(Kajian atas Mekanisme Pendaftaran Tanah Ulayat Dalam Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya) [1]
Medan,( KBNLIPANRI ONLINE )
1. Kontoversi Pendaftaran
Tanah Ulayat
Soal pendaftaran tanah ulayat yang menghasilkan sertipikat
tanah ulayat telah menjadi kontroversi sejak lama di Sumatera Barat. Pihak yang
menolak mencurigai bahwa pendaftaran tanah ulayat menyebabkan hilangnya sifat
komunalitas atas tanah ulayat. Bahkan akan menghilangkan keberadaan tanah
ulayat karena beralih menjadi tanah dengan hak-hak individu.
Pendaftaran tanah yang dibuktikan dengan sertipikat,
misalkan pada tanah ganggam bauntuakdipandang sebagai proses individualisasi
tanah ulayat yang semula merupakan milik komunal. Padangan ini didukung dengan
argumentasi Van Vallenhoven[2]yang menyatakan bahwa hak ulayat
(beschikingsrecht) sebagai hak yang mandiri.[3] Sebagai hak yang mandiri, tanah
ulayat yang pengelolaannya didasarkan pada hukum adat sudah cukup menjadi
pegangan dalam mengatur pemanfaatan tanah ulayat bagi anggota masyarakat adat
dan bagi pihak lain.
Pengelolaan tanah ulayat sebagai hak yang mandiri di
Minangkabau diperkuat dengan kemandirian komunitas yang tergambar dalam
ungkapan "adat salingka nagari". Ungkapan ini mempertegas konsepsi
otonomi masyarakat adat, dimana pengaturan ulayat yang berdasarkan hukum adat
merupakan sistem hak yang berlaku pada ruang lingkup wilayah nagari.
Pepatah ini juga menegaskan bahwa tanah ulayat bukanlah
ruang yang kosong dari aturan. Seluruh aspek yang terkait dengannya, telah
diatur oleh norma adat secara pasti, sehingga tidak diperlukan lagi sertipikat
sebagai bukti kemandirian hak atas tanah ulayat.
Sedangkan disisi
lain, pihak yang mendorong pendaftaran tanah ulayat mengharapkan agar tanah
ulayat memiliki pengakuan hukum dari negara sehingga memiliki kepastian hukum.
Pilihan pengakuan dalam bentuk sertipikat menjadikan tanah ulayat lebih leluasa
dimanfaatkan bagi kepentingan ekonomi karena memiliki landasan hukum
keperdataan yang lebih kuat.
Bahkan Pasal 32 ayat (1) PP No. 24/1997 menyatakan bahwa
sertipikat "berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat." Sertipikat
selain menunjukkan kepastian pemegang hak atas tanah juga memberikan kemudahan
mengukur secara kuantitatif nominal harga tanah karena menyediakan data-data
fisik tentang tanah. Sebagai alat ekonomi, sertipikat juga dapat dianggunkan ke
bank untuk mendapatkan sejumlah pinjaman.
Bahkan hasil penelitian Tim Perumusan Ranperda Tanah Ulayat
pada tahun 2001 menemukan bahwa dari 400 orang yang diwawancarai, 295 orang
atau 73,75 persen sepakat agar tanah ulayat dapat disertipikatkan. 80 orang
atau 20,00 persen yang tidak sepakat dan 25 orang atau 6,25 persen yang tidak
menjawab.
Fenomena ini harus dibaca sebagai keterbukaan masyarakat
Minangkabau atas nilai-nilai yang berkembang diluar masyarakat Minangkabau,
seperti sertipikat, dengan tetap memegang tradisi yang diwariskan oleh nenek
moyang.
Dalam praktik, selain sertipikasi, ada bentuk lain pengakuan
hukum atas hak-hak masyarakat adat. Di Kabupaten Lebak, Banten misalnya,
pengakuan dilakukan dengan Penetapan Hukum melalui Perda No. 32/2001 tentang
Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy.
Di Kabupaten Merangin, Jambi, dilakukan dengan SK Bupati Merangin No. 287
Tahun 2003 Tentang Pengukuhan Kawasan Bukit Tapanggang sebagai Hutan Adat
Masyarakat Hukum Adat Desa Guguk Kecamatan Sungai Manau, Kabupaten Merangin,
Provinsi Jambi.
Pilihan bentuk pengakuan dalam bentuk sertipikat membenarkan
bahwa Perda TUP lahir guna dimanfaatkan bagi kepentingan ekonomi yang terbuka
dengan pihak investasi yang membutuhkan kepastian hak dalam berinvestasi.
2. Wacana Kritis
Pendaftaran Tanah Ulayat
Kritik terhadap sertifikasi juga muncul karena anggapan
bahwa sertifikasi yang didorong oleh lembaga-lembaga keuangan internasional
ditujukan bagi terciptanya pasar tanah dimana tanah-tanah, termasuk tanah
ulayat, dapat mudah dipertukarkan dengan mekanisme pasar dan memberikan
kepastian hukum dari pencapaian penjualan tersebut. Kondisi dapat berakibat
semakin lemah dan hilangnya tanah ulayat di Sumatera Barat. Tekanan dari
lembaga internasional itu dipaparkan oleh Bonnie Setiawan sebagai berikut:[4]
Lewat Land Administration Project (LAP), Pemerintah (dan
BPN) bersama dengan Bank Dunia dan AusAid sedang menjalankan suatu mega-proyek
mengenai deregulasi pertanahan dengan istilah "Land Resource and
Management Planning" yang akan berlangsung selama 25 tahun (1995-2020). Proyek
tersebut dilakukan dengan merancang suatu desain perubahan manajemen dan
administrasi pertanahan yang tujuan akhirnya adalah terciptanya pasar tanah
(land market). Pelaksanaannya dilakukan secara bertahap setiap lima tahun.
LAP I (1995-2000) menelan biaya sebesar US$ 140,1 juta,
didanai dari anggaran nasional sebesar US$44,9 juta (32%), pinjaman dari Bank
Dunia US$ 80 juta (57%) dan sisanya US$ 15,2 juta (11%) adalah grant dari
AusAid. Meskipun program ini telah ditentang oleh aktivis, akan tetapi mereka
tetap jalan terus. Terakhir LAP II akan kembali dilaksanakan, dan akan mulai
memasukkan obyek tanah masyarakat adat, karena sudah adanya pilot proyek
sebelumnya yang dijalankan di Sumatera Barat. Rencananya LAP II akan bernilai
sebesar US$ 110 juta, yaitu US$ 20 juta dari pemerintah Indonesia dan US$ 90
juta dari pinjaman Bank Dunia.
Dengan perspektif pluralisme hukum, Ade Saptomo menyampaikan
bahwa di balik sertifikat juga lahir asumsi inkoorporasi antara hukum adat
dengan hukum nasional, yaitu hukum adat menerima sebagian unsur hukum negara
dan hukum negara menerima sebagian hukum lokal (adat).[5] Artinya, sebagian
warga masyarakat di suatu tempat bersedia menerima unsur hukum negara dan hukum
negara pun "tidak keberatan" untuk mengakomodasi keinginan warga.
