LIPANRITV1
Retas5
Medsos4
coba6
Entri Populer
-
Di Sadur dari Artikel: AGUS SISWANTO DAN EKA SUPRIATNA Pada tgl. 6 Februari 2008 lalu, Misteri mendapat undangan seor...
-
LIPAN-ONLINE KUMPULAN BERITA LEMBAGA INDEPENDEN PEMANTAU APARATUR NEGARA REPOBLIK INDONESIA. KKP Kucurkan Bantuan...
-
Kerajaan Majapahit Kerajaan Majapahit | Sejarah | Peninggalan | Lengkap dengan Masa Kejayaan di Nusantara 27 Juli 2017 Oleh Delvatins...
-
Sejarah Kerajaan Sriwijaya Lengkap Mei 4, 2017 Oleh ibnuasmara Sejarah Kerajaan Sriwijaya Lengkap ( lipanri online ). Kerajaan ...
-
Tuanku Rao. Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak 8 Votes Selama ini banyak dari k...
-
KOLONEL MALUDIN SIMBOLON: Ingatan Kolektif Masyarakat Terhadap Jatuhnya Pesawat Tentara Pusat di Huta Tongah. 1. Pengantar Pa...
-
proposal1 Setelah mempelajari modul ini Anda dapat: 1. menguraikan hasil peninggalan budaya zaman batu, 2. menjelaskan hasil peninggalan bu...
Jumat, 04 November 2016
Minggu, 24 Juli 2016
Selasa, 19 Juli 2016
JOKOWI BAGI SERTIFIKAT TANAH
Media Informasi Sejarah Indonesia dan Dunia, Artikel Sejarah, Review Buku, Makalah, dll.
( Lipanri-Online )15 Oktober 2017
Dalam sejarah penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah secara tradisional pada mulanya berawal dari para cikal bakal yang berhasil membuka tanah sebagai lahan tempat tinggal dan sumber mata pencahariannya. Dalam perkembangan selanjutnya, cikal bakal itu karena jasa dan kepemimpinanya dihormati sebagai premus inter pares. Dia inilah yang kemudian bertindak sebagai pimpinan kelompok dan kemudian pimpinan desa.
Premus inter pares itu kemudian membagi-bagi tanah yang telah dibuka itu kepada anak cucunya, dan kepada pendatang baru yang tunduk dan loyal kepada hukum yang berlaku di desa itu. Pada akhirnya, primus inter pares pemimpin itu dinamai kepala Desa atau kepala adat.
Tanah pertanian yang menjadi milik desa atas dasar hukum komunal merupakan daerah wewangkon desa yang berstatus
sebagai tanah desa dengan hak ulayatnya. Hak milik perseorangan atas tanah pada awalnya memang diakui. Tanah yang berada dalam kekuasaan desa itu dapat digunakan untuk kepentingan warga desanya, dengan syarat warga desa wajib membayar sejumlah uang atau barang sebagai tanda pengakuan atas hak dari pihak lain (desa) atau dapat juga dianggap sebagai persembahan (bulubekti) kepada pemilik hak atas tanah itu, yaitu Kepala Desa atau primus inter pares itu.
Sejak ratusan tahun silam, tanah adalah bagian sengketa sosial-politik warga di Nusantara. Dari historiografi Nusantara disaksikan lipatan-lipatan kisah kontestasi penguasa memperebutkan hegemoni atas tanah. Sebagai bagian dari ekspresi atas kekuasaan, tanah jadi simbol pada dunia, ruang kuasa seorang raja. Narasi kerajaan-kerajaan di Nusantara menjadikan tanah sebagai simbol kuasa.
Selanjutnya dengan kedatangan kebudayaan Hindu di Indonesia, khususnya Jawa, nyata sekali berpengaruh dalam bidang pemerintahan, kepercayaan dan agama, serta kebudayaan. Khususnya di bidang politik pemerintahan, pengaruh kebudayaan Hindu terhadap pengaturan masyarakat melahirkan sistem kerajaan, di mana sistem hak waris dan kekerabatan menjadi unsur utama di dalam sistem kerajaan tersebut. Dalam proses ini maka primus inter pares mengangkat diri atau diangkat menjadi raja yang menguasai tanah-tanah di seluruh wilayah kerajaannya.
