KOLONEL MALUDIN SIMBOLON: Ingatan Kolektif Masyarakat Terhadap Jatuhnya Pesawat Tentara Pusat di Huta Tongah.
1. PengantarPada saat duduk dibangku Sekolah Dasar, Ayah saya (penulis artikel ini) pernah menceritakan suatu peristiwa kepada saya tentang jatuhnya “Pesawat Tentara Pusat” percis diladang padi milik oppung pada saat itu. Penuturan sang Ayah bermula pada saat kami bekerja diladang yang sering sekali menemukan peluru dengan panjang 5cm-20cm. Peluru-peluru itu dikumpulkan lalu dibakar, takut-takut kalau masih aktif. Demikian pula dengan potongan-potongan badan pesawat berupa besi dan aluminium yang tertimbun di dalam tanah. Menurut Ayah kami, pesawat itu jatuh setelah diawali oleh kabut hitam di udara yang berasal dari badan pesawat, menukik tajam dan pecah terpisah menjadi 4-5 bahagian serta meledak dengan dahsyat. Pilotnya dibawa ke rumah sakit di Saribudolok dan meninggal serta dimakamkan secara Katholik.
Masih menurut Ayah kami yang pada saat itu berumur 9 (sembilan) tahun (dan semua orang tua di kampung itu khususnya yang berumur lebih 50 tahun) mengetahui peristiwa tahun 1958 itu dengan baik. Menurut mereka, “Pesawat Tentara Pusat’ itu ditembak jatuh oleh ‘Gerombolan’ yang dipimpin oleh “Kolonel Simbolon” dari kolong rumah di Huta Tongah-sebuah desa yang jaraknya 52 Km dari Pematang Siantar menuju Kabanjahe. Lebih daripada itu, yang mereka ketahui adalah bahwa ’Kolonel Simbolon’ pada waktu itu adalah pemimpin PRRI-Permesta yang berseberangan dengan ’Tentara Pusat’ di Medan. Peristiwa tentang jatuhnya ’Pesawat Tentara Pusat’ itu hingga kini masih diingat segar oleh penduduk disana dan diwariskan dari generasi ke generasi apalagi bagi keluarga kami, terutama oleh 4 (empat) orang Ayah bersaudara yang pada saat kejadian itu sedang menjagai padi (mamuro) diladang.
Peristiwa Sejarah yang mereka ketahui seperti diatas tentulah berdasarkan penuturan lisan yang mereka dapat sebagai respon terhadap peristiwa yang baru saja terjadi. Atau pula karena peristiwa itu telah terjadi relatif lama, maka penuturan lisan itu dipadu dengan buku-buku pelajaran sejarah yang mereka baca. Tetapi yang menarik dari ’cerita’ diatas adalah terbentuknya ingatan kolektif masyarakat bahwa nama ’Kolonel Simbolon’ identik dengan ’gerombolan’ atau ’pemberontak’ yang tentu saja berseberangan dengan ’Tentara Pusat”. Demikian pula, apabila buku Sejarah Nasional Indonesia ataupun buku pelajaran sejarah khususnya Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) yang diprakarsai oleh Nugroho Notosusanto-mantan Menteri Pendidikan Indonesia diperiksa maka nama Kolonel (Maludin) Simbolon (selanjutnya ditulis dengan akronim KMS) tercatat sebagai ’pemberontak’. Dalam buku-buku itu, hampir tidak ditemukan ’kontribusi’ KMS dalam membina dan memperjuangkan kemerdekaan Bangsa Indonesia. Padahal, secara jelas diketahui bahwa KMS memilih masuk menjadi militer-meninggalkan pekerjaan sebagai guru-adalah akibat kesewenangan tentara Jepang yang menangkap, menyiksa dan membunuh orang pribumi termasuk abang kandungnya Johan Simbolon. Namun, dirinya kadung dianggap sebagai sosok pemberontak yang mesti disingkirkan dari panggung negara-menjalani karantina politik dan dinonaktifkan (dipecat) sebagai perwira militer.