Hal ini dapat ditafsir pada sebuah fenomena sertifikasi hak
atas tanah ulayat dimana di halaman depan sertifikat tertulis satu nama
penghulu suku atau mamak kaum atas sebidang tanah, sementara di balik
sertifikat dimaksud tertuang sejumlah nama-nama kemenakan penghulu suku sebagai
pemilik bersama.[6]
Pandangan diatas hampir sama dengan pandangan John Griffiths
yang menyatakan bahwa keterbukaan hukum negara -- yang pada dasarnya bersifat
generalis dan tidak mengenal pembedaan -- terhadap sistem hukum adat yang
lokalitas dan beragam merupakan salah satu cara penguatan dari sentralisme
hukum negara.
Griffiths menyatakan sentralisme hukum menggunakan
pluralisme hukum sabagai salah satu upaya untuk mengakomodir situasi sosial
yang dirasakan problematik dengan memberlakukan ketentuan-ketentuan hukum
masyarakat lokal sebagai bagian ketentuan hukum yang tunduk pada hukum
negara.[7] Dalam hal ini pluralisme hukum yang dibadankan dalam bentuk
sertifikat.
Sertifikat kemudian dijadikan sebagai alat oleh sentralisme
hukum negara untuk menundukkan keberagaman dan struktur hukum masyarakat atas
sebidang tanah. Hal ini dapat membuat pengetahuan hukum adat tentang tanah
ulayat akan berkurang karena sudah diganti dengan mekanisme hukum negara.
Setelah masuk dalam mekanisme hukum negara, maka kemudian
persoalan tanah ulayat akan didominasi oleh pemerintah dan ahli hukum yang
tidak selalu memiliki perspektif penguatan hak-hak masyarakat atas tanah
ulayat.
3. Persoalan Teknis Hukum
Bab V, Pasal 8 Perda TUP mengatur tentang pendaftaran dan
subjek hukum tanah ulayat. Tanah ulayat didaftarkan kepada Kantor Pertanahan
(BPN) kabupaten/kota yang tujuannya adalah untuk menjamin kepastian hukum dan
keperluan penyediaan data/informasi pertanahan.
Tanah ulayat nagari didaftarkan menjadi hak guna usaha, hak
pakai dan hak pengelolaan. Tanah ulayat suku dan tanah ulayat kaum didaftarkan
menjadi hak milik. Sedangkan tanah ulayat rajo didaftarkan menjadi Hak Pakai
dan Hak Kelola.
Karena tanah ulayat bukan merupakan objek pendaftaran tanah
(menurut PP No. 24/1997), maka tanah ulayat didaftarkan sebagai hak-hak atas
tanah yang diatur di dalam UUPA, yang menjadi objek pendaftaran tanah.[8]
Hal tersebut diperkuat kembali oleh Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala BPN No. 5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat. Pasal 4 ayat (1) Permen No. 5/1999 menyebutkan bahwa
tanah ulayat, apabila dikehendaki oleh pemegang haknya dapat didaftar sebagai
hak atas tanah yang sesuai menurut ketentuan UUPA.
Hal tersebut menjadi dasar ketentuan Perda TUP yang mengatur
pendaftaran tanah ulayat untuk didaftarkan dengan status hak atas tanah menurut
UUPA. Perda TUP memperkenalkan 5 jenis pendaftaran tanah ulayat ke dalam status
tanah menurut UUPA, yaitu:
Tanah Ulayat Nagari
Tanah ulayat nagari dapat didaftarkan dengan status Hak Guna
Usaha, Hak Pengelolaan atau Hak Pakai yang pemegang haknya adalah atas nama
ninik mamak KAN. Sehingga di dalam sertifikat tanah ulayat tersebut akan
mencantumkan nama ninik mamak KAN serta dapat melampirkan nama-nama pihak lain
yang terkait dengan pemilikan atas tanah ulayat nagari.
Pendaftaran tanah ulayat nagari dengan status HGU dari sisi
subjek pengemban hak belum memiliki landasan hukum yang kuat. PP No. 40/1996
tentang HGU, HGB dan Hak Pakai, menyatakan bahwa pemegang HGU adalah warga
negara Indonesia dan Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia. Tidak secara spesifik dinyatakan bahwa masyarakat
adat, yang berbentuk nagari, dapat menjadi pemegang HGU.
Pendaftaran tanah ulayat nagari dengan status HGU
menimbulkan beberapa konsekuensi karena HGU memilik aturan sendiri yang berbeda
dengan nilai-nilai kolektif dan mandiri dari masyarakat nagari. Beberapa
konsekuensi itu antara lain:
Tanah yang dapat diberikan HGU adalah tanah negara. Karena
HGU hanya diberikan dari tanah negara, maka hal ini berbeda dengan landasan hak
atas tanah ulayat nagari yang dianut oleh masyarakat nagari di Sumatera Barat.
Tanah ulayat nagari dianggap sebagai milik kolektif masyarakat nagari yang
penguasaannya berada ditangan KAN dan pengaturan pemanfaatannya dilakukan oleh
Pemerntah Nagari dalam Peratuan Nagari.
HGU memiliki jangka waktu paling lama 35 tahun dan dapat
diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 tahun. Batas waktu ini
mengurangi penguasaan masyarakat nagari, termasuk KAN, terhadap tanah ulayat
nagari. Sehingga tanah ulayat nagari hanya akan bertahan paling lama 60 tahun.
Setelah itu akan hilang dan menjadi tanah negara sebab ada kewajiban kepada
pemegang HGU untuk menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna
Usaha kepada Negara sesudah Hak Guna Usaha tersebut hapus;
Pemegang HGU harus membayar sejumlah uang pemasukan kepada
negara. HGU pada dasarnya diberikan bagi kepentingan usaha, bila pemerintahan
nagari tidak mengoptimalkan pemanfaatan tanah ulayat nagari sebagai faktor
produksi maka akan mendapatkan beban pembayaran tersebut.
Pemegang HGU berkewajiban menyampaikan laporan tertulis
setiap akhir tahun mengenai penggunaan Hak Guna Usaha. Aturan ini memberikan
beban dan kontrol baru dari pihak lain kepada masyarakat nagari.
Hak Guna Usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani
Hak Tanggungan. Menjadikan HGU sebagai jaminan utang memiliki koneskuensi bahwa
hak tersebut dapat disengketakan di dalam persidangan. Apabila pemengan hak
kalah dipersidangan maka HGU tersebut dapat beralih kepada pihak lain.
Selain dengan putusan pengadilan, HGU juga dapat dialihakan
dengan cara jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal, hibah, dan
pewarisan. Hal ini mempermudah pengalihan tanah ulayat yang didaftarkan menjadi
HGU untuk dipindahtangankan yang pada akhirnya akan menghilangkan keberadaan
tanah ulayat nagari.
