai proses individualisasi
tanah ulayat yang semula merupakan milik komunal. Padangan ini didukung dengan
argumentasi Van Vallenhoven[2]yang menyatakan bahwa hak ulayat
(beschikingsrecht) sebagai hak yang mandiri.[3] Sebagai hak yang mandiri, tanah
ulayat yang pengelolaannya didasarkan pada hukum adat sudah cukup menjadi
pegangan dalam mengatur pemanfaatan tanah ulayat bagi anggota masyarakat adat
dan bagi pihak lain.
Pengelolaan tanah ulayat sebagai hak yang mandiri di
Minangkabau diperkuat dengan kemandirian komunitas yang tergambar dalam
ungkapan "adat salingka nagari". Ungkapan ini mempertegas konsepsi
otonomi masyarakat adat, dimana pengaturan ulayat yang berdasarkan hukum adat
merupakan sistem hak yang berlaku pada ruang lingkup wilayah nagari.
Pepatah ini juga menegaskan bahwa tanah ulayat bukanlah
ruang yang kosong dari aturan. Seluruh aspek yang terkait dengannya, telah
diatur oleh norma adat secara pasti, sehingga tidak diperlukan lagi sertipikat
sebagai bukti kemandirian hak atas tanah ulayat.
Sedangkandisisi
lain, pihak yang mendorong pendaftaran tanah ulayat mengharapkan agar tanah
ulayat memiliki pengakuan hukum dari negara sehingga memiliki kepastian hukum.
Pilihan pengakuan dalam bentuk sertipikat menjadikan tanah ulayat lebih leluasa
dimanfaatkan bagi kepentingan ekonomi karena memiliki landasan hukum
keperdataan yang lebih kuat.
Bahkan Pasal 32 ayat (1) PP No. 24/1997 menyatakan bahwa
sertipikat "berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat." Sertipikat
selain menunjukkan kepastian pemegang hak atas tanah juga memberikan kemudahan
mengukur secara kuantitatif nominal harga tanah karena menyediakan data-data
fisik tentang tanah. Sebagai alat ekonomi, sertipikat juga dapat dianggunkan ke
bank untuk mendapatkan sejumlah pinjaman.
Bahkan hasil penelitian Tim Perumusan Ranperda Tanah Ulayat
pada tahun 2001 menemukan bahwa dari 400 orang yang diwawancarai, 295 orang
atau 73,75 persen sepakat agar tanah ulayat dapat disertipikatkan. 80 orang
atau 20,00 persen yang tidak sepakat dan 25 orang atau 6,25 persen yang tidak
menjawab.
Fenomena ini harus dibaca sebagai keterbukaan masyarakat
Minangkabau atas nilai-nilai yang berkembang diluar masyarakat Minangkabau,
seperti sertipikat, dengan tetap memegang tradisi yang diwariskan oleh nenek
moyang.
Dalam praktik, selain sertipikasi, ada bentuk lain pengakuan
hukum atas hak-hak masyarakat adat. Di Kabupaten Lebak, Banten misalnya,
pengakuan dilakukan dengan Penetapan Hukum melalui Perda No. 32/2001 tentang
Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy.
Di Kabupaten Merangin, Jambi,dilakukan dengan SK Bupati Merangin No. 287
Tahun 2003 Tentang Pengukuhan Kawasan Bukit Tapanggang sebagai Hutan Adat
Masyarakat Hukum Adat Desa Guguk Kecamatan Sungai Manau, Kabupaten Merangin,
Provinsi Jambi.
Pilihan bentuk pengakuan dalam bentuk sertipikat membenarkan
bahwa Perda TUP lahir guna dimanfaatkan bagi kepentingan ekonomi yang terbuka
dengan pihak investasi yang membutuhkan kepastian hak dalam berinvestasi.
2. Wacana Kritis
Pendaftaran Tanah Ulayat
Kritik terhadap sertifikasi juga muncul karena anggapan
bahwa sertifikasi yang didorong oleh lembaga-lembaga keuangan internasional
ditujukan bagi terciptanya pasar tanah dimana tanah-tanah, termasuk tanah
ulayat, dapat mudah dipertukarkan dengan mekanisme pasar dan memberikan
kepastian hukum dari pencapaian penjualan tersebut. Kondisi dapat berakibat
semakin lemah dan hilangnya tanah ulayat di Sumatera Barat. Tekanan dari
lembaga internasional itu dipaparkan oleh Bonnie Setiawan sebagai berikut:[4]
Lewat Land Administration Project (LAP), Pemerintah (dan
BPN) bersama dengan Bank Dunia dan AusAid sedang menjalankan suatu mega-proyek
mengenai deregulasi pertanahan dengan istilah "Land Resource and
Management Planning" yang akan berlangsung selama 25 tahun (1995-2020).
Proyek tersebut dilakukan dengan merancang suatu desain perubahan manajemen dan
administrasi pertanahan yang tujuan akhirnya adalah terciptanya pasar tanah
(land market). Pelaksanaannya dilakukan secara bertahap setiap lima tahun.
LAP I (1995-2000) menelan biaya sebesar US$ 140,1 juta,
didanai dari anggaran nasional sebesar US$44,9 juta (32%), pinjaman dari Bank
Dunia US$ 80 juta (57%) dan sisanya US$ 15,2 juta (11%) adalah grant dari
AusAid. Meskipun program ini telah ditentang oleh aktivis, akan tetapi mereka
tetap jalan terus. Terakhir LAP II akan kembali dilaksanakan, dan akan mulai
memasukkan obyek tanah masyarakat adat, karena sudah adanya pilot proyek
sebelumnya yang dijalankan di Sumatera Barat. Rencananya LAP II akan bernilai
sebesar US$ 110 juta, yaitu US$ 20 juta dari pemerintah Indonesia dan US$ 90
juta dari pinjaman Bank Dunia.