2. Maludin Simbolon Hingga Tahun 1945
Maludin Simbolon adalah anak laki-laki kedua dari enam orang laki-laki dan memiliki 10 orang saudara laki-laki maupun perempuan dari pasangan Julius Simbolon dan Nursiah Lumbantobing. Dari nama ayahnya, dapat diketahui bahwa keluarga itu telah menganut Kristen yang disebarkan oleh die Rheinischen Missionsgesellschaft (RMG) dimana Dr. I. L. Nommensen bekerja. Lahir pada tanggal 13 September 1916 dimana sang ayah sedang bertugas di luar Pearaja-Tarutung. Dikenal sebagai anak ‘Mandur Pulo Tao’ dimana sang ayah bertugas sebagai mandor untuk mengurusi pekerja di tempat peristirahatan Belanda. Kehidupan di Pulo Tao turut membentuk kepribadian dan karakter Maludin Simbolon yang tegas, disiplin, teratur dan hidup bersih. Pada masa kanak-kanaknya, Maludin Simbolon sudah sering bermain bersama dengan anak-anak Belanda yang berlibur di Pulo Tao.
Menamatkan pendidikan dengan prestasi terbaik dari sekolah HIS (Hollandsch Inlandse School) yakni sekolah bergengsi pada saat itu di Narumonda pada usia 16 tahun dengan menghabiskan masa sembilan tahun untuk menamatkan jenjang pendidikan sekolah rendah. Tamat dari HIS, kemudian melanjutkan sekolah ke Christelijke Hollandsch Inlandsche Kweekschool (Chr. HIK) yakni sekolah guru di Solo dan tamat pada tahun 1938 dengan predikat terbaik. Berangkat dari Belawan ke Tanjung Priok dengan menumpang kapal Koninkelijke Paketvaart Matschappij (PKM) yakni Perusahaan Pelayaran Kerajaan Belanda.
Tamat dari Chr. HIK Solo, kemudian menjadi guru sekolah HIS di Kartasurya (Solo). Selama menjadi guru, berkenalan dengan seorang bidan yang bekerja di poliklinik zending yang kelak menjadi istrinya. Dari perkawinan itu, Ia dianugerahi dua orang putri dan tiga orang putra yang kelima anak itu diberi dengan nama berkharakteristik Jawa. Cita-citanya memperoleh ijazah dari Hoofdacte Cursus tidak kesampaian berhubung pecahnya Perang Dunia II di Eropah terlebih pada tanggal 10 Mei 1940 negeri Belanda telah diduduki pasukan Jerman. Ia memutuskan untuk keluar dari sekolah HIS Solo, kemudian menjadi guru di Curup. Selama di Curup, ia bertemu dengan Sucipto yang memperkenalkan paham–paham nasionalisme khususnya berdasarkan pendapat Ir. Sukarno. Kemudian dirinya semakin memahami kondisi sosial politik tanah air terlebih setelah berlangganan dengan majalah ‘National Commentaren’ yang dibina oleh Dr. Sam Ratulangie yang dikenal dengan tokoh Pergerakan Kebangsaan dan anggota Volksraad.
Serangan fajar tentara Jepang ke Pangkalan Militer Angkatan Laut Amerika di Pearl Harbour pada Desember 1941, telah mendorong lajunya PD-II. Situasi dan kondisi di Indonesia beralih dari tangan Belanda ke Jepang yang ditandai dengan mendaratnya sekitar 60.000 personel pasukan Jepang di Batavia pada tanggal 1 Maret 1942 dibawah pimpinan Jenderal Hithosi Imamura. Kedatangan tersebut telah memukul mundur pasukan Belanda dari beberapa kota di Pulau Jawa dan mendorong lahirnya Perjanjian Kalijati pada tanggal 8 Maret 1942 berupa penyerahan kekuasaan dari Belanda kepada Jepang.