Selain didaftarkan dengan status HGU, tanah ulayat nagari
juga dapat didaftarkan dengan status Hak Pengelolaan dan Hak Pakai. Hak
pengelolaan dalam hukum tanah nasional tidak disebut dalam UUPA, tetapi
tersirat dalam pernyataan Penjelasan Umum angka II.2. Dalam kenyataannya
pengaturan tentang Hak Pengelolaan hanya diatur oleh setingkat Peraturan
Menteri bukan dengan Undang-undang.
Kewenangan yang diberikan kepada pemegang hak pengelolaan
itu adalah terbatas untuk merencanakan peruntukkan dan penggunaan tanah,
menggunakan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, menyerahkan
bagian-bagian tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan
pihak ketiga.
Hak Pengelolaan berkedudukan sebagai suatu bentuk pelimpahan
pelaksanaan sebagian kewenangan dari hak menguasai negara atas tanah yang
diberikan kepada Departemen, Lembaga-lembaga Pemerintahan Negara, Daerah
Otonom, serta Badan Hukum-badan hukum yang ditunjuk oleh Pemerintah. Hak
Pengelolaan tidak dapat dialihkan dan tidak dapat dijaminkan.
Sehingga tanah ulayat yang didaftarkan menjadi Hak
Pengelolaan lebih mirip dengan pemberian hak kepada kesatuan masyarakat hukum
adat atau daerah swatantra yang disebutkan dalam Pasal 2 ayat (4) UUPA karena
bersifat tetap dan diberikan untuk keperluan tertentu.
Sedangkan pendaftaran tanah ulayat nagari dengan status Hak
Pakai juga memiliki problem subjek pemegang hak yang serupa dengan HGU. Di
dalam PP No. 40/1996 disebutkan bahwa subjek Hak Pakai adalah: a) Warga Negara
Indonesia; b) Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia; c) Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen,
dan Pemerintah Daerah; d) Badan-badan keagamaan dan sosial; e) Orang asing yang
berkedudukan di Indonesia; f) Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di
Indonesia; g) Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Intemasional.
Masyarakat adat dalam bentuk pemerintahan nagari juga tidak secara tegas
disebutkan sebagai pemegang hak pakai.
Hak Pakai dapat diberikan pada tanah negara, tanah hak
pengelolaan dan tanah atas hak milik. Bila tanah ulayat nagari dianggap sebagai
tanah negara, maka hak pakai diberikan oleh Menteri atau petugas yang ditunjuk
dan kemudian didaftarkan ke Kantor Pertanahan.
Sifat dari hak pakai dari tanah negara adalah hak yang diberikan
(given), bukan sebagai hak asal yang berasal dari masyarakat. Hak Pakai pada
tanah hak pengelolaan juga diputuskan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk
setelah adanya usulan dari pemegang hak pengelolaan.
Sedangkan Hak Pakai pada tanah milik lebih dekat dengan
konsepsi yang dimaksud terhadap tanah ulayat nagari sebab tanah ulayat nagari
dianggap sebagai hak asal usul yang berasal dari keberadaan nagari sebagai
kesatuan masyarakat hukum adat. Hak Pakai yang bersumber dari tanah milik
terjadi melalui pemberian tanah oleh pemegang Hak Milik dengan akta yang dibuat
oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Tanah ulayat nagari yang didaftarkan sebagai Hak Pakai
menimbulkan beberapa konsekuensi yang akan diterima oleh masyarakat nagari,
antara lain:
Bila Hak Pakai atas tanah ulayat dianggap sebagai hak
pemberian (given) dari Pemerintah, maka Hak Pakai tersebut memiliki jangka
waktu paling lama 25 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling
lama 20 tahun. Tetapi juga ada ketentuan yang menyatakan bahwa Hak Pakai
tersebut dapat diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama
tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu. Untuk keperluan tertentu yang
dimaksud adalah untuk kepentingan: a) Departemen, Lembaga Pemerintah Non
Departemen, dan Pemerintah Daerah; b) Perwakilan negara asing dan perwakilan
badan Internasional; c) Badan keagamaan dan badan sosial. Apakah bagi tanah
ulayat nagari dianggap sebagai untuk keperluan tertentu juga? Belum ada
penjelasan relevan menjawabnya.
Hak Pakai yang bersumber dari Hak Milik memilik jangka waktu
paling lama 25 tahun dan setelah itu tidak dapat diperpanjang. Hal ini kemudian
menghilangkan keberadaan tanah ulayat nagari. Namun bila ada kesepakatan antara
pemegang hak milik, maka Hak Pakai tersebut dapat diperbarui dengan menggunakan
hak pakai baru Hak Pakau baru itu dilakukan dengan dengan akta yang dibuat oleh
Pejabat Pembuat Akta Tanah dan didaftarkan kembali kepada Kantor Pertanahan.
Pemegang hak pakai membayar sejumlah uang kepada pemberi Hak
Pakai baik kepada negara, pemegang hak pengelolaan atau kepada pemegang hak
milik atas tanah. Hal ini menjadi aneh bila tanah ulayat nagari dianggap
sebagai hak asal usul dari keberadaan nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum
adat di Sumatera Barat. Tidak relevan apabila suatu kelompok membayar sejumlah
uang kepada pihak lain agar dia dapat menikmati hak atas tanah yang pada
mulanya adalah hak mereka.
Hak Pakai dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak
Tanggungan.Menjadikan Hak Pakai sebagai jaminan utang memiliki koneskuensi
bahwa hak tersebut dapat disengketakan di dalam persidangan. Apabila pemengan
hak kalah dipersidangan maka Hak Pakai tersebut dapat beralih kepada pihak
lain.
Sama dengan HGU, Hak Pakai juga dapat dialihakan dengan cara
jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal, hibah,dan pewarisan. Hal ini
mempermudah pengalihan tanah ulayat yang didaftarkan menjadi Hak Pakai untuk
dipindahtangankan yang pada akhirnya akan menghilangkan keberadaan tanah ulayat
nagari.
Tanah Ulayat Suku
Tanah ulayat suku didaftarkan dengan status hak milik yang
pemegang haknya adalah penghulu-penghulu suku.
Tanah Ulayat Kaum
Tanah ulayat suku didaftarkan dengan status hak milik yang
pemegang haknya adalah anggota kaum dan mamak kepala waris.
Tanah Ulayat Rajo
Tanah ulayat rajo didaftarkan dengan status hak pakai dan
hak kelola yang pemegang haknya adalah anggota kaum dan pihak ketiga dengan
diketahui oleh laki-laki tertua pewaris rajo.
Tanah ulayat yang sudah diberikan izin oleh penguasa dan
pemilik tanah ulayat kepada perorangan yang dikerjakan terus menerus dan sudah
terbuka sebagai sumber kehidupan dapat didaftarkan sebagai hak milik setelah
memenuhi "adat diisi limbago dituang."