Dengan perspektif pluralisme hukum, Ade Saptomo menyampaikan
bahwa di balik sertifikat juga lahir asumsi inkoorporasi antara hukum adat
dengan hukum nasional, yaitu hukum adat menerima sebagian unsur hukum negara
dan hukum negara menerima sebagian hukum lokal (adat).[5] Artinya, sebagian
warga masyarakat di suatu tempat bersedia menerima unsur hukum negara dan hukum
negara pun "tidak keberatan" untuk mengakomodasi keinginan warga.
Hal ini dapat ditafsir pada sebuah fenomena sertifikasi hak
atas tanah ulayat dimana di halaman depan sertifikat tertulis satu nama
penghulu suku atau mamak kaum atas sebidang tanah, sementara di balik
sertifikat dimaksud tertuang sejumlah nama-nama kemenakan penghulu suku sebagai
pemilik bersama.[6]
Pandangan diatas hampir sama dengan pandangan John Griffiths
yang menyatakan bahwa keterbukaan hukum negara -- yang pada dasarnya bersifat
generalis dan tidak mengenal pembedaan -- terhadap sistem hukum adat yang
lokalitas dan beragam merupakan salah satu cara penguatan dari sentralisme
hukum negara.
Halaman ( 2 )
Pendaftaran Tanah Ulayat
atau Konversi Hak
Griffiths menyatakan sentralisme hukum menggunakan
pluralisme hukum sabagai salah satu upaya untuk mengakomodir situasi sosial
yang dirasakan problematik dengan memberlakukan ketentuan-ketentuan hukum
masyarakat lokal sebagai bagian ketentuan hukum yang tunduk pada hukum
negara.[7] Dalam hal ini pluralisme hukum yang dibadankan dalam bentuk
sertifikat.
Sertifikat kemudian dijadikan sebagai alat oleh sentralisme
hukum negara untuk menundukkan keberagaman dan struktur hukum masyarakat atas
sebidang tanah. Hal ini dapat membuat pengetahuan hukum adat tentang tanah
ulayat akan berkurang karena sudah diganti dengan mekanisme hukum negara.
Setelah masuk dalam mekanisme hukum negara, maka kemudian
persoalan tanah ulayat akan didominasi oleh pemerintah dan ahli hukum yang
tidak selalu memiliki perspektif penguatan hak-hak masyarakat atas tanah
ulayat.
3. Persoalan Teknis Hukum
Bab V, Pasal 8 Perda TUP mengatur tentang pendaftaran dan
subjek hukum tanah ulayat. Tanah ulayat didaftarkan kepada Kantor Pertanahan
(BPN) kabupaten/kota yang tujuannya adalah untuk menjamin kepastian hukum dan
keperluan penyediaan data/informasi pertanahan.
Tanah ulayat nagari didaftarkan menjadi hak guna usaha, hak
pakai dan hak pengelolaan. Tanah ulayat suku dan tanah ulayat kaum didaftarkan
menjadi hak milik. Sedangkan tanah ulayat rajo didaftarkan menjadi Hak Pakai
dan Hak Kelola.
Karena tanah ulayat bukan merupakan objek pendaftaran tanah
(menurut PP No. 24/1997), maka tanah ulayat didaftarkan sebagai hak-hak atas
tanah yang diatur di dalam UUPA, yang menjadi objek pendaftaran tanah.[8]
Hal tersebut diperkuat kembali oleh Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala BPN No. 5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat. Pasal 4 ayat (1) Permen No. 5/1999 menyebutkan bahwa
tanah ulayat, apabila dikehendaki oleh pemegang haknya dapat didaftar sebagai
hak atas tanah yang sesuai menurut ketentuan UUPA.
Hal tersebut menjadi dasar ketentuan Perda TUP yang mengatur
pendaftaran tanah ulayat untuk didaftarkan dengan status hak atas tanah menurut
UUPA. Perda TUP memperkenalkan 5 jenis pendaftaran tanah ulayat ke dalam status
tanah menurut UUPA, yaitu:
Tanah Ulayat Nagari
Tanah ulayat nagari dapat didaftarkan dengan status Hak Guna
Usaha, Hak Pengelolaan atau Hak Pakai yang pemegang haknya adalah atas nama
ninik mamak KAN. Sehingga di dalam sertifikat tanah ulayat tersebut akan
mencantumkan nama ninik mamak KAN serta dapat melampirkan nama-nama pihak lain
yang terkait dengan pemilikan atas tanah ulayat nagari.
Pendaftaran tanah ulayat nagari dengan status HGU dari sisi
subjek pengemban hak belum memiliki landasan hukum yang kuat. PP No. 40/1996
tentang HGU, HGB dan Hak Pakai, menyatakan bahwa pemegang HGU adalah warga
negara Indonesia dan Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia. Tidak secara spesifik dinyatakan bahwa masyarakat
adat, yang berbentuk nagari, dapat menjadi pemegang HGU.
Pendaftaran tanah ulayat nagari dengan status HGU
menimbulkan beberapa konsekuensi karena HGU memilik aturan sendiri yang berbeda
dengan nilai-nilai kolektif dan mandiri dari masyarakat nagari. Beberapa
konsekuensi itu antara lain:
Tanah yang dapat diberikan HGU adalah tanah negara. Karena
HGU hanya diberikan dari tanah negara, maka hal ini berbeda dengan landasan hak
atas tanah ulayat nagari yang dianut oleh masyarakat nagari di Sumatera Barat.