Pada saat itu terjadi massacre yakni pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh pasukan Jepang terhadap kaum terdidik dan pemuka masyarakat. Salah satu korban pembunuhan itu adalah Johan Simbolon, abang kandung Maludin Simbolon yang bekerja sebagai pengawas perusahaan minyak di Plaju, tewas setelah ditangkap dan disiksa oleh Jepang. Atas kejadian itu, nasionalisme dalam diri seorang Maludin Simbolon menjadi berkobar dan mendorong dirinya masuk sekolah militer Giyugun binaan Jepang yang dibentuk terutama untuk menghadapi pasukan Sekutu. Tamat dengan pangkat Letnan Dua dan ditempatkan di Markas Batalyon Giyugun Sumatra Selatan bagian Pendidikan dan Pelatihan. Dirinya acapkali dipakai sebagai penerjemah inspeksi pasukan Jepang ke daerah-daerah sehingga banyak melihat kekejaman tentara Jepang terhadap bangsa Indonesia. Keadaan itu, telah menimbulkan antipati dan kebencian yang luar biasa terhadap Jepang dan bersama dengan temannya pernah merencanakan pemberontakan terhadap Jepang. Namun, setelah mendengar anjuran Dr. A.K. Gani rencana itupun dibatalkan. Masa berakhirnya pemerintahan Jepang di Indonesia ditandai dengan penyerahan tanpa syarat pasukan Jepang kepada Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945.
3. Hingga Penyerahan Kedaulatan 1949.
Enam hari setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia, maka pada tanggal 23 Agustus 1945 dibentuk pemerintahan Republik Indonesia Keresidenan Palembang dengan Dr. A.K. Gani sebagai kepala pemerintahan. Disamping itu, sesuai dengan putusan PPKI di Jakarta turut pula dibentuk Badan Penjaga Keamanan Rakyat (BPKR), Komite Nasional Indonesia (KNI) Daerah dan Partai Nasional Indonesia (PNI). Selanjutnya, atas prakarsa E.M. Noor di Pagaralam dibentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang anggotanya berasal dari perwira eks Giyugun, Kepolisian dan Heiho. Pada saat itu, Maludin Simbolon ditetapkan sebagai Komandan Divisi Palembang Ulu berpangkat Kolonel. Kemudian, atas prakarsa A.K. Gani, pemegang mandat TKR se-Sumatra dibentuk badan yang mengkordinasikan TKR se-Sumatra yang terdiri dari enam divisi dimana KMS ditetapkan sebagai Komandan Divisi-I Sumatera Selatan/Lahat. Sementara untuk divisi IV Sumatra Timur/Medan ditetapkan Kolonel Ahmad Taher dan divisi-VI Tapanuli/Sibolga ditetapkan Kolonel Muhammad Din.
Pasca restrukturisasi TKR se-Sumatra, KMS sebagai Komandan Divisi-I membentuk 4 resimen dan 15 batalyon di Sumatra Selatan. Akan tetapi, markas divisi-I yang berada di pedalaman kurang mendukung perlengkapan pasukan yang memadai seperti senjata, asrama, dapur umum, pengobatan dan finansil pasukannya. Oleh karena itu, dua areal tambang yang terletak di Divisi-I yakni tambang Batubara Bukit Asam dan Tambang Emas di Bengkulu dioptimalkan potensinya. Pada bulan Juli 1946 diadakan rapat Komandemen Sumatra untuk membentuk Staf Komandemen yang dilaksanakan di Bukittinggi dan KMS ditetapkan untuk memegang bidang organisasi dan operasi. Strategi jitu perang diperolehnya setelah membaca buku ‘On War’ karangan Clausewitz yakni buku standar yang berisikan teori-teori perang yang ditopang oleh penguasaan bahasa Jerman-nya yang cukup baik. Pada bulan itu juga, KMS pindah ke Parapat bersama dengan dua orang personel staf komandemen lainnya. Hal ini telah mendekatkan diri KMS dengan Gubernur Sumatra yang berkedudukan di Pematang Siantar disamping untuk pembentukan divisi-divisi diwilayah Sumatra bagian Utara yang kurang berjalan dengan baik.