Penutup
Pendaftaran tanah hak ulayat (ulayat nagari) menjadi hak
atas tanah (HGU, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan) dalam Perda TUP potensial
menghilangkan status hak ulayat (hak ulayat nagari). Alih-alih melaksanakan
perlindungan, pengaturan pendaftaran tanah ulayat dalam Perda TUP menjadi alat
"Konversi" hak ulayat menjadi tanah hak milik dan atau tanah negara.
Hal ini mengakibatkan ketidakpastian hukum terhadap hak ulayat.
Pendaftaran hak ulayat nagari dengan status pendaftaran
tanah dalam Perda TUP khususnya dan dalam hukum agraria pada umumnya
memperlemah keberadaan hak ulayat. Peluang "pendaftaran" atau dalam
praktik disebut penetapan hukum hak ulayat yang ada hari ini adalah penetapan
oleh pemerintah daerah tentang keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat,
yang merupakan model alternatif di luar model pendaftaran tanah dalam PP No.
24/1999 tentang pendaftaran tanah, seperti halnya dalam contoh kasus masyarakat
adat Badui.
Namun, persoalan muncul dengan proses dan mekanismenya yaitu
banyaknya Perda yang harus dilahirkan untuk penetapan-penetapan hak ulayat
(ulayat nagari) dari semua nagari-nagari yang ada di Sumatera Barat. Selaras
dengan itu, perubahan PP No.24/1999 tentang pendaftaran tanah menjadi hal
penting. Perubahan tersebut semestinya memasukkan hak ulayat sebagai "hak
khusus" dengan "dokumen khusus" yang berbeda dengan sertipikat
hak milik.
REFERENSI
Ade Saptomo, (2004). Di Balik Sertifikasi Hak Atas Tanah Dalam
Perspektif Pluralisme Hukum, Jurnal Jurisprudence, Vol 1. No. 2. September
2004. Hal 207-218. Diunduh dari:
http://eprints.ums.ac.id/344/1/6._ADE_SAPTOMO.pdf pada tanggal 1 September
2008.
Bonnie Setiawan, Ekonomi Pasar Yang Neo-Liberalistik Versus
Ekonomi Berkeadilan Sosial, Disampaikan pada Diskusi Publik "Ekonomi Pasar
yang Berkeadilan Sosial" yang diadakan oleh 'Forum Komunikasi Partai
Politik dan Politisi untuk Reformasi' tanggal 12 Juni 2006 di DPR-RI, Jakarta.
Herman Soesangobeng, Pendaftaran Tanah Ulayat Di Sumatera
Barat dengan Contoh Pilot Proyek Pendaftaran Tanah di Desa Tigo Jangko,
Kecamatan Lintau Buo, Kabupaten Tanah Datar. Makalah dalam Lokakarya di Padang,
23-24 Oktober 2000
John Griffiths, (2005). Memahami Pluralisme Hukum, Sebuah
Deskripsi Konseptual, dalam Buku Pluralisme Hukum: Sebuah Pendekatan
Interdisipliner, HuMa, Jakarta
Otje Salman Soemadiningrat, (2002). Rekonseptualisasi Hukum
Adat Kontemporer, Alumni, Bandung.
[1] Makalah ini ditulis ulang dengan kesesuaian materi
pendaftaran tanah ulayat dari buku Nurul Firmansyah dan Yance Arizona, (2008),
Pemanfaatan Tanpa Jaminan Perlindungan; kajian atas Peraturan Daerah Provinsi
Sumatera Barat no. 6/2008 Tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya, HuMa,
Jakarta
[2] Van Vallenhoven adalah seorang anak seorang hakim yang
lahir pada tanggal 8 Mei 1874. Dia adalah Doktor di bidang ilmu politik dan
jurisprudence. Semasa hidupnya banyak dicurahkan sebagai Ketua Komisi Hukum
Adat (Commissie voor Adatrechts) di Leiden dan beralih pada tahun 1917 dengan
mengurus Yayasan Hukum Adat (Adatrechtsticihing). Van Vallenhoven membawa
diskursus tentang hukum adat dalam kancah akademis. Lihat Otje Salman
Soemadiningrat, (2002).Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Alumni,
Bandung. Hal. 110.
[3] Herman Soesangobeng, Pendaftaran Tanah Ulayat Di
Sumatera Barat dengan Contoh Pilot Proyek Pendaftaran Tanah di Desa Tigo
Jangko, Kecamatan Lintau Buo, Kabupaten Tanah Datar. Makalah dalam Lokakarya di
Padang, 23-24 Oktober 2000.
[4] Bonnie Setiawan, Ekonomi Pasar Yang Neo-Liberalistik
Versus Ekonomi Berkeadilan Sosial, Disampaikan pada Diskusi Publik
"Ekonomi Pasar yang Berkeadilan Sosial" yang diadakan oleh 'Forum
Komunikasi Partai Politik dan Politisi untuk Reformasi' tanggal 12 Juni 2006 di
DPR-RI, Jakarta. Hal 4-5
[5] Ade Saptomo, (2004). Di Balik Sertifikasi Hak Atas Tanah
Dalam Perspektif Pluralisme Hukum, Jurnal Jurisprudence, Vol 1. No. 2.
September 2004. Hal 207-218. Diunduh dari:
http://eprints.ums.ac.id/344/1/6._ADE_SAPTOMO.pdf pada tanggal 1 September 2008
[6] Ade Saptomo juga menyampaikan bahwa sertifikasi dapat
diinterpretasi sebagai sebuah fenomena hedonisme. Artinya, ada tesis bahwa (1)
di balik sertifikasi hak atas tanah terdapat individualisme dan hedonisme yang
dibawa oleh globalisme. (2) Sertifikasi dipandang sebagai tindakan pengaman
terhadap apa yang diperoleh dengan kerja keras di masa kini dan masa
berikutnya.
[7] John Griffiths, (2005). Memahami Pluralisme Hukum,
Sebuah Deskripsi Konseptual,dalam Buku Pluralisme Hukum: Sebuah Pendekatan
Interdisipliner, HuMa, Jakarta. Hal 79
[8] Pasal 9 PP tersebut menyatakan bahwa yang menjadi objek
pendaftaran tanah adalah: a) Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak
milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai; b) Tanah hak
pengelolaan; c) Tanah wakaf; d) Hak milik atas satuan rumah susun; e) Hak
tanggungan; f) Tanah Negara. Tidak dimasukkannya tanah ulayat sebagai objek
pendaftaran tanah membuat pemerintah tidak menerbitkan status sebidang tanah
dengan Sertipikat Tanah Ulayat.
