Hentikan Kekerasan pada Anak!
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/012006/15/hikmah/utama01.htm
KETIKA UU PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga) disahkan November 2004, boleh jadi masyarakat berharap agar kematian/kekerasan terhadap anak tidak terulang lagi, seperti kasus Arie Hanggara maupun kasus terbaru, Ridwan Maulana (5). Namun, apa yang terjadi? Baru-baru ini tersiar kabar Indah Safitri meninggal akibat dibakar orang tua kandungnya sendiri.
SETIAP hari di Indonesia ada anak yang disiksa orang tuanya atau orang yang mengasuh/merawatnya.
"Jumlahnya (anak korban kekerasan-red.) terus meningkat dari tahun ke tahun," kata Rachma Fitriati, Office Manager Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA). Yang lebih menyedihkan, lanjutnya, perlakuan salah tersebut tidak hanya dalam bentuk kekerasan fisik, psikis, dan seksual, tapi juga penganiayaan berat dan pembunuhan.
Kasus-kasus perlakuan salah yang menimpa anak-anak tidak hanya terjadi di daerah perkotaan, banyak juga melanda daerah pedesaan. "Berdasarkan data Plan Indonesia yang dikutip sebuah media cetak nasional, saat ini diperkirakan ada 871 kasus kekerasan terhadap anak," kata Pipit, panggilan akrab Rachma Fitriati. Sedangkan dari pengaduan masyarakat melalui hotline services dan pemantauan Pusdatin Komnas PA terhadap 10 media cetak, selama tahun 2005 dilaporkan terjadi 736 kasus kekerasan terhadap anak. Dari jumlah itu, 327 kasus perlakuan salah secara seksual, 233 kasus perlakuan salah secara fisik, 176 kasus kekerasan psikis. Sedangkan jumlah kasus penelantaran anak sebanyak 130.
"Ironisnya, para pelaku child abuse ini, pada umumnya adalah orang yang dikenal anak, yaitu sebanyak 69 persen. Sedangkan yang tidak dikenal anak hanya 31 persen," kata Pipit.
Zaman memang telah berubah, orang tua yang seharusnya melindungi anaknya dari segala bentuk kekerasan, justru banyak yang menjadi pelaku kekerasan terhadap anaknya sendiri.
CHILD abuse merupakan bentuk perlakuan kekerasan terhadap anak-anak. Terry E. Lawson, psikiater internasional yang merumuskan definisi tentang kekerasan terhadap anak, menyebut ada empat macam abuse, yaitu emotional abuse, verbal abuse, physical abuse, dan sexual abuse.
Emotional abuse terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, mengabaikan anak itu. Ia membiarkan anak basah atau lapar karena ibu terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu pada waktu itu. Ia boleh jadi mengabaikan kebutuhan anak untuk dipeluk atau dilindungi. Anak akan mengingat semua kekerasan emosional jika kekerasan emosional itu berlangsung konsisten. Orang tua yang secara emosional berlaku keji pada anaknya akan terus-menerus melakukan hal sama sepanjang kehidupan anak itu.
Verbal abuse terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak, setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, menyuruh anak itu untuk diam atau jangan menangis. Jika si anak mulai berbicara, ibu terus-menerus menggunakan kekerasan verbal seperti, "kamu bodoh", "kamu cerewet", dsb. Anak akan mengingat semua kekerasan verbal jika semua kekerasan verbal itu berlangsung dalam satu periode.
Physical abuse, terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak memukul anak (ketika anak sebenarnya memerlukan perhatian). Pukulan akan diingat anak itu jika kekerasan fisik itu berlangsung dalam periode tertentu.
Sexual abuse biasanya tidak terjadi selama delapan belas bulan pertama dalam kehidupan anak.
PERLINDUNGAN terhadap anak korban kekerasan merupakan fenomena sosial yang memerlukan perhatian kita semua. Sebelum diberlakukan UU PKDRT, ketika itu Meneg pemberdayaan perempuan telah mengembangkan model community watch (2002), yaitu membangun kemitraan dengan institusi yang ada di masyarakat, seperti Dasawisma PKK dan institusi lain di tingkat rukun tetangga dan desa, untuk memantau dan melakukan deteksi dini terjadinya kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga, termasuk penganiayaan pada anak. Namun, kenyataannya di masyarakat tidak tampak.
Bahkan kasus yang akhir-akhir ini terjadi di Indonesia memperlihatkan kekerasan terhadap anak semakin buruk lagi. Tidak hanya dari sisi psikologis/emosional, namun sudah bisa digolongkan pada penganiayaan, pelecehan seksual, dan pencabulan, hingga pembunuhan.