Pertemuan Staf Komandemen Sumatra yang berencana melakukan restrukturisasi dengan komandan divisi Aceh, Tapanuli dan Sumatra Timur menghadapi jalan buntu. Oleh karena itu, Staf Komandemen berencana melebur divisi tersebut menjadi divisi Aceh dan Sumatra Timur dengan KMS sebagai komandan divisi. Tetapi rencana tersebut gagal mengingat sulitnya penyatuan tiga divisi terdahulu.
Prakarsa Inggris untuk mengatur perundingan antara Belanda dengan Indonesia dimeja perundingan disambut baik oleh Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri. Akan tetapi, sebelum ke meja perundingan terlebih dahulu dicapai kesepakatan genjatan senjata. Dengan demikian, delegasi militerpun disusun yang mewakili dua daerah utama Indonesia yakni Jawa dan Sumatra dimana KMS ditetapkan delegasi wilayah Sumatra. Selanjutnya, bersama dengan M. Jusuf (walikota Medan) berangkat ke Pegangsaan Timur 56 dan melapor ke pimpinan TRI di Yogyakarta dan Presiden Soekarno untuk menjelaskan keadaan di Sumatra. Dalam pembicaraan genjatan senjata tanggal 20 dan 26 September 1946 dengan Inggris, TRI menawarakan lima syarat. Tetapi, genjatan senjata tersebut menemui jalan buntu. Perundingan genjatan senjata baru tercapai pada tanggal 14 Oktober 1946 dan diratifikasi pada 1 November 1946.
Situasi yang sangat kacau dan pertempuran yang terjadi dimana-mana mendorong Kepala Staf Umum TRI untuk membentuk tiga divisi TRI di Sumatra yakni divisi VIII Garuda di Sumatra Selatan (Lampung, Bengkulu, Pelembang dan Jambi) yang di komandoi oleh KMS, Divisi XI Banteng di Sumatera Tengah (Sumatra Barat dan Riau) serta divisi X Gajah untuk Aceh dan Sumatra Utara. Naluri militer KMS mendorongnya untuk mengadakan persiapan-persiapan apabila suatu saat Belanda menyerang. Oleh karena itu, dirinya senantiasa melakukan reorganisasi pasukan menjadi brigade tempur serta inspeksi keseluruh daerah divisinya. Termasuk mengawal Hatta yang disambut oleh Gubernur Sumatra Muhammad Hasan selama berada dan berbicara pada rapat raksasa di Lahat.
Pasca penandatangangan perjanjian Linggarjati pada bulan Maret 1947, keadaan di Indonesia bukan membaik tetapi justru lebih memanas hingga pecahnya Agresi Belanda I pada tanggal 21 Juli 1947. Agresi pertama ini sangat sukses bagi Belanda terutama dengan taktik serangan cepat (blitzkrieg) dengan mudah menduduki kota-kota utama di Jawa dan Sumatra. Namun demikian, mendapat kritik tajam setelah mendengarkan pidato Syahrir di depan sidang DK-PBB pada 14 Agustus 1947 khususnya dari Amerika Serikat dan Inggris yang telah mengakui RI secara de facto. Dampak daripada tekanan internasional itu, telah memaksa Belanda-RI untuk meneken kembali perjanjian damai yang dikenal dengan Perjanjian Renville pada 8 Desember 1947. Anggota komisi militer perjanjian Renville dari wilayah Sumatra ditunjuk KMS untuk segera berangkat ke Yogyakarta menemui Dr. Johannes Leimena sebagai ketua Komisi Militer. Dalam keanggotaan itu Kolonel T.B. Simatupang juga turut serta.