*untuk melihat utuh Perda Provinsi Sumatera Barat tentang
Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya, dapat diunduh pada :
http://www.bphn.go.id/data/documents/perda_pempov_sumbar_no._6_tahun_2008.pdf
Halaman ( 1)
(Kajian
atas Mekanisme Pendaftaran Tanah Ulayat Dalam Peraturan Daerah Provinsi
Sumatera Barat Tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya) [1]
1. Kontoversi Pendaftaran
Tanah Ulayat
Soal pendaftaran tanah ulayat yang menghasilkan sertipikat
tanah ulayat telah menjadi kontroversi sejak lama di Sumatera Barat. Pihak yang
menolak mencurigai bahwa pendaftaran tanah ulayat menyebabkan hilangnya sifat
komunalitas atas tanah ulayat. Bahkan akan menghilangkan keberadaan tanah
ulayat karena beralih menjadi tanah dengan hak-hak individu.
Pendaftaran tanah yang dibuktikan dengan sertipikat,
misalkan pada tanah ganggam bauntuakdipandang sebagai proses individualisasi
tanah ulayat yang semula merupakan milik komunal. Padangan ini didukung dengan
argumentasi Van Vallenhoven[2]yang menyatakan bahwa hak ulayat
(beschikingsrecht) sebagai hak yang mandiri.[3] Sebagai hak yang mandiri, tanah
ulayat yang pengelolaannya didasarkan pada hukum adat sudah cukup menjadi
pegangan dalam mengatur pemanfaatan tanah ulayat bagi anggota masyarakat adat
dan bagi pihak lain.
Pengelolaan tanah ulayat sebagai hak yang mandiri di
Minangkabau diperkuat dengan kemandirian komunitas yang tergambar dalam
ungkapan "adat salingka nagari". Ungkapan ini mempertegas konsepsi
otonomi masyarakat adat, dimana pengaturan ulayat yang berdasarkan hukum adat
merupakan sistem hak yang berlaku pada ruang lingkup wilayah nagari.
Pepatah ini juga menegaskan bahwa tanah ulayat bukanlah
ruang yang kosong dari aturan. Seluruh aspek yang terkait dengannya, telah
diatur oleh norma adat secara pasti, sehingga tidak diperlukan lagi sertipikat
sebagai bukti kemandirian hak atas tanah ulayat.
Sedangkan disisi
lain, pihak yang mendorong pendaftaran tanah ulayat mengharapkan agar tanah
ulayat memiliki pengakuan hukum dari negara sehingga memiliki kepastian hukum.
Pilihan pengakuan dalam bentuk sertipikat menjadikan tanah ulayat lebih leluasa
dimanfaatkan bagi kepentingan ekonomi karena memiliki landasan hukum
keperdataan yang lebih kuat.
Bahkan Pasal 32 ayat (1) PP No. 24/1997 menyatakan bahwa
sertipikat "berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat." Sertipikat
selain menunjukkan kepastian pemegang hak atas tanah juga memberikan kemudahan
mengukur secara kuantitatif nominal harga tanah karena menyediakan data-data
fisik tentang tanah. Sebagai alat ekonomi, sertipikat juga dapat dianggunkan ke
bank untuk mendapatkan sejumlah pinjaman.
Bahkan hasil penelitian Tim Perumusan Ranperda Tanah Ulayat
pada tahun 2001 menemukan bahwa dari 400 orang yang diwawancarai, 295 orang
atau 73,75 persen sepakat agar tanah ulayat dapat disertipikatkan. 80 orang
atau 20,00 persen yang tidak sepakat dan 25 orang atau 6,25 persen yang tidak
menjawab.
Fenomena ini harus dibaca sebagai keterbukaan masyarakat
Minangkabau atas nilai-nilai yang berkembang diluar masyarakat Minangkabau,
seperti sertipikat, dengan tetap memegang tradisi yang diwariskan oleh nenek
moyang.
Dalam praktik, selain sertipikasi, ada bentuk lain pengakuan
hukum atas hak-hak masyarakat adat. Di Kabupaten Lebak, Banten misalnya,
pengakuan dilakukan dengan Penetapan Hukum melalui Perda No. 32/2001 tentang
Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy.
Di Kabupaten Merangin, Jambi, dilakukan dengan SK Bupati Merangin No. 287
Tahun 2003 Tentang Pengukuhan Kawasan Bukit Tapanggang sebagai Hutan Adat
Masyarakat Hukum Adat Desa Guguk Kecamatan Sungai Manau, Kabupaten Merangin,
Provinsi Jambi.
Pilihan bentuk pengakuan dalam bentuk sertipikat membenarkan
bahwa Perda TUP lahir guna dimanfaatkan bagi kepentingan ekonomi yang terbuka
dengan pihak investasi yang membutuhkan kepastian hak dalam berinvestasi.
2. Wacana Kritis
Pendaftaran Tanah Ulayat
Kritik terhadap sertifikasi juga muncul karena anggapan
bahwa sertifikasi yang didorong oleh lembaga-lembaga keuangan internasional
ditujukan bagi terciptanya pasar tanah dimana tanah-tanah, termasuk tanah
ulayat, dapat mudah dipertukarkan dengan mekanisme pasar dan memberikan
kepastian hukum dari pencapaian penjualan tersebut. Kondisi dapat berakibat
semakin lemah dan hilangnya tanah ulayat di Sumatera Barat. Tekanan dari
lembaga internasional itu dipaparkan oleh Bonnie Setiawan sebagai berikut:[4]
Lewat Land Administration Project (LAP), Pemerintah (dan
BPN) bersama dengan Bank Dunia dan AusAid sedang menjalankan suatu mega-proyek
mengenai deregulasi pertanahan dengan istilah "Land Resource and
Management Planning" yang akan berlangsung selama 25 tahun (1995-2020).
Proyek tersebut dilakukan dengan merancang suatu desain perubahan manajemen dan
administrasi pertanahan yang tujuan akhirnya adalah terciptanya pasar tanah
(land market). Pelaksanaannya dilakukan secara bertahap setiap lima tahun.
LAP I (1995-2000) menelan biaya sebesar US$ 140,1 juta,
didanai dari anggaran nasional sebesar US$44,9 juta (32%), pinjaman dari Bank
Dunia US$ 80 juta (57%) dan sisanya US$ 15,2 juta (11%) adalah grant dari
AusAid. Meskipun program ini telah ditentang oleh aktivis, akan tetapi mereka
tetap jalan terus. Terakhir LAP II akan kembali dilaksanakan, dan akan mulai
memasukkan obyek tanah masyarakat adat, karena sudah adanya pilot proyek
sebelumnya yang dijalankan di Sumatera Barat. Rencananya LAP II akan bernilai
sebesar US$ 110 juta, yaitu US$ 20 juta dari pemerintah Indonesia dan US$ 90
juta dari pinjaman Bank Dunia.
Dengan perspektif pluralisme hukum, Ade Saptomo menyampaikan
bahwa di balik sertifikat juga lahir asumsi inkoorporasi antara hukum adat
dengan hukum nasional, yaitu hukum adat menerima sebagian unsur hukum negara
dan hukum negara menerima sebagian hukum lokal (adat).[5] Artinya, sebagian
warga masyarakat di suatu tempat bersedia menerima unsur hukum negara dan hukum
negara pun "tidak keberatan" untuk mengakomodasi keinginan warga.