Hal ini menimbulkan pertanyaan yang cukup mendasar tentang bagaimana melindungi anak-anak dari berbagai kejahatan. Selain melindungi anak dari ancaman kekerasan, pun harus dicari akar permasalahannya ada di mana? Apakah pelaku kekerasan itu dulu menerima didikan yang salah dari orang tuanya?
Stres akibat impitan ekonomi, apakah benar itu akar permasalahannya?
Menurut Rachma Fitriati, kasus-kasus kekerasan fisik, psikis, dan seksual terhadap anak yang mencuat di media massa enam bulan terakhir ini, sebagian besar terjadi karena alasan ekonomi. "Walaupun sebenarnya ada juga kekerasan fisik, psikis, dan seksual yang terjadi pada masyarakat menengah atas. Dimulai dari kasus Anggi (5 tahun 11 bulan), dan terakhir kasus anak yang disetrika ayahnya, sebagian besar terjadi karena kekerasan dalam rumah tangga yang dipicu karena faktor kemiskinan dan tekanan hidup," ujarnya.
Faktor kemiskinan dan tekanan hidup yang semakin meningkat, disertai kemarahan/kekecewaan pada pasangan karena ketidakberdayaan dalam mengatasi masalah ekonomi, menyebabkan orang tua mudah sekali meluapkan emosi, kemarahan, kekecewaan dan ketidakmampuannya kepada orang terdekatnya. Anak, sebagai makhluk lemah, rentan, dan dianggap sebagai "milik" orang tua, paling mudah menjadi sasaran.
Psikolog perkembangan Ardanti Ratna Widyastuti (Danti) mengajak kita untuk melihat masa 30-40 tahun ke belakang, bila ingin mencari akar permasalahan apa yang terjadi saat ini. "Bagimana pola asuh saat itu?" katanya.
"Banyak orang tua yang berlaku kasar, memberikan hukuman fisik dengan dalih untuk memberikan pelajaran pada anak-anak mereka. Sebenarnya, tidak semua pendapat itu salah, tapi yang paling benar adalah mereka (orang tua -red.) sesungguhnya sedang memberikan pelajaran kekerasan pada anak-anaknya," kata Danti.
Karena esensinya anak-anak adalah peniru ulung, anak-anak akan berperilaku sama jika mereka menghadapi situasi serupa. Fenomena ini akhirnya menjadi suatu mata rantai yang tidak terputus, di mana setiap generasi akan memperlakukan hal yang sama untuk merespons kondisi situasional yang menekannya, hingga pola perilaku yang diwariskan ini menjadi "budaya kekerasan".
"Jadi, bila pola asuh yang ada saat ini masih tetap membudayakan kekerasan, boleh jadi 20-30 tahun ke depan masyarakat kita akan lebih buruk lagi dari apa yang disaksikan saat ini," katanya.
Agresi psikologis itu, katanya, bisa membuat anak menjadi sulit beradaptasi atau bahkan berperilaku buruk, karena berbagai faktor. Biasa jadi anak kurang percaya diri, atau sebaliknya, menjadi pemberontak. Tetapi yang paling dikhawatirkan adalah jika mereka melakukan hal yang sama terhadap anak mereka kelak, rantai kekerasan itu akan terus berlanjut.
Satu saja dari keempat chlid abuse itu dilakukan terus-menerus akan menyebabkan anak menderita gangguan psikologis. "Semua tindakan kekerasan kepada anak-anak akan direkam dalam bawah sadar mereka dan akan dibawa sampai kepada masa dewasa, dan terus sepanjang hidupnya," tambah dia.
Anak yang mendapat perlakuan kejam dari orang tuanya akan menjadi sangat agresif, dan setelah menjadi orang tua akan berlaku kejam kepada anak-anaknya. Orang tua agresif melahirkan anak-anak yang agresif, yang pada gilirannya akan menjadi orang dewasa yang menjadi agresif. Dengan sangat mengerikan, Lawson menggambarkan bahwa semua jenis gangguan mental ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang diterima manusia ketika dia masih kecil.
"Anak bukan milik orang tua, hanyalah titipan Sang Pencipta," kata Danti. Tidakkah menjadi masalah bila titipan itu kemudian dirusak/ diperlakukan kasar? Maka hargailah anak dengan keterbatasannya sebagai individu yang utuh, bukan dianggap orang dewasa kecil.(Jalu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Undangan