Tanah ulayat nagari dianggap sebagai milik kolektif masyarakat nagari yang
penguasaannya berada ditangan KAN dan pengaturan pemanfaatannya dilakukan oleh
Pemerntah Nagari dalam Peratuan Nagari.
HGU memiliki jangka waktu paling lama 35 tahun dan dapat
diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 tahun. Batas waktu ini
mengurangi penguasaan masyarakat nagari, termasuk KAN, terhadap tanah ulayat
nagari. Sehingga tanah ulayat nagari hanya akan bertahan paling lama 60 tahun.
Setelah itu akan hilang dan menjadi tanah negara sebab ada kewajiban kepada
pemegang HGU untuk menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna
Usaha kepada Negara sesudah Hak Guna Usaha tersebut hapus;
Pemegang HGU harus membayar sejumlah uang pemasukan kepada
negara. HGU pada dasarnya diberikan bagi kepentingan usaha, bila pemerintahan
nagari tidak mengoptimalkan pemanfaatan tanah ulayat nagari sebagai faktor
produksi maka akan mendapatkan beban pembayaran tersebut.
Pemegang HGU berkewajiban menyampaikan laporan tertulis
setiap akhir tahun mengenai penggunaan Hak Guna Usaha. Aturan ini memberikan
beban dan kontrol baru dari pihak lain kepada masyarakat nagari.
Hak Guna Usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani
Hak Tanggungan. Menjadikan HGU sebagai jaminan utang memiliki koneskuensi bahwa
hak tersebut dapat disengketakan di dalam persidangan. Apabila pemengan hak
kalah dipersidangan maka HGU tersebut dapat beralih kepada pihak lain.
Selain dengan putusan pengadilan, HGU juga dapat dialihakan
dengan cara jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal, hibah, dan
pewarisan. Hal ini mempermudah pengalihan tanah ulayat yang didaftarkan menjadi
HGU untuk dipindahtangankan yang pada akhirnya akan menghilangkan keberadaan
tanah ulayat nagari.
Selain didaftarkan dengan status HGU, tanah ulayat nagari
juga dapat didaftarkan dengan status Hak Pengelolaan dan Hak Pakai. Hak
pengelolaan dalam hukum tanah nasional tidak disebut dalam UUPA, tetapi
tersirat dalam pernyataan Penjelasan Umum angka II.2. Dalam kenyataannya
pengaturan tentang Hak Pengelolaan hanya diatur oleh setingkat Peraturan
Menteri bukan dengan Undang-undang.
Kewenangan yang diberikan kepada pemegang hak pengelolaan
itu adalah terbatas untuk merencanakan peruntukkan dan penggunaan tanah,
menggunakan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, menyerahkan
bagian-bagian tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan
pihak ketiga.
Hak Pengelolaan berkedudukan sebagai suatu bentuk pelimpahan
pelaksanaan sebagian kewenangan dari hak menguasai negara atas tanah yang
diberikan kepada Departemen, Lembaga-lembaga Pemerintahan Negara, Daerah
Otonom, serta Badan Hukum-badan hukum yang ditunjuk oleh Pemerintah. Hak
Pengelolaan tidak dapat dialihkan dan tidak dapat dijaminkan.
Sehingga tanah ulayat yang didaftarkan menjadi Hak
Pengelolaan lebih mirip dengan pemberian hak kepada kesatuan masyarakat hukum
adat atau daerah swatantra yang disebutkan dalam Pasal 2 ayat (4) UUPA karena
bersifat tetap dan diberikan untuk keperluan tertentu.
Sedangkan pendaftaran tanah ulayat nagari dengan status Hak
Pakai juga memiliki problem subjek pemegang hak yang serupa dengan HGU. Di
dalam PP No. 40/1996 disebutkan bahwa subjek Hak Pakai adalah: a) Warga Negara
Indonesia; b) Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia; c) Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen,
dan Pemerintah Daerah; d) Badan-badan keagamaan dan sosial; e) Orang asing yang
berkedudukan di Indonesia; f) Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di
Indonesia; g) Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Intemasional.
Masyarakat adat dalam bentuk pemerintahan nagari juga tidak secara tegas
disebutkan sebagai pemegang hak pakai.
Hak Pakai dapat diberikan pada tanah negara, tanah hak
pengelolaan dan tanah atas hak milik. Bila tanah ulayat nagari dianggap sebagai
tanah negara, maka hak pakai diberikan oleh Menteri atau petugas yang ditunjuk
dan kemudian didaftarkan ke Kantor Pertanahan.
Sifat dari hak pakai dari tanah negara adalah hak yang diberikan
(given), bukan sebagai hak asal yang berasal dari masyarakat. Hak Pakai pada
tanah hak pengelolaan juga diputuskan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk
setelah adanya usulan dari pemegang hak pengelolaan.