Hal ini dapat ditafsir pada sebuah fenomena sertifikasi hak
atas tanah ulayat dimana di halaman depan sertifikat tertulis satu nama
penghulu suku atau mamak kaum atas sebidang tanah, sementara di balik
sertifikat dimaksud tertuang sejumlah nama-nama kemenakan penghulu suku sebagai
pemilik bersama.[6]
Pandangan diatas hampir sama dengan pandangan John Griffiths
yang menyatakan bahwa keterbukaan hukum negara -- yang pada dasarnya bersifat
generalis dan tidak mengenal pembedaan -- terhadap sistem hukum adat yang
lokalitas dan beragam merupakan salah satu cara penguatan dari sentralisme
hukum negara.
Halaman ( 2 )
Pendaftaran Tanah Ulayat
atau Konversi Hak
Griffiths menyatakan sentralisme hukum menggunakan
pluralisme hukum sabagai salah satu upaya untuk mengakomodir situasi sosial
yang dirasakan problematik dengan memberlakukan ketentuan-ketentuan hukum
masyarakat lokal sebagai bagian ketentuan hukum yang tunduk pada hukum
negara.[7] Dalam hal ini pluralisme hukum yang dibadankan dalam bentuk
sertifikat.
Sertifikat kemudian dijadikan sebagai alat oleh sentralisme
hukum negara untuk menundukkan keberagaman dan struktur hukum masyarakat atas
sebidang tanah. Hal ini dapat membuat pengetahuan hukum adat tentang tanah
ulayat akan berkurang karena sudah diganti dengan mekanisme hukum negara.
Setelah masuk dalam mekanisme hukum negara, maka kemudian
persoalan tanah ulayat akan didominasi oleh pemerintah dan ahli hukum yang
tidak selalu memiliki perspektif penguatan hak-hak masyarakat atas tanah
ulayat.
3. Persoalan Teknis Hukum
Bab V, Pasal 8 Perda TUP mengatur tentang pendaftaran dan
subjek hukum tanah ulayat. Tanah ulayat didaftarkan kepada Kantor Pertanahan
(BPN) kabupaten/kota yang tujuannya adalah untuk menjamin kepastian hukum dan
keperluan penyediaan data/informasi pertanahan.
Tanah ulayat nagari didaftarkan menjadi hak guna usaha, hak
pakai dan hak pengelolaan. Tanah ulayat suku dan tanah ulayat kaum didaftarkan
menjadi hak milik. Sedangkan tanah ulayat rajo didaftarkan menjadi Hak Pakai
dan Hak Kelola.
Karena tanah ulayat bukan merupakan objek pendaftaran tanah
(menurut PP No. 24/1997), maka tanah ulayat didaftarkan sebagai hak-hak atas
tanah yang diatur di dalam UUPA, yang menjadi objek pendaftaran tanah.[8]
Hal tersebut diperkuat kembali oleh Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala BPN No. 5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat. Pasal 4 ayat (1) Permen No. 5/1999 menyebutkan bahwa
tanah ulayat, apabila dikehendaki oleh pemegang haknya dapat didaftar sebagai
hak atas tanah yang sesuai menurut ketentuan UUPA.
Hal tersebut menjadi dasar ketentuan Perda TUP yang mengatur
pendaftaran tanah ulayat untuk didaftarkan dengan status hak atas tanah menurut
UUPA. Perda TUP memperkenalkan 5 jenis pendaftaran tanah ulayat ke dalam status
tanah menurut UUPA, yaitu:
Tanah Ulayat Nagari
Tanah ulayat nagari dapat didaftarkan dengan status Hak Guna
Usaha, Hak Pengelolaan atau Hak Pakai yang pemegang haknya adalah atas nama
ninik mamak KAN. Sehingga di dalam sertifikat tanah ulayat tersebut akan
mencantumkan nama ninik mamak KAN serta dapat melampirkan nama-nama pihak lain
yang terkait dengan pemilikan atas tanah ulayat nagari.
Pendaftaran tanah ulayat nagari dengan status HGU dari sisi
subjek pengemban hak belum memiliki landasan hukum yang kuat. PP No. 40/1996
tentang HGU, HGB dan Hak Pakai, menyatakan bahwa pemegang HGU adalah warga
negara Indonesia dan Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia. Tidak secara spesifik dinyatakan bahwa masyarakat
adat, yang berbentuk nagari, dapat menjadi pemegang HGU.
Pendaftaran tanah ulayat nagari dengan status HGU
menimbulkan beberapa konsekuensi karena HGU memilik aturan sendiri yang berbeda
dengan nilai-nilai kolektif dan mandiri dari masyarakat nagari. Beberapa
konsekuensi itu antara lain:
Tanah yang dapat diberikan HGU adalah tanah negara. Karena
HGU hanya diberikan dari tanah negara, maka hal ini berbeda dengan landasan hak
atas tanah ulayat nagari yang dianut oleh masyarakat nagari di Sumatera Barat.
Tanah ulayat nagari dianggap sebagai milik kolektif masyarakat nagari yang
penguasaannya berada ditangan KAN dan pengaturan pemanfaatannya dilakukan oleh
Pemerntah Nagari dalam Peratuan Nagari.
HGU memiliki jangka waktu paling lama 35 tahun dan dapat
diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 tahun. Batas waktu ini
mengurangi penguasaan masyarakat nagari, termasuk KAN, terhadap tanah ulayat
nagari. Sehingga tanah ulayat nagari hanya akan bertahan paling lama 60 tahun.
Setelah itu akan hilang dan menjadi tanah negara sebab ada kewajiban kepada
pemegang HGU untuk menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna
Usaha kepada Negara sesudah Hak Guna Usaha tersebut hapus;
Pemegang HGU harus membayar sejumlah uang pemasukan kepada
negara. HGU pada dasarnya diberikan bagi kepentingan usaha, bila pemerintahan
nagari tidak mengoptimalkan pemanfaatan tanah ulayat nagari sebagai faktor
produksi maka akan mendapatkan beban pembayaran tersebut.
Pemegang HGU berkewajiban menyampaikan laporan tertulis
setiap akhir tahun mengenai penggunaan Hak Guna Usaha. Aturan ini memberikan
beban dan kontrol baru dari pihak lain kepada masyarakat nagari.
Hak Guna Usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani
Hak Tanggungan. Menjadikan HGU sebagai jaminan utang memiliki koneskuensi bahwa
hak tersebut dapat disengketakan di dalam persidangan. Apabila pemengan hak
kalah dipersidangan maka HGU tersebut dapat beralih kepada pihak lain.
Selain dengan putusan pengadilan, HGU juga dapat dialihakan
dengan cara jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal, hibah, dan
pewarisan. Hal ini mempermudah pengalihan tanah ulayat yang didaftarkan menjadi
HGU untuk dipindahtangankan yang pada akhirnya akan menghilangkan keberadaan
tanah ulayat nagari.