Lahirnya sistem kerajaan melahirkan golongan aristokratik serta tumbuhnya birokrasi yang berbasis pada sistem feodal. Adanya stratifikasi sosiolog pada masyarakat jawa yang feodalistik itu semakin mempertajamkan masalah hak atas tanah di Jawa. Pada struktur Kerajaan Jawa, maka raja dianggap sebagai pusat dari segala kekuasaan dan alam semestar, serta pemilik jagad raya. Paham ini menempatkan raja sebagai pemilik tanah kerajaan dengan kekuasaan mutlak. Dalam situasi demikian itu, maka kawula hanya mengenal hak pakai atas tanah dengan sistem hanggadhuh. Terhadap kaum keluarga dan kerabat kerja serta para pegawai kerajaan diberlakukan sistem tanah pinjam berupa tanah apanase untuk kaum keluarga dan kaum kerabat raja (Sentra dalem), dan lungguh atau bengkok untuk para pegawai kerajaan (Abdi Dalem). Disamping itu dalam hal-hal khusus, raja menghadiahi tanah kepada sekelompok warga masyarakat tertentu dengan tugas-tugas tertentu. Dari kejadian ini lahirlah tanah-tanah perdika mutihan dan sebagainya. Dalam sejarah, kerajaan di Jawa dapat diberikan contoh-contoh sebagai berikut. Berdasarkan Prasasti Dinaya (628 M0, dituliskan bahwa Raja Gajah yang menghadiahkan sebidang tanah, budak dan ternak kepada para pendeta yang ahli kitab Wreda untuk keperluan mendirikan bangunan suci dan asrama para brahmana (Sartono Kartohadirdjo, 1975 : 85). Dalam prasasti Kalasan (778 M) raja Panangkaran menghadiahkan tanah desa Kalasan kepada para Sanggha sebagai tempat tinggalnya. Tanah-tanah tersebut dijadikan tanah-tanah perdikan yaitu tanah yang bebas pajak dan bebas karya raja.
Pada jaman majapahit, masalah tanah menjadi masalah yang bertambah penting, sebab negara Majapahit menggunakan basis pertanian sebagai basis ekonomi kerajaannya, disamping ekonomi perdagangan laut. Dalam pengusaha atas tanah tersebut, diatur dengan dikeluarkannya semacam undang-undang tanah yang disebut Pratigundala. Undang-undang tanah itu termuat pula di dalam Negarakertahama pupuh 88/3 baris 4. Dalam undang-undang tersebut Raja Wengker mengamanatkan kepada para Wedana, Akuwu, Buyut satu bulan Caitra. Dalam amanat itu antara lain dikatakan ….!pertahankan tanah gaduhan rakyat, jangan sampai menjadi milik tani besar, agar penduduk desa jangan sampai lari terusir ke tetangga desa untuk diam”…(Drs. Muhadi dkk, 1989/1990 : 62)
Masuknya pengaruh kebudayaan Islam tidak banyak mengubah sistem pemilikan tanah tersebut. Sunan atau Sultan tetap memiliki hak mutlak atas tanah kerajaan, sementara rakyat hanya memiliki hak pakai. Dalam masa kerajaan, baik masa Hindu maupun Masa Islam, kekuaasan Raja tidak hanya mempengaruhi hak ulayat desa atau persekutuan, tetapi juga hak perseorangan pribumi. Dapatlah dikatakan, bahwa hak milik pribumi atau kawula dalam suasana raja-raja, sesungguhnya merupakan milik yang berbeban berat, dan oleh karena itu sangat goyah dan mudah hilangnya. Hak milik tersebut pada hakekatnya terbatas pada hak mengolah tanah saja atau hak memungut hasil atas dasar jabatan atau hubungan darah (kekerabatan). Adanya istilah milik (darbe) bagi kawula bukanlah hak milik dalam pengertian sesungguhnya, seperti hak eigendom jaman sekarang. Pemilikan tersebut hanyalah sekedar pengakuan oleh seseorang untuk menunjukkan batas-batas yang jelas dari orang lain. Oleh karena raja adalah pemilik mutlak semua tanah di kerajannya, maka rakyat (kawula) sebagai penggarap hanyalah berstatus sebagai Adi Raha atau Kawula Dalem. Sebagai penggadhuh dan penggarap, maka kawula Dalem wajib menghaturkan persembahan berupa barang (bulubekti), pajak atau dan tenaga kerja yang semuanya diatur melalui sistem birokrasi raja – patuh – bekel. Dengan kewajiban penggadhuh tersebut, yang ternyata sangat berat itulah, maka tanah gadhuhan itu dikatakan tanah milik berbeban berat atau tanah sanggan (beban). (Selo Sumardjan,1981: 178). Oleh karena luas tanag dihitung berdasarkan wajib kerja. Maka luas tana dihitung dengan karya (kerja, gawa) atau cacah (jiwa, keluarga).