Halaman ( 3 )
Sedangkan Hak Pakai pada tanah milik lebih dekat dengan
konsepsi yang dimaksud terhadap tanah ulayat nagari sebab tanah ulayat nagari
dianggap sebagai hak asal usul yang berasal dari keberadaan nagari sebagai
kesatuan masyarakat hukum adat. Hak Pakai yang bersumber dari tanah milik
terjadi melalui pemberian tanah oleh pemegang Hak Milik dengan akta yang dibuat
oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Tanah ulayat nagari yang didaftarkan sebagai Hak Pakai
menimbulkan beberapa konsekuensi yang akan diterima oleh masyarakat nagari,
antara lain:
Bila Hak Pakai atas tanah ulayat dianggap sebagai hak
pemberian (given) dari Pemerintah, maka Hak Pakai tersebut memiliki jangka
waktu paling lama 25 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling
lama 20 tahun. Tetapi juga ada ketentuan yang menyatakan bahwa Hak Pakai
tersebut dapat diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama
tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu. Untuk keperluan tertentu yang
dimaksud adalah untuk kepentingan: a) Departemen, Lembaga Pemerintah Non
Departemen, dan Pemerintah Daerah; b) Perwakilan negara asing dan perwakilan
badan Internasional; c) Badan keagamaan dan badan sosial. Apakah bagi tanah
ulayat nagari dianggap sebagai untuk keperluan tertentu juga? Belum ada
penjelasan relevan menjawabnya.
Hak Pakai yang bersumber dari Hak Milik memilik jangka waktu
paling lama 25 tahun dan setelah itu tidak dapat diperpanjang. Hal ini kemudian
menghilangkan keberadaan tanah ulayat nagari. Namun bila ada kesepakatan antara
pemegang hak milik, maka Hak Pakai tersebut dapat diperbarui dengan menggunakan
hak pakai baru Hak Pakau baru itu dilakukan dengan dengan akta yang dibuat oleh
Pejabat Pembuat Akta Tanah dan didaftarkan kembali kepada Kantor Pertanahan.
Pemegang hak pakai membayar sejumlah uang kepada pemberi Hak
Pakai baik kepada negara, pemegang hak pengelolaan atau kepada pemegang hak
milik atas tanah. Hal ini menjadi aneh bila tanah ulayat nagari dianggap
sebagai hak asal usul dari keberadaan nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum
adat di Sumatera Barat. Tidak relevan apabila suatu kelompok membayar sejumlah
uang kepada pihak lain agar dia dapat menikmati hak atas tanah yang pada
mulanya adalah hak mereka.
Hak Pakai dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak
Tanggungan.Menjadikan Hak Pakai sebagai jaminan utang memiliki koneskuensi
bahwa hak tersebut dapat disengketakan di dalam persidangan. Apabila pemengan
hak kalah dipersidangan maka Hak Pakai tersebut dapat beralih kepada pihak
lain.
Sama dengan HGU, Hak Pakai juga dapat dialihakan dengan cara
jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal, hibah,dan pewarisan. Hal ini
mempermudah pengalihan tanah ulayat yang didaftarkan menjadi Hak Pakai untuk
dipindahtangankan yang pada akhirnya akan menghilangkan keberadaan tanah ulayat
nagari.
Tanah Ulayat Suku
Tanah ulayat suku didaftarkan dengan status hak milik yang
pemegang haknya adalah penghulu-penghulu suku.
Tanah Ulayat Kaum
Tanah ulayat suku didaftarkan dengan status hak milik yang
pemegang haknya adalah anggota kaum dan mamak kepala waris.
Tanah Ulayat Rajo
Tanah ulayat rajo didaftarkan dengan status hak pakai dan
hak kelola yang pemegang haknya adalah anggota kaum dan pihak ketiga dengan
diketahui oleh laki-laki tertua pewaris rajo.
Tanah ulayat yang sudah diberikan izin oleh penguasa dan
pemilik tanah ulayat kepada perorangan yang dikerjakan terus menerus dan sudah
terbuka sebagai sumber kehidupan dapat didaftarkan sebagai hak milik setelah
memenuhi "adat diisi limbago dituang."
Penutup
Pendaftaran tanah hak ulayat (ulayat nagari) menjadi hak
atas tanah (HGU, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan) dalam Perda TUP potensial
menghilangkan status hak ulayat (hak ulayat nagari). Alih-alih melaksanakan
perlindungan, pengaturan pendaftaran tanah ulayat dalam Perda TUP menjadi alat
"Konversi" hak ulayat menjadi tanah hak milik dan atau tanah negara.
Hal ini mengakibatkan ketidakpastian hukum terhadap hak ulayat.
Pendaftaran hak ulayat nagari dengan status pendaftaran
tanah dalam Perda TUP khususnya dan dalam hukum agraria pada umumnya
memperlemah keberadaan hak ulayat. Peluang "pendaftaran" atau dalam
praktik disebut penetapan hukum hak ulayat yang ada hari ini adalah penetapan
oleh pemerintah daerah tentang keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat,
yang merupakan model alternatif di luar model pendaftaran tanah dalam PP No. 24/1999
tentang pendaftaran tanah, seperti halnya dalam contoh kasus masyarakat adat
Badui.
Namun, persoalan muncul dengan proses dan mekanismenya yaitu
banyaknya Perda yang harus dilahirkan untuk penetapan-penetapan hak ulayat
(ulayat nagari) dari semua nagari-nagari yang ada di Sumatera Barat. Selaras
dengan itu, perubahan PP No.24/1999 tentang pendaftaran tanah menjadi hal
penting. Perubahan tersebut semestinya memasukkan hak ulayat sebagai "hak
khusus" dengan "dokumen khusus" yang berbeda dengan sertipikat
hak milik.
REFERENSI
Ade Saptomo, (2004). Di Balik Sertifikasi Hak Atas Tanah
Dalam Perspektif Pluralisme Hukum, Jurnal Jurisprudence, Vol 1. No. 2.
September 2004. Hal 207-218. Diunduh dari:
http://eprints.ums.ac.id/344/1/6._ADE_SAPTOMO.pdf pada tanggal 1 September
2008.
