Revisi KUHP Siap Disahkan, Pasal Karet Jadikan Pemerintah Antikritik?
Aksi Massa Menolak RUU KUHP di CFD
Jakarta,( kbn lipanri )
Rencana pengesahan RUU KUHP menuai pergunjiangan banyak pihak. Terutama di pasal penghinaan presiden dan pasal kritik hakim.
Gonjang-ganjing DPR RI bakal mengesahkan revisi Undang-Undang KUHP (RUU KUHP) sudah menjadi buih ghibah di lautan linimasa media sosial dan media massa belakangan ini. Kekhawatiran-kekhawatiran sudah menyulut banyak perdebatan sebelum RUU KUHP betul-betul akan disahkan pada 24 September 2019 nanti.
Massa yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Sipil untuk Keadilan dan Demokrasi menggelar aksi saat car free day (CFD) di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Minggu (15/9/2019). Massa mengatakan RUU KUHP berpotensi digunakan untuk mengkriminalisasi korban kekerasan seksual
Keinginan Indonesia memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) produk bangsa sendiri segera terwujud setelah penantian panjang lebih dari setengah abad. Namun rencana pengesahan revisi KUHP atau RKUHP menuai polemik.
Sejumlah elemen masyarakat menolak RKUHP disahkan. Mereka beralasan, banyak pasal dalam RKUHP yang dianggap bermasalah, salah satunya mengancam demokrasi dan kebebasan berekspresi.
Meski begitu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tetap akan mengesahkan RKUHP dalam waktu dekat ini. Apalagi DPR dan pemerintah telah merampungkan pembahasan revisi pengganti KUHP peninggalan kolonial itu.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan, pengesahan RKUHP seharusnya tidak melulu dimaknai sebagai upaya dekolonialisasi hukum pidana Indonesia dari peninggalan Belanda.
"Tetapi (seharusnya) juga sebagai bagian dari demokratisasi hukum pidana, konsolidasi dari beberapa ketentuan di luar KUHP, serta adaptasi dan harmonisasi bagi perkembangan peradaban, khususnya yang berdimensi negatif sebagai tindak pidana baru," ujar Fickar kepada Liputan6.com, Rabu (18/9/2019).
Dia menambahkan, RKUHP juga tidak boleh mendegradasi tindak pidana yang bersifat khusus dan extraordinary crimes menjadi tindak pidana umum, sehingga tidak memerlukan lagi cara penanganan yang luar biasa. "Pada gilirannya dapat menghapuskan peran KPK," ujar Fickar menoontohkan.
Fickar membeberkan sejumlah pasal dalam RKUHP yang dianggap bermasalah dan menjadi pasal karet. Antara lain, pasal 167 tentang makar, pasal 440-449 tentang pengaturan tindak pidana penghinaan, pasal 218-220 tentang penghinaan presiden dan wakil presiden, pasal 240-241 soal penghinaan pemerintah yang sah, dan pasal 353-354 soal penghinaan kekuasaan umum atau lembaga negara.
"Pasal ini memuat rumusan karet yang berpotensi mengekang kebebasan berpendapat, termasuk kebebasan pers. Pasal-pasal ini selain tak relevan untuk masyarakat demokratis, juga karena sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK)," tutur Fickar.
Menurut Fickar, beberapa pasal bermasalah memuat rumusan karet karena tafsirnya bisa tergantung penguasa atau penegak hukum yang diintervensi kekuasaan.
Lebih lanjut, Fickar menilai DPR arogan jika tetap bersikeras mengesahkan RKUHP di tengah gelombang penolakan dan banyaknya pasal bermasalah. Menurutnya, DPR belum maksimal menyerap aspirasi masyarakat dalam membuat undang-undang.
"Itu sikap arogansi seorang politikus, dia tidak menyadari bahwa eksistensi dia sebagai wakil rakyat yang mewakili dan mempunyai kewajiban menyerap aspirasi masyarakatnya," katanya.
Senada dengan Fickar, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Ade Wahyudi mengatakan, pasal-pasal tentang penghinaan pada RKUHP berpotensi membungkam kebebasan pers. Selain itu, penanganannya akan tumpang tindih dengan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers.
"Yang terkait itu (penghinaan) sangat berpotensi menjerat jurnalis karena sangat multitafsir dan karet, karena bisa jadi (penyelesaiannya) tidak lagi dengan sengketa pers tapi langsung pidana," ucap Ade kepada Liputan6.com, Rabu.
Ketua Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Erick Tanjung mengatakan, pihaknya bersama sejumlah elemen yang tergabung dalam koalisi masyarakat sipil mendesak pemerintah dan DPR menunda pengesahan RKUHP.
"Karena banyak pasal yang menyesatkan dan mengancam kebebasan pers dan mengancam demokrasi di masyarakat," ujar Erick .
Berdasarkan catatan AJI Jakarta, setidaknya terdapat 10 pasal yang berpotensi mengancam jurnalis dalam menjalankan tugasnya, antara lain pasal 219 tentang penghinaan terhadap presiden dan wapres, pasal 241 tentang penghinaan terhadap pemerintah, pasal 247 tentang hasutan melawan penguasa, pasal 262 tentang penyiaran berita bohong, pasal 263 tentang berita tidak pasti, pasal 281 tentang gangguan peradilan, pasal 305 tentang penghinaan terhadap agama, pasal 354 tentang penghinaan kekuasaan umum atau lembaga negara, pasal 440 tentang pencemaran namabaik, dan terakhir pasal 446 tentang pencemaran orang mati.
Erick menilai, RKUHP tersebut dapat mengkriminalisasi jurnalis. Sebab, draf RKUHP yang disusun pemerintah dan DPR tidak menempatkan pers di pilar keempat demokrasi.
Dia juga menyoroti kemunduran dalam pembahasan RKUHP karena menghidupkan lagi pasal yang telah dibatalkan MK, yakni penghinaan terhadap presiden. "Nanti kita tak bisa lagi mengkritik pemerintah dan masyarakat tak punya wakil lagi untuk menyuarakan lewat media," katanya.
Baik LBH Pers maupun AJI sama-sama telah melakukan berbagai upaya agar RKUHP tersebut ditunda. Namun jika DPR tetap bersikeras mengesahkannya melalui rapat paripurna pada 25 September 2019 nanti, LBH Pers dan AJI akan menempuh jalur konstitusi melalui judicial review atau uji materi di MK.( team )