SEJARAH KETURUNAN SISINGAMANGARAJA I ( SAWRNA BUMI )
Kembalinya Pusat Pemerintahan ke Tanah Mulawarman, Sang Raja dari Negara Pertama di Nusantara
Kalimantan,( kbn lipanri )
Dari sebuah bukit setinggi 60 meter di atas permukaan sungai, Maharaja Mulawarman menyaksikan dermaga yang sibuk. Para pedagang dari selatan India rupanya sedang membongkar-muat barang. Mereka memakai kapal kecil dan sampan untuk menurunkan atau menaikkan barang ke kapal yang lebih besar.
Satu setengah milenium silam, pelabuhan itu berdiri di Danau Lipan, kini wilayah Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara. Danau Lipan adalah tempat yang amat strategis. Ia dekat sekali dengan percabangan Sungai Mahakam dan kedua anaknya, Sungai Kedangpala dan Sungai Kedangrantau. Ketiga sungai itu punya jangkauan luas ke wilayah pedalaman --mencakup wilayah Kabupaten Mahakam Ulu, Kutai Barat, Kutai Kartanegara, hingga Kutai Timur pada masa kini (Kajian Arkeologi Sejarah Kerajaan Kutai Martapura, 2007, hlm 118).
Mulut Danau Lipan bersetepi dengan Sungai Mahakam di Muara Kaman. Lebar Sungai Mahakam di sisi ini adalah yang terlebar sehingga memungkinkan manuver kapal-kapal besar. Ditambah pelabuhan di Danau Lipan, kapal besar cukup buang sauh di Sungai Mahakam. Barang dagangan kemudian diangkut kapal kecil dan sampan menuju Danau Lipan. Keuntungannya adalah aktivitas bongkar-muat tidak mengganggu lintasan kapal besar di Sungai Mahakam.
Pedagang India biasanya membawa aneka arca yang ditukar dengan komoditas lokal. Emas dan gaharu dari Kalimantan adalah barang yang paling digemari. Hasil hutan Kalimantan ini amat dicari di pasar Eropa, Afrika, dan Asia.
Di dekat pelabuhan, berdiri istana Raja Mulawarman, bangunan yang diperkirakan terbuat dari kayu. Posisinya kemungkinan besar di sebuah bukit bernama Brubus. Luas bukit kira-kira 27 kilometer persegi dengan sisi terpanjang 8 kilometer. Dari tepi danau hingga puncak bukit, berdiri empat benteng alam. Parit-parit raksasa ini berkedalaman 3-5 meter dengan lebar 10 meter. Bentuknya menyerupai seperempat lingkaran.
Pemegang kekuasaan tertinggi kawasan adalah Raja Mulawarman. Ia memimpin kerajaan besar bernama Kutai Martapura. Sebagian ahli dan sejarawan menyepakati, penyebutan nama Kutai Martapura lebih tepat dibandingkan Kutai Martadipura yang dikenal sekarang. Menurut arkeolog Muhammad Dwi Cahyono dalam Kajian Arkeologi Sejarah Kerajaan Kutai Martapura, sebutan Martadipura baru muncul pada 1980-an dari terjemahan Salasilah Kutai. Transkrip kuno ini telah beberapa kali dialih-aksara. Sebelum 1980, trans-literasi Salasilah Kutai selalu memakai nama Kutai Martapura.
Dasar pemikiran Martadipura berasal dari kata “marta” dan “pura” yang diberi perantara “di”. Arti “di” sepadan dengan kata “ing” dalam bahasa Jawa Kawi (hlm 37). Dalam hal nama Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura, kata “ing” dan “di” dipergunakan bersamaan sehingga terjadi pengulangan.
Kisah Kutai Martapura
Kudungga adalah kakek Mulawarman sekaligus raja pertama Kutai Martapura. Dari namanya, Kudungga diperkirakan penduduk Muara Kaman purba yang tidak memeluk Hindu-Buddha. Ia berkuasa kira-kira pada abad kedua atau ketiga. Kudungga memiliki anak bernama Aswawarman. Dari akhiran namanya, Aswawarman disebut telah terpengaruh ajaran Hindu-Buddha. Aswawarman memiliki tiga putra. Seorang di antaranya adalah Mulawarman.
Riset panjang sejarawan Eropa memperkirakan, Mulawarman mulai menggantikan Aswawarman sebagai raja Kutai Martapura pada abad keempat. Tarikhnya disebut pada akhir 300 Masehi dan permulaan 400 Masehi. Garis waktu Mulawarman berkuasa di Sungai Mahakam adalah empat abad selepas penyaliban Yesus dari Nazaret menurut kisah Nasrani. Atau, dua abad sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW di Makkah.
Kedudukan Mulawarman sangat istimewa dalam perjalanan sejarah Nusantara. Sebermula dari sebuah upacara yang mahapenting, Mulawarman meninggalkan tonggak besar dalam perjalanan bangsa yang kelak bernama Indonesia. Upacara diadakan sebagai penanda bahwa Mulawarman memeluk Hindu. Sekaligus menempatkannya dalam kasta ksatria menurut kepercayaan Weddha pada masa itu.
Upacara religi ini berlangsung di sebuah padang yang disebut waprakeswara. Lapangan ini terdiri dari tiga lingkaran, dari yang paling besar mengelilingi lingkaran paling kecil. Disiapkan tungku api kecil untuk membakar sesajian dan korban di pusat lingkaran (hlm 112). Upacara dipimpin para brahmana. Satu atau dua pendeta di antaranya diperkirakan berasal dari selatan India.