Bonnie Setiawan, Ekonomi Pasar Yang Neo-Liberalistik Versus
Ekonomi Berkeadilan Sosial, Disampaikan pada Diskusi Publik "Ekonomi Pasar
yang Berkeadilan Sosial" yang diadakan oleh 'Forum Komunikasi Partai
Politik dan Politisi untuk Reformasi' tanggal 12 Juni 2006 di DPR-RI, Jakarta.
Herman Soesangobeng, Pendaftaran Tanah Ulayat Di Sumatera
Barat dengan Contoh Pilot Proyek Pendaftaran Tanah di Desa Tigo Jangko,
Kecamatan Lintau Buo, Kabupaten Tanah Datar. Makalah dalam Lokakarya di Padang,
23-24 Oktober 2000
John Griffiths, (2005). Memahami Pluralisme Hukum, Sebuah
Deskripsi Konseptual, dalam Buku Pluralisme Hukum: Sebuah Pendekatan
Interdisipliner,HuMa, Jakarta
Otje Salman Soemadiningrat, (2002). Rekonseptualisasi Hukum
Adat Kontemporer, Alumni, Bandung.
[1] Makalah ini ditulis ulang dengan kesesuaian materi
pendaftaran tanah ulayat dari buku Nurul Firmansyah dan Yance Arizona, (2008),
Pemanfaatan Tanpa Jaminan Perlindungan; kajian atas Peraturan Daerah Provinsi
Sumatera Barat no. 6/2008 Tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya, HuMa,
Jakarta
[2] Van Vallenhoven adalah seorang anak seorang hakim yang
lahir pada tanggal 8 Mei 1874. Dia adalah Doktor di bidang ilmu politik dan
jurisprudence. Semasa hidupnya banyak dicurahkan sebagai Ketua Komisi Hukum
Adat (Commissie voor Adatrechts) di Leiden dan beralih pada tahun 1917 dengan
mengurus Yayasan Hukum Adat (Adatrechtsticihing). Van Vallenhoven membawa
diskursus tentang hukum adat dalam kancah akademis. Lihat Otje Salman
Soemadiningrat, (2002).Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Alumni,
Bandung. Hal. 110.
[3] Herman Soesangobeng, Pendaftaran Tanah Ulayat Di
Sumatera Barat dengan Contoh Pilot Proyek Pendaftaran Tanah di Desa Tigo
Jangko, Kecamatan Lintau Buo, Kabupaten Tanah Datar. Makalah dalam Lokakarya di
Padang, 23-24 Oktober 2000.
[4] Bonnie Setiawan, Ekonomi Pasar Yang Neo-Liberalistik
Versus Ekonomi Berkeadilan Sosial, Disampaikan pada Diskusi Publik
"Ekonomi Pasar yang Berkeadilan Sosial" yang diadakan oleh 'Forum
Komunikasi Partai Politik dan Politisi untuk Reformasi' tanggal 12 Juni 2006 di
DPR-RI, Jakarta. Hal 4-5
[5] Ade Saptomo, (2004). Di Balik Sertifikasi Hak Atas Tanah
Dalam Perspektif Pluralisme Hukum, Jurnal Jurisprudence, Vol 1. No. 2.
September 2004. Hal 207-218. Diunduh dari:
http://eprints.ums.ac.id/344/1/6._ADE_SAPTOMO.pdf pada tanggal 1 September 2008
Halaman ( 4 )
[6] Ade Saptomo juga menyampaikan bahwa sertifikasi dapat
diinterpretasi sebagai sebuah fenomena hedonisme. Artinya, ada tesis bahwa (1)
di balik sertifikasi hak atas tanah terdapat individualisme dan hedonisme yang
dibawa oleh globalisme. (2) Sertifikasi dipandang sebagai tindakan pengaman
terhadap apa yang diperoleh dengan kerja keras di masa kini dan masa
berikutnya.
[7] John Griffiths, (2005). Memahami Pluralisme Hukum,
Sebuah Deskripsi Konseptual,dalam Buku Pluralisme Hukum: Sebuah Pendekatan
Interdisipliner,HuMa, Jakarta. Hal 79
[8] Pasal 9 PP tersebut menyatakan bahwa yang menjadi objek
pendaftaran tanah adalah: a) Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak
milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai; b) Tanah hak
pengelolaan; c) Tanah wakaf; d) Hak milik atas satuan rumah susun; e) Hak
tanggungan; f) Tanah Negara. Tidak dimasukkannya tanah ulayat sebagai objek
pendaftaran tanah membuat pemerintah tidak menerbitkan status sebidang tanah
dengan Sertipikat Tanah Ulayat.
*untuk melihat utuh Perda Provinsi Sumatera Barat tentang
Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya, dapat diunduh pada :
http://www.bphn.go.id/data/documents/perda_pempov_sumbar_no._6_tahun_2008.pdf
MEDAN,( KBNLIPANRI ONLINE ) – Gubernur Sumatera Utara
(Gubsu) Edy Rahmayadi menghadiri pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas)
Persatuan Senat Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia 2019 (PSMKGI) di gelanggang
mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU), Medan, Kamis (14/2). Gubsu optimis
mahasiswa kedokteran gigi bisa membawa perubahan dan kemakmuran di Indonesia.
“Saya berharap sekali lagi, kalian yang mungkin bisa
memakmurkan bangsa ini, saya percaya kalian bisa,” ujar Gubsu Edy Rahmayadi,
ketika menyampaikan kata sambutanya.