Di dalam sistem kerajaan itu terdapatlah kelompok kaum kerabat dan keluarga raja (sentana Dalem), dan pegawai kerajaan (Abdi Dalem) serta rakyat kerajaan (Kawula Dalem). Raja sebagai pejabat tertinggi di kerajaan di samping menguasai seluruh tanah kerjaan, dia juga mendapatkan tanah untuk menjamin keluarganya. Dalam hal ini maka Raja berstatus sebagai bangsawan, dan dia mendapatkan tanah apanase sebagai jaminan hidupnya dan keluarganya. Apabila raja ini biasa disebut bumi narawita, bumi pangrembem, dan bumi pamajegan. Bumi narawita (nara suwita) adalah tanah lungguh raja sebagai kepala kerajaan (primus inter pares). Bumi pangrambe adalah tanah apanase raja sebagai bangsawan dan bumi pamajengan adalah tanah raja sebagai warga pertama kerajaan yang wajib membayar pajak kepada kerajaan. Bumi narawita hasilnya untuk menjamin kehidupan raja beserta keluarganya bumi pangrembe hasilnya untuk menjamin kehidupan para priyatun dalem, yaitu pada garwa ampeyan, ampil, pangrembe dan peminggir raja beserta anak – anak mereka, sedang bumi pamajengan hasilnya untuk membayar pajak bagi tanah-tanah milik raja (Bandingkan dengan Hartono, 1991: 1-2)
Sistem ini tumbuh dan berkembang sesuai dengan sistem politik kerajaan. Tumbuhnya sistem perfeodalan, masyarakat Jawa yang dibarengi dengan tumbuhnya kebudayaan Kastariya, memberi nilai tinggi terhadap tanah. Sistem apanase dan lungguh tersebut menentukan dan mengatur pola hubungan sosial politik masyarakat agraris Jawa. Terjadinya proses perfeodalan dalam masyarakat. Sistem apanase dan lungguh melahirkan tuan tanah dan kaum priyayi kaya, baik karena kebangsawannya, maupun karena jabatannya. Kekayaan dan keturunan tersebut berkuasa. Simbol-simbol kebangsawanan atau kepriyayaian kaya, baik karena kebangsawaannya, maupun karena jabatannya. Kekayaan dan keturunan tersebut melahirkan cita-cita hidup yang lebih indah, berwibawa, lebih halus dan berkuasa. Simbol-simbol kebangsawanan atau kepriyayian dimunculkan. Misalnya lingkungan tempat tinggal, gelar-gelar kebangsawanan, bahasa, benda-benda upacara, gaya hidup dan tata sopan santun kepriyayian dalam pergaulan dan sebagainya. Masyarakat dalam suasana feodal itu terbagi-bagi dalam golongan-golongan raja-raja, bangsawan priyayi, dan petani. Strata sosial dari masing-masing tingkat menghendaki persembahan dan penghormatan dari strata sosial di bawahnya. Dalam situasi agraris itu, feodalisme berkembang pesat. Pergaulan antara golongan aritrokarat dan birokrat dengan rakyat jelata sangat tidak seimbang. Masyarakat hanya terdiri dari tuan dan hamba. Tradisi ekonomi perdagangan hilang, dan memberi lahan yang subur bagi tumbuhnya sistem apanase dan lungguh dengan sistem ekonomi agraris yang tradisional. Sifat pergaulan hidup didasarkan pada kekuasaan dan ketaatan yang merupakan ikatan feodal atau peradilan feodal (Burger, 1964: 95). Ikatan feodal itu terdiri dari ikatan ventrikal dengan sedikit sekali terdapatnya ikatan persaudaraan (hubungan komunal). Dalam kehidupan di desa-desa, perabdian feodal tersebut berupa perabdian penduduk desa terhadap kepala desa atau lurah atau bekel. Didalam ikatan feodal itu terdapatlah kebebasan penguasa yang terdiri dari kaum aristokrat dan birokrat feodal untuk menjalankan pemerintah menurut kehendak mereka. Hal ini berada dalam kenyataan, bahwa raja dan penguasa menjadi pusat kehidupan. Raja bersama-sama dengan sentana dan narapraja (abdi dalem) merupakan kelompok penguasa yang menjadi pusat kehidupan masyarakat feodal. Mereka itu adalah pemilik apanase dan lungguh yang diperoleh sebagai imbalan jasa atau gajih atas keturunan dan jabatan yang disandangnya. Sehubungan dengan sistem pemilikan tanah tersebut, Burger cenderung mengatakan, bahwa proses penerapan kekuasaan raja dengan dasar tanah milik raja (vorstendoein) itu adalah sebagai proses pengetahuan dalam sistem feodal antara raja bangsawan atau kaum kerabat raja, birokrat atau abdi dalem dengan petani. Feodalisme sebagai wadahnya, didasarkan pada hubungan simbiotik atau kerjasama antara raja dengan penguasa dengan para petani yang keduanya memiliki hak dan kewajiban. Sarana untuk memperkuat hubungan tersebut diolah dengan cara raja sebagai pemilik tanah secara mutlak memberikan tanah-tanah kepada kaum kerabat raja (sentana dalem) dalam bentuk apanase, dan kepada para abdi dalem (narapraja) sebagai lungguh dan keduanya bersifat sementara dengan hak hanggadhuh. Jadi kekuasaan Raja atas tanah adalah benar-benar terjadi.
Langganan:
Postingan (Atom)