Prosesi ini tidak akan pernah bersejarah, andaikata para brahmana tidak membangun yupa. Selepas upacara, tujuh yupa didirikan. Di atas yupa-yupa itulah, prasasti ditulis dengan huruf Pallawa. Dari aksara tersebut, para ahli menyimpulkan bahwa prasasati dibuat pada abad keempat. Huruf Pallawa hanya dipakai pada zaman itu di India Selatan. Tarikh pembuatan prasasti yupa ini lantas menjadi tonggak sejarah baru; berakhirnya zaman prasejarah di Nusantara. Sadar atau tidak, Mulawarman telah mengakhiri zaman di mana sebuah bangsa belum mengenal aksara.
Sepanjang belum ditemukan prasasti atau bukti-bukti baru, Kutai Martapura tetap menjadi kerajaan tertua di Nusantara. Memang, ada dugaan bahwa Salakanagara di Sunda adalah kerajaan yang jauh lebih tua dari Kutai Martapura. Kerajaan ini berdiri pada abad kedua. Namun, bukti-buktinya sangat minim. Sebatas catatan perjalanan dari Tiongkok. Adapun kerajaan yang lebih muda dari Kutai Martapura, adalah Tarumanegara. Kerajaan ini berdiri pada pertengahan abad keempat yang kehadirannya disebut melemahkan Kerajaan Salakanagara tadi.
Situasi Negara Pertama
Pada abad keempat, hanya Kutai Martapura yang bisa disebut sebagai sebuah negara di sekujur Nusantara. Hal ini dilandaskan kepada pengertian negara saat itu. Suatu pemerintahan bisa disebut negara atau kerajaan jika memiliki pemimpin, perangkat pemerintahan (seperti menteri atau kabinet), dan sistem pemerintahan (undang-undang atau peraturan). Meskipun banyak komunitas penduduk di Nusantara yang sezaman dengan Mulawarman, mereka tidak bisa disebut sebagai negara atau kerajaan. Mereka lebih tepat disebut sebagai komunitas suku, bukan kerajaan. Pemimpinnya disebut kepala suku, bukan raja.
Sistem pemerintahan di Kutai Martapura disebut dipelajari dari pedagang dan brahmana India Selatan. Yang sempat menjadi perdebatan, mengapa kerajaan tertua Nusantara justru berdiri di pedalaman Sungai Mahakam, alih-alih di pesisir? Menurut arkeolog Dwi Cahyono, faktor pertama adalah jarak Kalimantan ke selatan India lebih dekat dibanding pulau lain. Penyebaran kerajaan bercorak Hindu-Buddha waktu itu memang sangat jelas di Asia Tenggara. Sebelum Kutai Martapura, telah berdiri Kerajaan Campa di wilayah Vietnam.
Pedagang India yang rajin memburu emas dan gaharu adalah faktor kedua. Emas dan gaharu sukar ditemukan di tepi laut. Tidak heran bila Muara Kaman yang berdiri 120 kilometer dari muara Sungai Mahakam akhirnya “ditemukan.”
Interaksi Muara Kaman dengan pedagang dari selatan India (sebagian besar dari ras Tamil) juga membawa kemajuan. Bukan hanya transfer sistem pemerintahan dan agama, demikian pula teknologi di Muara Kaman. Penguasaan teknologi memungkinkan Mulawarman, sebagaimana tertulis dalam prasasti yupa, mampu menaklukkan para kepala suku di sekitar wilayah kekuasaannya.
Teknologi di Muara Kaman terlihat dari alat transportasi. Sebelum kontak dengan pedagang India, penduduk lokal hanya membuat rakit dari batang kayu yang diikat. Selanjutnya, berkembang menjadi sampan tipe perahu lesung. Kemampuan membangun perahu papan berukuran sedang hingga besar dikuasai kemudian (hlm 126). Dari penggalian arkeologi di situs Muara Kaman, ditemukan manik-manik yang dibuat dari batu lokal. Ini menandakan bahwa masyarakat Kutai Martapura telah menggunakan perkakas logam untuk menggali. Termasuk menggunakan logam sebagai persenjataan.
Negara yang dipimpin Mulawarman juga dikenal makmur. Pertanda yang paling nampak adalah kemewahan sesembahan dalam upacara sebagaimana terukir dalam prasasti yupa. Mulawarman menyedekahkan emas yang amat banyaknya, tanah yang luas, biji wijen, hingga lembu. Dari seluruh persembahan itu, hanya sapi yang disebut jumlahnya, yaitu 20 ribu ekor. Para ahli belum sepakat mengenai jumlah ini, benar-benar 20 ribu ekor atau hanya dilebih-lebihkan. Namun, yang pasti, sapi ini memang banyak jumlahnya.
Kerajaan Kutai Martapura terus masyhur hingga abad-abad berikutnya. Hubungan dagang dengan Tiongkok makin mengukuhkan posisi Muara Kaman dan pelabuhan Danau Lipan sebagai pusat perniagaan di sepanjang aliran Mahakam. Kelak, posisi strategis inilah yang menjadi incaran pihak lawan. Salah satunya oleh Kerajaan Kutai Kartanegara yang berdiri di Jaitan Layar, Kutai Lama, sebelah hulu Sungai Mahakam. Pada seperempat pertama abad ke-17, bandar di Muara Kaman jatuh ke dalam kekuasaan Kutai Kartanegara. Dominasi Kerajaan Kutai Martapura di Sungai Mahakam yang lestari selama 13 abad pun akhirnya runtuh.( limber sinaga )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Undangan