Menurut Gubsu, dokter gigi merupakan profesi penting di
dunia. Karena itu, Gubsu berpesan kepada para mahasiswa kedokteran gigi, agar
konsisten dengan tujuannya menjadi dokter gigi.
Gubsu juga mengaku sangat senang telah diundang dan bisa
hadir ke Raker penting tersebut. “Saya sangat bahagia, terima kasih saya telah
diberi kesempatan berbicara di depan perwakilan 28 universitas seluruh
Indonesia. Kalau di raker ini besok memutuskan agar dokter gigi ini mogok
kerja, bisa sakit gigi orang se-Indonesia, satu lubang kecil di gigi saja
persoalannya panjang sekali dalam kehidupan,” kata Gubsu disambut tawa dan
tepuk tangan seluruh para mahasiswa.
Meski begitu, mahasiwa diharapkan memiliki mimpi dan
cita-cita besar. Kata Gubsu, sehebat apapun seseorang jika tidak memiliki mimpi
besar, hanya akan menjadi omong kosong saja. “Kita perlu kerja keras, bukan
hanya datang bawa buku ke kelas, kita perlu motivasi yang kuat,” katanya.
Sementara itu, Wakil Dekan I Fakultas Kedokteran Gigi USU
Sondang Pintauli mengatakan, tahun 2019, Fakultas Kedokteran Gigi USU menjadi
tuan rumah Rakernas PSMKGI. Rakernas tersebut mengundang delegasi mahasiswa
kedokteran gigi dari 28 universitas di seluruh Indonesia.
Diharapkannya, Rakernas tersebut dapat menghasilkan sesuatu
yang memberi kontribusi bagi Indonesia, khususnya Sumatera Utara. “Bagaimana
hasil senat mahasiswa yang diselengarakan di Sumut dapat memberikan kontribusi
dan sinergi di Indonesia dalam mewujudkan visi PSMKGI,” ujarnya.
Sondang juga mengapresiasi kedatangan Gubsu Edy Rahmayadi
yang telah 2 kali memberikan orasi ilmiah di Universitas Sumatera Utara.
“Terima kasih Pak Gubernur yang sudah 2 kali datang ke acara kami dan sudah memberikan
orasi ilmiah yang luar biasa,” katanya.
Beberapa mahasiwa kedokteran yang menjadi delegasi pada
Rakernas tersebut merasa termotivasi dengan pesan-pesan yang diberikan Gubsu.
Salah satunya, Hamidah dari Universitas Syah Kuala Aceh, yang merasa sangat
termotivasi. “Pak Edy sangat luar biasa, pesan-pesan beliau sangat memotivasi,”
katanya singkat.
Begitu pula dengan mahasiswi Universitas Padjadjaran Bandung
Darningtyas menyebut Gubsu Edy Rahmayadi sebagai sosok yang sangat
menginspirasi. “Apalagi bagi anak muda, terutama bagian doa dan orang tua, jadi
kesuksesan tidak datang dari diri sendiri, tapi dari orang tua dan doa,”
ujarnya.
Turut hadir pada kesempatan tersebut Rektor USU Runtung
Sitepu, serta seluruh delegasi Fakultas Kedokteran Gigi dari 28 universitas
seluruh Indonesia.( team )
Optimaliasai Pendapatan di Daerah oleh KPK, Gubsu Edy: Kita
Kumpul Ini Bicara Serius
MEDAN,( KBNLIPANRI ONLINE ) - Dalam rangka optimalisai
pendapatan negara, Komisi PemberantasanKorupsi (KPK) mendorong pemerintah daerah untuk memaksimalkan potensi
penerimaan yang ada. Atas dorongan itu, Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) Edy
Rahmayadi menekankan bahwa seluruh komponen harus bicara serius dalam rangka
perbaikan.
“Kita kumpul hari ini ingin bicara serius. Saya bilang,
minta ke KPK menyelesaikan masalah ini. Saya yakin KPK ini tidak gila jabatan,
karena tujuannya untuk memperbaiki bangsa ini,” ujar Gubsu Edy Rahmayadisaat membuka Rapat Pembahasan Optimalisasi
Pendapatan Daerah bersama Satgas Korsupgah KPK di ruang rapat Kaharuddin Nst,
Kantor Gubernur Jalan Pangeran Diponegoro Nomor 30 Medan, Selasa (12/2).
Hadir diantaranya Sekdaprovsu Dr Hj Sabrina, Ketua Satgas Koordinasi
dan Supervisi Pencegahan (Korsupgah) KPK Wilayah 1 Sumbagut Juliawan bersama
staf Azril dan Harun, Walikota Medan Dzulmi Eldin, Bupati Deliserdang Ashari
Tambunan, Wakil Walikota Pematang Siantar Togar Sitorus, Kepala Inspektorat
Sumut OK Hendry, Kepala Dinas Penanaman Modal PTSP Arief S Trinugroho, Kadis
Kominfo Sumut HM Fitriyus, Kabiro Humas dan Keprotokolan Setdaprov Sumut Ilyas
Sitorus, Sekdako/Sekdakab, Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah (BP2RD),
Direksi Bank Sumut dan pejabat lainnya.
Dalam pidatonya, Gubsu meyakini kerja KPK dalam rangka
memberantas korupsi maupun pencegahan cukup maksimal. Karena dalam
perjalanannya, tidak mengedepankan jabatan, namun lebih mengutamakan kinerja
yang baik. Sehingga dirinya berharap pertemuan tersebut dapat menjadi awal
untuk membuktikan bahwa Sumut bisa lebih baik dan bermartabat.