Keputusan perjanjian Renville adalah berupa 12 pasal persetujuan politik yang diajukan Belanda dan 6 prinsip tambahan yang diusulkan Komisi Jasa-jasa Baik. Keputusan Renville berakibat buruk bagi Indonesia berupa pengerdilan wilayah-wilayah yang disebut dengan Indonesia. Meski demikian, sesuai dengan perundingan itu maka untuk pelaksanaan genjatan senjata di daerah, komisi-komisi militerpun dibentuk dan sebagai pengawas dibentuk United Nations Commision for Indonesia (UNCI) dimana KMS ditunjuk untuk membentuk komisi militer di wilayah Sumatra. Disamping untuk membentuk komisi militer dalam rangka genjatan senjata juga sekaligus penarikan garis perbatasan (demarkasi) yang memisahkan kedudukan TNI dan tentara Belanda. Instruksi presiden pada tanggal 3 Juni 1947, dan perintah Reorganisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra) untuk melebur TRI dan Laskar Rakyat menjadi TNI dimana Kolonel Nasution diangkat sebagai Panglima Tentara dan Teritoirum Jawa (PTTJ) dan Kolonel Hidayat di Sumatra banyak mendapat tantangan dari pasukan. Persoalan di Tapanuli dengan membentuk Komando Subteritorium VII adalah salah satu contohnya. Demikian pula persoalan di Subter II, III dan IV yang masih menyebut SUBKOSS.
Setelah perjanjian Renville, kondisi tanah air belum juga pulih. Pada tanggal 19 Desember 1948 muncul ancaman perang besar-besar yang disiarkan oleh Agence France Press (AFP) dan Reuters. Ancaman tersebut berubah menjadi kenyataan dan dikenal dengan Agresi Belanda II. Khusus di wilayah komando KMS, rencana Belanda itu telah diketahui oleh KMS dari ajudannya. Oleh karena itu, pasukan KMS meledakkan pabrik minyak dan membakar kebun teh Belanda di Pagaralam serta meruntuhkan beberapa jembatan untuk merintangi kedatangan Belanda. Pada saat itu, keadaan Palembang sangat berkecamuk. Pemerintahan Sipil Sumatra dipindahkan ke Muara Aman dan segera pada 22 Desember 1948 dibentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dimana AK. Gani dan KMS ditetapkan sebagai Gubernur militer dan wakilnya. Namun, akibat gempuran tentara Belanda, maka pada tanggal 23 Desember 1948 pasukan KMS di Palembang menyingkir ke Jambi.
Dampak agresi yang kedua ini, terutama pendudukan Belanda atas Yogyakarta telah memaksa Belanda turun ke meja perundingan yang dikenal dengan perjanjian Roem-Royen pada 7 Mei 1949. Perundingan ini diawali oleh desakan mancanegara seperti DK-PBB, KAA di Delhi pada 20-23 Januari 1949 dan sangksi Amerika melalui Marshal Plan terhadap Belanda. Hingga pada akhirnya membawa Indonesia dan Belanda ke meja perundingan yang dikenal dengan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada 23 Agustus-2 November 1949 yang produk utamanya adalah Republik Indonesia Serikat (RIS) dan penarikan tentara Belanda pasca penyerahan kedaulatan.
