CALON IBUKOTA NEGARA INDONESIA BERMASALAH
Pihak Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura Di Tenggarong Kalimantan Timur Mengaku Tak Terima Jika Pemerintah Mengklaim Bahwa Tanah Mereka Adalah Milik Negara.
Samarinda ( kbn lipanri )
Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura di Tenggarong Kalimantan Timur, menyoal lahan ibu kota negara yang disebut sebagai lahan negara.
Ketua Pengelola Tanah Perwatasan Grant Sultan Enam Pemangku Hibah, Pengeran Ario Jaya Winata mengatakan, lahan tersebut adalah adalah milik Kesultanan kutai, bukan milik negara.
Sebelumnya, Presiden Jokowi telah mengumumkan sebagian lahan di Kabupaten Kutai Kartanegara menjadi ibu kota negara bersama sebagian wilayah di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU).
Keduanya terletak di Kalimantan Timur. Karena wilayah Kesultanan Kutai di masa itu meliputi Kutai Kartanegara, Samarinda, Balikpapan, PPU, Mahakam Ulu, Kutai Barat, dan Bontang.
"Itu semua disebut Kutai di bawah kekuasaan kesultanan. Hanya saja tanahnya yang dibagi-bagi, tapi hak penguasaan tetap di Kesultanan Kutai. Mereka pakai hak garap. Kami merasa sedih kalau pemerintah mengatakan itu tanah negara," ungkap Ario di Kraton Kesultanan Kutai, Sabtu (19/10/2019).
Pengeran Ario menjelaskan, Kesultanan Kutai Ing Martadipura baru bergabung dengan RI pada 1959 setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1945.
Sebelum bergabung, Kerajaan Kutai berkuasa penuh atas seluruh wilayah Kutai sejak 1902 dan itu ada dalam arsip sejarah nasional.
Setelah bergabung dengan RI, dibuat beberapa kesempatan antara pihak kesultanan dan negara RI bahwa seluruh aset kesultanan tanah swapraja hanya dijadikan kantor pemerintahan Kaltim maupun kabupaten kota di dalamnya.
"Bukan berarti kesultanan menghibahkan kepemilikan tanah. Ini yang mestinya pemerintah bijaksana mengeluarkan statement. Kami juga cinta dan memiliki kebanggaan terhadap negara ini, tapi hak kami jangan diabaikan," ujar dia.
Atas dasar itu, pihaknya meminta agar negara memberi pengakuan dan penghargaan atas eksistensi kesultanan maupun kerabat yang mempunyai kuasa sebagai pemangku hibah.
Tak hanya itu, pihaknya juga menyesalkan pemerintah pusat maupun daerah tak pernah mengundang pihak kesultanan membicarakan pemindahan ibu kota negara ke Kaltim.
"Kami tidak pernah diundang Bappenas ataupun gubernur Kaltim membahas soal ibu kota negara," ujar Ario.
"Itu semua disebut Kutai di bawah kekuasaan kesultanan," ungkap Ario di Keraton Kesultanan Kutai, Sabtu (19/10). "Hanya saja tanahnya yang dibagi-bagi, tapi hak penguasaan tetap di Kesultanan Kutai. Mereka pakai hak garap. Kami merasa sedih kalau pemerintah mengatakan itu tanah negara."
Pengeran Ario kemudian menjelaskan bahwa Kesultanan Kutai Ing Martadipura baru bergabung beberapa tahun dengan RI setelah kemerdekaan yakni pada tahun 1959. Sebelum bergabung, Kerajaan Kutai telah memiliki kekuasaan penuh atas seluruh wilayah Kutai sejak 1902 dan itu ada dalam arsip sejarah nasional.
Setelah bergabung dengan Republik Indonesia (RI), dibuat beberapa kesempatan antara pihak kesultanan dan negara RI bahwa seluruh aset kesultanan tanah swapraja hanya dijadikan kantor pemerintahan Kaltim maupun kabupaten kota di dalamnya. Atas dasar itu, pihaknya meminta agar pemerintah memberi pengakuan dan penghargaan atas eksistensi kesultanan maupun kerabat yang memiliki kuasa sebagai pemangku hibah dari Kesultanan Kutai.
"Bukan berarti kesultanan menghibahkan kepemilikan tanah. Ini yang mestinya pemerintah bijaksana mengeluarkan statement, tutur Ario. "Kami juga cinta dan memiliki kebanggaan terhadap negara ini, tapi hak kami jangan diabaikan."
Tak hanya itu, Ario dan pihaknya juga menyesalkan sikap pemerintah pusat maupun daerah yang tidak pernah mengundang Kesultanan Kutai untuk membicarakan pemindahan ibu kota negara ke Kaltim. "Kami tidak pernah diundang Bappenas ataupun gubernur Kaltim membahas soal ibu kota negara," tuturnya.( limber sinaga )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Undangan