“Kalau sudah KPK yang turun tangan, kita yakin bisa. Kalau
tidak, siapa lagi yang mau kita percaya. Mari kita buktikan kalau kita bisa,”
tegas Gubsu Edy,yang mengimbau untuk
bekerjasama dengan Bank Sumut sebagai bank milik daerah.
Sementara Ketua Satgas Korsupgah KPK Wilayah 1 Sumbagut
Juliawan menyebutkan bahwa upaya optimalisasi penerimaan daerah ini dilakukan
secara nasional. Program tersebut merupakan hal yang menjadi fokus mereka di
2018 yang sudah berjalan. Tujuannya adalah mendorong supaya potensi daerah yang
cukup besar bisa dirasakan.
“Ada laporan kebocoran, maka kami mendorong agar itu
(potensi penerimaan) bisa maksimal. Karena itu di KPK ada unit supervisi
pencegahan. Kami mendorong supaya potensi di daerah, dibuat semacam adatabase
dan juga perhitungan target pendapatan,” pungkasnya yang menekankan pentingnya
pencegahan daripada penindakan. ( team )
Pengemudi GrabCar Merasa Dizalimi, Gubsu Edy Rahmayadi Bantu
Berikan Solusi
MEDAN,( KBNLIPANRI ONLINE ) – Ratusan pengemudi taksi online
GrabCar melakukan demonstrasi di depan Kantor Gubernur Sumatera Utara (Sumut)
Jalan Pangeran Diponegoro Nomor 30 Medan, Senin (11/2). Mereka mendesak
Pemerintah Provinsi Sumut (Pemprovsu) untuk menutup PT Teknologi Pengangkutan Indonesia
(TPI) yang dianggap telah menzalimi mereka.
Gubernur Sumut (Gubsu) Edy Rahmayadi mengajak beberapa
perwakilan pengemudi untuk berdialog dan berdiskusi di ruang pressroom lantai I
Kantor Gubsu. Memulai dialog, Gubsu menyayangkan tindakan pengemudi GrabCar
yang datang melakukan unjuk rasa beramai-ramai mengganggu aktivitas baik lalu
lintas dan akses masuk kantor Gubsu.
“Kenapa lah kalian harus demo. Datang lah baik-baik kalau
mau ngobrol, bicarakan dengan saya baik-baik. Kantor saya ini selalu terbuka
untuk masyarakat Sumut. Selama kalian datang dengan sopan dan maksud baik, saya
bantu kalian. Kecuali kalau saya memang tidak pernah mau bertemu, baru kalian
demo saya,” ujar Gubsu Edy.
Tindakan unjuk rasa seperti ini, kata Gubsu Edy, memberi dampak
buruk untuk Sumut sendiri. Investor tentu mempertimbangakan kondusifitas sebuah
daerah saat hendak melakukan investasi dan kerja sama. “Kalau kalian demo
terus, investor takut datang. Sumut pun susah berkembang kalau begini, kalian
tidak cinta dengan sumut ini?” katanya.
Daniel, salah satu pengemudi Grabcar, menyampaikan bahwa
mereka tidak berniat melakukan aksi yang mengganggu kondusifitas.“Tapi karena kami sudah tidak tahan dan
merasa terlalu dizalimi pak, kami merasa hanya kepada bapak kami bisa mengadu
untuk menyelesaikan permasalahan ini,” jelas Daniel.
Daniel beserta kordinator aksi Musa Tarigan mengungkapkan,
bahwa mereka merasa diperlakukan tidak adil oleh pihak TPI dan PT Grab
Indonesia. Sehingga para pengemudi online di luar PT TPI kesulitan mendapatkan
order dari konsumen. Hal ini tentunya membuat mereka tidak memperoleh
penghasilan yang layak.
Menjawab persoalan ini, Gubsu mengintruksikan untuk segera
diadakan dan difasilitasi pertemuan antara pengemudi Grabcar, Grab, PT TPI,
kepolisian, serta Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). “Secepatnya, adakan
hari Rabu ini di sini. Hadir kalian semua. Nanti laporkan pada saya hasilnya,”
kata Gubsu Edy mengakhiri pertemuan.
Tampak ekspresi puas dari para pengemudi. “Terima kasih Pak,
ini yang kami harapkan. Biar ayah (Edy) tahu, sebelum ayah jadi Gubernur, kami
pengemudi online ini sudah duluan pajang foto ayah di kendaraan kami,” ujar
salah seorang pengemudi.
Turut hadir dalam pertemuan tersebut Staf Ahli Gubernur
Bidang Ekonomi, Keuangan, Pembangunan, Aset, SDA Setdaprovsu Drs Elisa Marbun,
Plt Asisten Perekonomian, Pembangunan, dan Kesejahteraan Setdaprovsu Nouval
Makhyar SH, dan mewakili kepolisian Rosmawaty. ( team )
Bahas Percepatan Kawasan Wisata Danau Toba, Nomadic Tourism
Direncanakan Rampung April 2019
JAKARTA,( KBNLIPANRI ONLINE ) – Tindak lanjut upaya
percepatan pembangunan kawasan Danau Toba kembali dibahas dalam Rapat
Koordinasi Tindak Lanjut Kawasan Pariwisata Danau Toba. Rapat dipimpin Menteri
Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan dan Gubernur Sumatera
Utara (Gubsu) Edy Rahmayadi, di ruang rapat Kementerian Koordinator Bidang
Kemaritiman Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Rabu (6/2).