4. Komandan Tentara Teritorium-I Bukit Barisan
Pada bulan Januari 1950, KMS diundang ke Jakarta untuk mendampingi Presiden Sukarno bersama dengan Nasution dan Sungkono melakukan kunjungan resmi ke India berkaitan dengan perayaan kemerdekaan India dan diterima oleh Jawaharlal Nehru di Calcutta. Dari India terbang menuju Karachi (Pakistan) terus ke Rangoon (Burma) dan kembali ke Jakarta. Selanjutnya, terjadi strukturisasi personalia Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) dan Angkatan Perang. Dalam restrukturisasi tersebut, Kolonel A.H. Nasution diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Darat dan Kolonel T.B. Simatupang ditetapkan sebagai Kepala Staf Angkatan Perang. Sementara KMS memegang jabatan di MBAD. Berdasarkan perintah Menteri Pertahanan yakni Hamengku Buwono IX, KMS dipersiapkan ke Medan untuk menggantikan Kolonel A.E. Kawilarang sebagai Komandan Tentara Teritorium Sumatra Utara (Ko. TTSU) yang dipindahkan untuk menumpas Republik Maluku Selatan (RMS).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1950, tentang pembagian wilayah Republik Indonesia Serikat menjadi 10 propinsi, maka Sumatra Utara ditetapkan menjadi salah satunya. Kondisi di wilayah paling Utara di Pulau Sumatra itu terdapat tiga satuan wilayah dan pemerintahan, yaitu Provinsi Aceh dan Sumatera Timur Utara, Propinsi Tapanuli dan Sumatra Timur Selatan. Kemudian terdapat pula satu negara yakni Negara Sumatra Timur (NST). Dua propinsi RI tersebut dibentuk dengan Peraturan Pemerintah RI. No. 8/Des/WKPM Tahun 1949 sedangkan NST yang meliputi Keresidenan Sumatra Timur mencakup Langkat, Tanah Karo, Deli, Serdang, Simalungun, Asahan dan Labuhan Batu adalah bentukan Belanda. Demikian pula yang tergabung dalam Propinsi Aceh dan Sumatra Timur Utara meliputi Keresidenan Aceh dan Sumatra Timur Utara yakni Tanah Karo dan Langkat. Sedang Propinsi Tapanuli dan Sumatra Timur Selatan meliputi bekas Keresiden Tapanuli dan Sumatra Timur selatan yakni Deli, Serdang, Simalungun, Asahan dan Labuhan Batu. Kondisi tumpang tindih kewilayahan tersebut membuat penyatuan wilayah kedalam propinsi semakin sulit. Namun, penyatuan wilayah tersebut menjadi Propinsi Sumatra Utara relatif mudah setelah keluarnya seruan kembali ke negara kesatuan RI. Dengan demikian, NST dengan sendirinya membubarkan diri dan Acehpun mau menerimanya walau dengan berat hati.
Sejalan dengan penataan wilayah itu, KMS segera melakukan penataan wilayah militernya. Tak lama setelah menjadi Ko. TTSU, KMS melakukan perluasan wilayah hingga Sumatera Barat (divisi Banteng) dan Riau (Divisi Babiri). Dengan perluasan itu, komandopun dirubah menjadi Komando Tentara dan Teritorium-I (Ko. TT-I) yang di ikuti oleh perubahan sebutan komandan menjadi Panglima. Tak hanya itu, KMS juga memberikan nama Bukit Barisan dibelakang nama Ko. TT-I sehingga sebutan lengkapnya adalah Komando Tentara dan Teritorium-I Bukit Barisan. Nama Bukit Barisan, dipilih dan ditentukan oleh KMS untuk melambangkan kekuatan yang mempersatukan wilayah komando dan Bukit Barisan sendiri pernah menjadi basis pertahanan selama perang Gerilya. Diakuinya bahwa, dirinya sebagai Panglima tetapi dipihak lain adapula Gubernur Militer seperti FL. Tobing di Tapanuli dan Daud Bureuh di Aceh, Tanah Karo dan Langkat. Oleh karena itu, KMS sering melakukan pembinaan komando dan teritorial. Demikian pula dengan melancarkan operasi pembersihan ke tempat dan daerah yang rawan keamanan mulai dari Simalungun, Karo dan Deli Serdang dibawah sandi Operasi Sumatra Timur (OST). Demikian pula sandi Operasi Sihar Hutauruk (OSH), sandi OTERI (Operasi Terra Incognito) yakni pembersihan jalanraya dari Lhokseumawe hingga Kutaradja Banda Aceh.