Selain didaftarkan dengan status HGU, tanah ulayat nagari
juga dapat didaftarkan dengan status Hak Pengelolaan dan Hak Pakai. Hak
pengelolaan dalam hukum tanah nasional tidak disebut dalam UUPA, tetapi
tersirat dalam pernyataan Penjelasan Umum angka II.2. Dalam kenyataannya
pengaturan tentang Hak Pengelolaan hanya diatur oleh setingkat Peraturan
Menteri bukan dengan Undang-undang.
Kewenangan yang diberikan kepada pemegang hak pengelolaan
itu adalah terbatas untuk merencanakan peruntukkan dan penggunaan tanah,
menggunakan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, menyerahkan
bagian-bagian tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan
pihak ketiga.
Hak Pengelolaan berkedudukan sebagai suatu bentuk pelimpahan
pelaksanaan sebagian kewenangan dari hak menguasai negara atas tanah yang
diberikan kepada Departemen, Lembaga-lembaga Pemerintahan Negara, Daerah
Otonom, serta Badan Hukum-badan hukum yang ditunjuk oleh Pemerintah. Hak
Pengelolaan tidak dapat dialihkan dan tidak dapat dijaminkan.
Sehingga tanah ulayat yang didaftarkan menjadi Hak
Pengelolaan lebih mirip dengan pemberian hak kepada kesatuan masyarakat hukum
adat atau daerah swatantra yang disebutkan dalam Pasal 2 ayat (4) UUPA karena
bersifat tetap dan diberikan untuk keperluan tertentu.
Sedangkan pendaftaran tanah ulayat nagari dengan status Hak
Pakai juga memiliki problem subjek pemegang hak yang serupa dengan HGU. Di
dalam PP No. 40/1996 disebutkan bahwa subjek Hak Pakai adalah: a) Warga Negara
Indonesia; b) Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia; c) Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen,
dan Pemerintah Daerah; d) Badan-badan keagamaan dan sosial; e) Orang asing yang
berkedudukan di Indonesia; f) Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di
Indonesia; g) Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Intemasional.
Masyarakat adat dalam bentuk pemerintahan nagari juga tidak secara tegas
disebutkan sebagai pemegang hak pakai.
Hak Pakai dapat diberikan pada tanah negara, tanah hak
pengelolaan dan tanah atas hak milik. Bila tanah ulayat nagari dianggap sebagai
tanah negara, maka hak pakai diberikan oleh Menteri atau petugas yang ditunjuk
dan kemudian didaftarkan ke Kantor Pertanahan.
Sifat dari hak pakai dari tanah negara adalah hak yang diberikan
(given), bukan sebagai hak asal yang berasal dari masyarakat. Hak Pakai pada
tanah hak pengelolaan juga diputuskan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk
setelah adanya usulan dari pemegang hak pengelolaan.
Halaman ( 3 )
Sedangkan Hak Pakai pada tanah milik lebih dekat dengan
konsepsi yang dimaksud terhadap tanah ulayat nagari sebab tanah ulayat nagari
dianggap sebagai hak asal usul yang berasal dari keberadaan nagari sebagai
kesatuan masyarakat hukum adat. Hak Pakai yang bersumber dari tanah milik
terjadi melalui pemberian tanah oleh pemegang Hak Milik dengan akta yang dibuat
oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Tanah ulayat nagari yang didaftarkan sebagai Hak Pakai
menimbulkan beberapa konsekuensi yang akan diterima oleh masyarakat nagari,
antara lain:
Bila Hak Pakai atas tanah ulayat dianggap sebagai hak
pemberian (given) dari Pemerintah, maka Hak Pakai tersebut memiliki jangka
waktu paling lama 25 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling
lama 20 tahun. Tetapi juga ada ketentuan yang menyatakan bahwa Hak Pakai
tersebut dapat diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama
tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu. Untuk keperluan tertentu yang
dimaksud adalah untuk kepentingan: a) Departemen, Lembaga Pemerintah Non
Departemen, dan Pemerintah Daerah; b) Perwakilan negara asing dan perwakilan
badan Internasional; c) Badan keagamaan dan badan sosial. Apakah bagi tanah
ulayat nagari dianggap sebagai untuk keperluan tertentu juga? Belum ada
penjelasan relevan menjawabnya.
Hak Pakai yang bersumber dari Hak Milik memilik jangka waktu
paling lama 25 tahun dan setelah itu tidak dapat diperpanjang. Hal ini kemudian
menghilangkan keberadaan tanah ulayat nagari. Namun bila ada kesepakatan antara
pemegang hak milik, maka Hak Pakai tersebut dapat diperbarui dengan menggunakan
hak pakai baru Hak Pakau baru itu dilakukan dengan dengan akta yang dibuat oleh
Pejabat Pembuat Akta Tanah dan didaftarkan kembali kepada Kantor Pertanahan.
Pemegang hak pakai membayar sejumlah uang kepada pemberi Hak
Pakai baik kepada negara, pemegang hak pengelolaan atau kepada pemegang hak
milik atas tanah. Hal ini menjadi aneh bila tanah ulayat nagari dianggap
sebagai hak asal usul dari keberadaan nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum
adat di Sumatera Barat. Tidak relevan apabila suatu kelompok membayar sejumlah
uang kepada pihak lain agar dia dapat menikmati hak atas tanah yang pada
mulanya adalah hak mereka.
Hak Pakai dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak
Tanggungan.Menjadikan Hak Pakai sebagai jaminan utang memiliki koneskuensi
bahwa hak tersebut dapat disengketakan di dalam persidangan. Apabila pemengan
hak kalah dipersidangan maka Hak Pakai tersebut dapat beralih kepada pihak
lain.
Sama dengan HGU, Hak Pakai juga dapat dialihakan dengan cara
jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal, hibah,dan pewarisan. Hal ini
mempermudah pengalihan tanah ulayat yang didaftarkan menjadi Hak Pakai untuk
dipindahtangankan yang pada akhirnya akan menghilangkan keberadaan tanah ulayat
nagari.
Tanah Ulayat Suku
Tanah ulayat suku didaftarkan dengan status hak milik yang
pemegang haknya adalah penghulu-penghulu suku.
Tanah Ulayat Kaum
Tanah ulayat suku didaftarkan dengan status hak milik yang
pemegang haknya adalah anggota kaum dan mamak kepala waris.
Tanah Ulayat Rajo
Tanah ulayat rajo didaftarkan dengan status hak pakai dan
hak kelola yang pemegang haknya adalah anggota kaum dan pihak ketiga dengan
diketahui oleh laki-laki tertua pewaris rajo.
Tanah ulayat yang sudah diberikan izin oleh penguasa dan
pemilik tanah ulayat kepada perorangan yang dikerjakan terus menerus dan sudah
terbuka sebagai sumber kehidupan dapat didaftarkan sebagai hak milik setelah
memenuhi "adat diisi limbago dituang."