Dalam rapat koordinasi tersebut, ada beberapa rencana dan
rekomendasi yang dibahas untuk menunjang percepatan pembangunan kawasan wisata
danau toba. Salah satunya yang dirancang oleh Badan Pelaksana Otorita Danau
Toba (BPODT), yakni merampungkan pilot project bertema ‘nomadic tourism’ pada
bulan April 2019 mendatang.
Nomadic Tourism merupakan konsep wisata temporer, baik dari
segi akses atau amenitas (fasilitas pendukung). Konsep ini diharapkan mampu
menjangkau destinasi-destinasi wisata alam di Indonesia yang beberapa bagian
merupakan kepulauan dengan akses yang susah dijangkau.
Gubsu Edy Rahmayadi mengapresiasi rencana pembangunan pilot
project di zona otorita yang dipresentasikan oleh Direktur Utama BPODT Arie
Prasetyo. Untuk memastikan keberhasilan pilot project tersebut, Gubsu Edy
merencanakan pertemuan lanjutan yang lebih intens untuk mengkaji berbagai
kemungkinan dan ide-ide tambahan yang memperkaya konsep nomadic tourism
tersebut.
“Saya ingin mengingatkan agar konsep ini juga
mempertimbangan prinsip berkelanjutan. Artinya, kita jangan asal dan yang
penting ada yang dibangun, tetapi juga kita pikirkan agar keberadaan konsep ini
memberi nilai tambah dan memperkaya variasi wisata di Danau Toba,” ujar Gubsu
Edy.
Selain itu, hal penting lainnya yang menurut Gubsu Edy juga
perlu untuk segera disiapkan adalah pemberdayaan Sumber Daya Manusia (SDM)
lokal. “Jangan sampai jadi penonton saja mereka itu, tetapi juga ikut menikmati
hasil dari keindahan alam Danau Toba. Kedepannya, kita harapkan pekerjanya
adalah SDM lokal, jangan dari luar,” katanya.
Sehingga, untuk menunjang SDM yang mumpuni di sektor wisata,
Gubsu Edy merencanakan akan melakukan pembahasan lanjutan terkait penambahan
sekolah pariwisata melalui SMK. “Porsinya juga kita harapkan kedepannya, SMK 70
persen dan SMA 30 persen,” tuturnya.
Menko Maritim Luhut Binsar sepakat dengan usulan Gubsu Edy.
Dirinya menyampaikan bahwa hal tersebut juga telah menjadi perhatian Presiden
Jokowi yakni memperbanyak sekolah kejuruan wisata. Selain itu, Luhut juga
sepakat agar BPODT mempertimbangkan hal-hal lain yang memberi nilai tambah dan
memperkaya variasi wisata di Danau Toba.
“Jeli melihat potensi-potensi seperti apa yang bisa lagi
dikembangkan. Seperti penyelenggaraan event-event besar berskala internasional.
Tapi acaranya harus dikemas dengan keren ya jangan kampungan. Event olahraga
juga bagus di Danau Toba, sport tourism seperti Triatlon kompetisi rangkaian
cabang olahraga renang, balap sepeda, lari,” jelasnya.
Luhut juga menyinggung masalah kebersihan dan kerusakan
lingkungan yang diamatinya saat terakhir kali berkunjung ke Danau Toba dalam
rangka Rakor Pembahasan Isu Lingkungan di Kawasan Danau Toba, bulan lalu.
“Kotoran ternak dan kerambah-kerambah yang merusak kelestarian Danau Toba, saya
kira harus ada tindak-tindak administratif pada mereka,” saran Luhut.
Sebelumnya, Direktur Utama BPODT Arie Prasetyo memaparkan
hal-hal berkembang dalam upaya percepatan pembangunan kawasan Danau Toba
termasuk rencana pembangunan pilot project nomadic tourism. “Nomadic tourism
ini semacam fasilitas akomodasi yang menargetkan generasi milenial. Kita
berharap ini bisa menjadi branding dan image yang bagus untuk kawasan Sibisa
dan Danau Toba secara keseluruhan. Dikemas ala anak muda, ada caravan area
nantinya yakni akomodasi nomadic atau berpindah-pindah, ada tent area,
amphiteather seperti panggung tari kecak di Bali, dan lainnya,” jelas Arie.
Pengembangan lahan perintisan atau pilot project nomadic
tourism yang akan rampung pada bulan April 2019 mendatang ini diperkirakan akan
membutuhkan pendanaan sebesar Rp 1.823.263.200.000, dan akan dilakukan secara
bertahap dengan tahap pertama sebesar 30 persen atau sebesar Rp 546.978.960.000
dan tahap kedua Rp 1.276.284.240.000. Item yang akan dibangun, kata Arie,
termasuk infrastruktur, fitur lansekap, kantor dan bangunan penunjang, dan
fasilitas umum.
“Hal mendesak lainnya yang juga dibahas adalah pembentukan
Badan Layanan Umum (BLU) untuk BPODT, saat ini masih ada kelengkapan
administrasi yang harus dilengkapi, kemudian akan direview oleh tim penilai PK
BLU Kemenkeu dan selanjutnya diusulkan pada Menteri Keuangan,” ujar Arie.
Turut hadir dalam Rapat Koordinasi tersebut mewakili Menteri
Pariwisata, mewakili Dirjen Perbendaharaan Kemenkeu, mewakili Kementerian LHK,
mewakili Bank Indonesia, Ketua Tim Percepatan Pembangunan 10 Destinasi
Pariwisata Prioritas, Hiramsyah S. Thaib, Bupati Toba Samosir Darwin Siagian,
Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan IV Wilayah Balige Leonardo Sitorus.( team )