Tugasnya selaku Panglima TT-I Bukit Barisan sangat menelan waktu, pikiran dan tenaga. Disamping harus melakukan operasi-operasi pembersihan, juga harus menghadapi aksi pemogokan buruh yang beraliran komunis di Belawan yang dilakukan oleh Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), demikian pula harus menghadapi pemberontakan Daud Bureueh di Aceh pada tanggal 20 September 1953 pada saat Bung Karno membuka Pekan Olahraga Nasional (PON) III di Stadion Teladan Medan. Operasi pemulihan keamanan di Aceh langsung dibawah pimpinan Panglima TT-I Bukit Barisan dengan sandi Operasi Biawak disamping dua operasi lainnya. Keamanan di Aceh baru dapat dipulihkan melalui perundingan damai di Helsinki pasca terjadinya gempa bumi di Nanggroe Aceh Darussalam. Kelak, Komando Tentara dan Teritorium-I Bukit Barisan, dikenal dengan Komando Daerah Militer (Kodam) Bukit Barisan, sebutan komandannya adalah Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) Bukit Barisan.
5. Penutup.
Sosok dan ketokohan KMS dalam militer terutama dalam periode 1942-1950 terbilang sangat sukses. Dimulai dengan rintisan sekolah militer Giyugun sampai menyandang sebagai Panglima TT-I Bukit Barisan. Kiranya, sumbangsih dan kontribusi KMS untuk tanah airnya-Indonesia-sangatlah besar terutama memasuki klimaks Indonesia Merdeka dan sepuluh tahun pasca kemerdekaan itu.
Tulisan ini, bukan bermaksud menafikan apa yang sudah ’terlanjur dicatat’ seperti dalam sejarah Indonesia yang telah membentuk ingatan kolektif terhadap dirinya, tetapi cenderung melihat keturutsertaannya dalam menegakkan Indonesia. Ingatan kolektif masyarakat desa tentang penembak jatuh ”Pesawat Tentara Pusat’ seperti dikampung itu adalah rekontruksi peristiwa yang sengaja ditempelkan dalam upaya menumbuhkan ’keindonesiaan’. Kini, pastilah seorang KMS tidak mengharapkan rehabilitasi atas keterlanjuran itu, atau juga menginginkan ’Maha Putra Utama’ atas jasa-jasanya. Tetapi, kalaulah seorang KMS boleh berharap, barangkali ia akan mengajak 220 juta orang penduduk Indonesia untuk melihat kembali peristiwa sejarah itu, karir militernya dan perjuangannnya terhadap Indonesia secara komprehensif dan jujur. Persoalan ’terlanjur dicatat’ itu adalah sisi lain yang harus dilihat secara objektif. Masalahnya adalah, sampai seberapa dapatkah kita mampu melihatnya secara objektif?.
Oleh: Erond L. Damanik, M.Si
Penulis adalah peneliti di
Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial
Lembaga Penelitian-Universitas Negeri Medan
12 Komentar
Comments RSS TrackBack Identifier URI
Salam
Admin.
Saya mau membeli buku perjuangan KMS dimana ya?
Terima kasih. Selamat menghimpun kekuatan kembali untuk bendera yang diambil oleh orang2 yang tidak adil.
Bravo. Mantap.
Yach benar seperti yang Anda katakan. Buku tentang KMS agaknya banyak dijual. kami dulu punyak banyak (2 tahun silam) tapi sekarang sudah habis dan belum pernah mendapatkan lagi. Buku itu ditulis oleh Prof. Dr. Payung Bangun, MA. Semacam memoar pribadi KMS-lah. Saya banyak mengetahui KMS dari buku itu, dan mencoba menulis tentang sosok KMS dari sudut perjuangannya dan tujuan perjuangan itu. Soal ia dituduh sebagai desersi AD, bukan bahasan dari tulisan say ini.
Salam
HIDUP SIMBOLON……………
Jika pemerintah pusat memang tlh berbuat kesalahan sehingga terjadi pemberontakan, maka sdh seharusnya pula pemerintah pusat secara jujur mengakuinya,,, artinya bhw perlawanan sang kolonel bukannya tanpa alasan yg jelas.