Penutup
Pendaftaran tanah hak ulayat (ulayat nagari) menjadi hak
atas tanah (HGU, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan) dalam Perda TUP potensial
menghilangkan status hak ulayat (hak ulayat nagari). Alih-alih melaksanakan
perlindungan, pengaturan pendaftaran tanah ulayat dalam Perda TUP menjadi alat
"Konversi" hak ulayat menjadi tanah hak milik dan atau tanah negara.
Hal ini mengakibatkan ketidakpastian hukum terhadap hak ulayat.
Pendaftaran hak ulayat nagari dengan status pendaftaran
tanah dalam Perda TUP khususnya dan dalam hukum agraria pada umumnya
memperlemah keberadaan hak ulayat. Peluang "pendaftaran" atau dalam
praktik disebut penetapan hukum hak ulayat yang ada hari ini adalah penetapan
oleh pemerintah daerah tentang keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat,
yang merupakan model alternatif di luar model pendaftaran tanah dalam PP No. 24/1999
tentang pendaftaran tanah, seperti halnya dalam contoh kasus masyarakat adat
Badui.
Namun, persoalan muncul dengan proses dan mekanismenya yaitu
banyaknya Perda yang harus dilahirkan untuk penetapan-penetapan hak ulayat
(ulayat nagari) dari semua nagari-nagari yang ada di Sumatera Barat. Selaras
dengan itu, perubahan PP No.24/1999 tentang pendaftaran tanah menjadi hal
penting. Perubahan tersebut semestinya memasukkan hak ulayat sebagai "hak
khusus" dengan "dokumen khusus" yang berbeda dengan sertipikat
hak milik.
REFERENSI
Ade Saptomo, (2004). Di Balik Sertifikasi Hak Atas Tanah
Dalam Perspektif Pluralisme Hukum, Jurnal Jurisprudence, Vol 1. No. 2.
September 2004. Hal 207-218. Diunduh dari:
http://eprints.ums.ac.id/344/1/6._ADE_SAPTOMO.pdf pada tanggal 1 September
2008.
Bonnie Setiawan, Ekonomi Pasar Yang Neo-Liberalistik Versus
Ekonomi Berkeadilan Sosial, Disampaikan pada Diskusi Publik "Ekonomi Pasar
yang Berkeadilan Sosial" yang diadakan oleh 'Forum Komunikasi Partai
Politik dan Politisi untuk Reformasi' tanggal 12 Juni 2006 di DPR-RI, Jakarta.
Herman Soesangobeng, Pendaftaran Tanah Ulayat Di Sumatera
Barat dengan Contoh Pilot Proyek Pendaftaran Tanah di Desa Tigo Jangko,
Kecamatan Lintau Buo, Kabupaten Tanah Datar. Makalah dalam Lokakarya di Padang,
23-24 Oktober 2000
John Griffiths, (2005). Memahami Pluralisme Hukum, Sebuah
Deskripsi Konseptual, dalam Buku Pluralisme Hukum: Sebuah Pendekatan
Interdisipliner, HuMa, Jakarta
Otje Salman Soemadiningrat, (2002). Rekonseptualisasi Hukum
Adat Kontemporer, Alumni, Bandung.
[1] Makalah ini ditulis ulang dengan kesesuaian materi
pendaftaran tanah ulayat dari buku Nurul Firmansyah dan Yance Arizona, (2008),
Pemanfaatan Tanpa Jaminan Perlindungan; kajian atas Peraturan Daerah Provinsi
Sumatera Barat no. 6/2008 Tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya, HuMa,
Jakarta
[2] Van Vallenhoven adalah seorang anak seorang hakim yang
lahir pada tanggal 8 Mei 1874. Dia adalah Doktor di bidang ilmu politik dan
jurisprudence. Semasa hidupnya banyak dicurahkan sebagai Ketua Komisi Hukum
Adat (Commissie voor Adatrechts) di Leiden dan beralih pada tahun 1917 dengan
mengurus Yayasan Hukum Adat (Adatrechtsticihing). Van Vallenhoven membawa
diskursus tentang hukum adat dalam kancah akademis. Lihat Otje Salman
Soemadiningrat, (2002).Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Alumni,
Bandung. Hal. 110.
[3] Herman Soesangobeng, Pendaftaran Tanah Ulayat Di
Sumatera Barat dengan Contoh Pilot Proyek Pendaftaran Tanah di Desa Tigo
Jangko, Kecamatan Lintau Buo, Kabupaten Tanah Datar. Makalah dalam Lokakarya di
Padang, 23-24 Oktober 2000.
[4] Bonnie Setiawan, Ekonomi Pasar Yang Neo-Liberalistik
Versus Ekonomi Berkeadilan Sosial, Disampaikan pada Diskusi Publik
"Ekonomi Pasar yang Berkeadilan Sosial" yang diadakan oleh 'Forum
Komunikasi Partai Politik dan Politisi untuk Reformasi' tanggal 12 Juni 2006 di
DPR-RI, Jakarta. Hal 4-5
[5] Ade Saptomo, (2004). Di Balik Sertifikasi Hak Atas Tanah
Dalam Perspektif Pluralisme Hukum, Jurnal Jurisprudence, Vol 1. No. 2.
September 2004. Hal 207-218. Diunduh dari:
http://eprints.ums.ac.id/344/1/6._ADE_SAPTOMO.pdf pada tanggal 1 September 2008
Halaman ( 4 )
[6] Ade Saptomo juga menyampaikan bahwa sertifikasi dapat
diinterpretasi sebagai sebuah fenomena hedonisme. Artinya, ada tesis bahwa (1)
di balik sertifikasi hak atas tanah terdapat individualisme dan hedonisme yang
dibawa oleh globalisme. (2) Sertifikasi dipandang sebagai tindakan pengaman
terhadap apa yang diperoleh dengan kerja keras di masa kini dan masa
berikutnya.
[7] John Griffiths, (2005). Memahami Pluralisme Hukum,
Sebuah Deskripsi Konseptual,dalam Buku Pluralisme Hukum: Sebuah Pendekatan
Interdisipliner, HuMa, Jakarta. Hal 79
[8] Pasal 9 PP tersebut menyatakan bahwa yang menjadi objek
pendaftaran tanah adalah: a) Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak
milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai; b) Tanah hak
pengelolaan; c) Tanah wakaf; d) Hak milik atas satuan rumah susun; e) Hak
tanggungan; f) Tanah Negara. Tidak dimasukkannya tanah ulayat sebagai objek
pendaftaran tanah membuat pemerintah tidak menerbitkan status sebidang tanah
dengan Sertipikat Tanah Ulayat.
*untuk melihat utuh Perda Provinsi Sumatera Barat tentang
Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya, dapat diunduh pada :
http://www.bphn.go.id/data/documents/perda_pempov_sumbar_no._6_tahun_2008.pdf
( team )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Undangan